Pekerja Perempuan Alami Intimidasi Soal Jilbab, Perlu SKB 3 Menteri?
Tidak hanya siswa sekolah negeri, perempuan pekerja di kantor pemerintah hingga pengajar di universitas menghadapi aturan dan intimidasi soal jilbab.
Ifa Hanifah Misbach mengatakan telah ditekan untuk memakai jilbab sejak masih duduk di bangku sekolah dasar oleh keluarganya, situasi yang membuatnya marah karena menyulitkan geraknya dan membuat ia sulit bernafas. Namun, di saat yang sama, Ifa juga merasa khawatir telah mengecewakan ibunya, seorang guru Al-Qur’an, dan ia takut akan menyeret ayah serta saudara laki-lakinya ke neraka karena tidak mengenakan jilbab.
“Saya telah mengalami intimidasi dan perundungan untuk mengenakan jilbab hampir 36 tahun. Sejak saya SD, SMP, SMA, kuliah hingga saya menikah,” ujar Ifa, yang berprofesi sebagai seorang psikolog di Bandung.
Ia mengatakan hal itu dalam konferensi pers peluncuran laporan pewajiban pemakaian jilbab untuk perempuan Indonesia, I Wanted To Run Away oleh Human Rights Watch (HRW), Maret lalu.
Pemaksaan itu terus berlanjut di tempat kerja, saat ia pertama kali mengajar di sebuah universitas negeri di Bandung pada awal tahun 2000-an. Ifa merasakan tekanan sosial karena orang di sekitarnya mengenakan jilbab. Bahkan saat pakaian kerjanya, sebuah blazer, sedikit terangkat, Ifa akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang di sekitarnya di kampus.
Ekspektasi untuk mengenakan jilbab dari pengajar senior dan kolega harus ia hormati karena datang dari sosok yang lebih tua darinya, ujarnya. Namun, ia merasa tertekan, ditambah lagi dengan adanya perundungan dari warganet di media sosialnya.
Aturan Wajib Berjilbab Bagi Perempuan Bekerja
Ifa tidak sendiri. Menurut hasil laporan HRW, banyak perempuan yang bekerja di kantor pemerintah daerah hingga tenaga pengajar di universitas juga mengalami tekanan sosial untuk mengenakan jilbab. Penalti dari regulasi pemakaian jilbab tersebut dapat berupa terhambatnya kenaikan pangkat hingga pemecatan.
Di Tasikmalaya, Jawa Barat, aturan wajib berjilbab bagi perempuan pegawai negeri sipil (PNS) telah berlaku sejak 2001. Perempuan PNS di daerah perkotaan masih boleh mengenakan celana panjang dan seragam kantor, tetapi di daerah perdesaan, perempuan PNS harus memakai rok panjang.
Sementara di Cianjur, aturan tersebut telah berlaku sejak 2006. Seorang PNS yang berhijab di Cianjur mengatakan kepada HRW, ia juga mengalami tekanan untuk memakai gamis bersama jilbab besar yang menjuntai. Menurutnya, pakaian seperti itu sangat tidak praktis untuk perempuan yang sering berkendara dengan sepeda motor.
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mengatakan bahwa jika siswa sekolah negeri telah menerima mendapatkan aturan SKB 3 Menteri sebagai jawaban untuk melepas tekanan yang mereka terima, maka aturan serupa yang menghargai keragaman untuk pekerja perempuan, terutama di institusi milik negara, juga perlu diberlakukan.
Alimatul mengacu kepada Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 Tahun 2021 yang dikeluarkan awal tahun ini oleh tiga menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumans.
SKB Tiga Menteri tersebut menegaskan bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga pendidikan di lingkungan sekolah berhak untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu sesuai dengan kehendaknya.
“Kalau di pemerintah daerah, maka aturan ini dalam wewenang Kementerian Dalam Negeri. Aturan ini bisa disesuaikan dengan budaya Indonesia. Artinya bukan dilarang, tetapi jika ingin menggunakan silakan, jika tidak juga boleh,” ujarnya kepada Magdalene (27/3).
Komisioner purnabakti Komnas Perempuan, Riri Khariroh mengatakan, tidak perlu dibuat regulasi semacam SKB 3 Menteri untuk perempuan pekerja, namun institusi pemberi kerja sebaiknya lebih menghargai Undang-undang Ketenagakerjaan yang melarang dilakukannya diskriminasi terhadap pekerja dan calon pekerja, terutama perempuan.
Riri melihat pemaksaan busana tertentu untuk pekerja perempuan banyak yang didasari oleh tekanan sosial dari pemimpin hingga kolega. Situasi sedikit berbeda dengan busana siswa sekolah karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pada 2014 mengeluarkan regulasi tentang bentuk seragam siswa yang dianjurkan pemerintah. Hasilnya, beberapa sekolah dan tenaga pengajar menyalahartikannya sebagai kewajiban siswa sekolah negeri untuk mengenakan jilbab.
“Jadi terkait di ranah pekerja aturannya tidak ada dan itu sangat bergantung pada pimpinan di tingkat manajerial sebuah institusi. Tetapi seharusnya pemaksaan itu tetap tidak terjadi,” ujar Riri, yang sekarang menjabat sebagai Executive Director untuk Aliansi Indonesia Damai, kepada Magdalene (28/3).
Aturan Jilbab Tunjukkan Negara Kurang Hargai Keputusan Perempuan
Riri mengatakan pemaksaan penggunaan atribut religius tertentu berakar dari pemanfaatan jilbab sebagai simbol moralitas sarat patriarki, yang menyebut perempuan tidak berjilbab bukan perempuan baik. Hal ini berlaku terutama untuk sesama perempuan muslim.
“Pemaksaan penggunaan atribut religius tertentu berakar dari pemanfaatan jilbab sebagai simbol moralitas sarat patriarki, yang menyebut perempuan tidak berjilbab bukan perempuan baik.”
Pakaian yang dipersepsikan dengan nilai patriarkal tersebut kemudian membuat perempuan sebagai penjaga moralitas masyarakat. Akibatnya perilaku perempuan juga diatur, seperti tidak boleh keluar malam sendirian, ujarnya.
“Akhlak dan moralitas tidak bisa dikaitkan dengan simbol, seperti pakaian. Karena banyak orang berpakaian Islami, menggunakan jilbab bahkan peci (moralitas laki-laki), tetapi melakukan korupsi,” kata Riri.
Riri dan Alimatul berpendapat bahwa jika membahas tentang pemaksaan busana untuk perempuan, maka harus melihat pelarangan pemakaian jilbab untuk perempuan pekerja. Dua situasi tersebut sama-sama menunjukkan adanya diskriminasi, pemaksaan dan kurang penghargaan atas keputusan yang diinginkan perempuan untuk dirinya sendiri.
“Larangan pemakaian jilbab di kantor juga tidak bisa. Kalau dilarang secara psikologis juga akan menyakitkan. Sehingga prinsipnya sama dengan yang ada dalam SKB 3 Menteri itu, tidak boleh memaksa dan melarang,” kata Alimatul.
Riri menambahkan, pelarangan dan pemaksaan pemakaian jilbab kepada perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Tidak hanya di ruang lingkup perempuan pekerja di Indonesia, tetapi juga perempuan di negara lain, seperti Eropa yang didiskriminasi karena Islamofobia.
“Harusnya perempuan diberi otonomi untuk memilih seperti apa dia berpakaian. Termasuk bagaimana perempuan diberikan otonomi menghayati keagamaannya, keimanannya pada Tuhan,” ujar Riri.