December 5, 2025
Gender & Sexuality Issues Opini

Ayah yang Hadir: Cerita Pengasuhan tanpa Cibiran

Di kampung saya, para ayah muda mulai mengasuh anak tanpa merasa malu. Sebuah perubahan sunyi yang layak dirayakan dan terus dikritisi.

  • May 2, 2025
  • 5 min read
  • 1905 Views
Ayah yang Hadir: Cerita Pengasuhan tanpa Cibiran

Lebaran lalu, ada sesuatu yang baru saya sadari saat saya pulang kampung. Para keponakan, dan keponakan kawan-kawan saya, sudah menjadi ayah muda yang sibuk menggendong, memandikan, menidurkan, bahkan membawa anak mereka ke rapat desa. Anehnya, tak ada cibiran. Tak ada sindiran soal “tak jantan.” Yang ada justru pujian: “Hebat kali si Rizky, kayak mamak-mamak telatennya ngurusin anak.”

Sebagai orang yang sudah puluhan tahun memperjuangkan kesetaraan gender, dan pernah ditertawakan karena menyarankan pembagian kerja rumah tangga, saya merasa bangga. Karena mereka menjaga anak bukan sekadar “membantu istrinya,” tapi menjalankan perannya sebagai orang tua.

Perubahan pada ayah-ayah muda di kampung saya ini tidak lahir dari guncangan besar, tapi dari keseharian yang perlahan membentuk kebiasaan baru. Bagi banyak dari mereka, menjadi ayah yang hadir adalah sesuatu yang wajar, bukan beban. Mereka tidak merasa kehilangan maskulinitas. Mereka justru menemukan kehangatan dan kebanggaan dalam pengasuhan.

Dari sekian banyak perubahan yang saya saksikan, kisah dua keponakan saya adalah salah satu yang paling terang. Ibunya adalah kader di komunitas perempuan akar rumput, yang menanamkan nilai kesetaraan sejak dini. Bukan dengan cara menggurui, melainkan dengan praktik sehari-hari yang penuh cinta dan saling berbagi peran dalam rumah. Dari rumah itulah, nilai tumbuh alami. Tanpa teori rumit, tanpa tekanan.

Baca juga: Ayah Mau Terlibat Pengasuhan tapi Negara Tak Mendukungnya

“Anakku Nggak Mau Sama Mamaknya”

Belum lama ini, di grup WhatsApp kantor, seorang staf lapangan yang juga seorang ayah muda, minta izin tidak masuk kerja.

“Ibu Ketua, saya mohon izin enggak bisa masuk hari ini. Anak saya demam tinggi dari tadi malam,” tulisnya.

Langsung ada yang bertanya, separuh bercanda, separuh menyindir, “Binikmu ke mana?”

Jawaban yang datang justru tak terduga, “Anakku mana mau sama mamaknya. Apalagi kalau sakit gini.”

Bagi saya, ini bukan sekadar obrolan ringan. Ini adalah penanda terang bahwa pengasuhan setara bisa ditumbuhkan, tanpa cibiran. Relasi ini menyentuh. Bukan lagi soal bantuan, tapi kehadiran. Bukan sekadar ayah yang turun tangan, tapi ayah yang hadir secara utuh dan dibutuhkan.

Judith Butler pernah menulis bahwa gender bukanlah identitas tetap, melainkan a stylized repetition of acts. Artinya, ketika seorang ayah mengasuh dengan penuh perhatian, ia sedang membentuk ulang performa maskulinitas itu sendiri. Ia menantang asumsi bahwa menjadi laki-laki berarti harus berjarak, dingin, atau hanya berperan sebagai pencari nafkah. Hari ini, saya membaca Judith Butler di ruang tamu kampung saya, dalam pelukan ayah kepada anaknya yang demam.

Baca juga: Pola Pengasuhan Ganda dan Beban Ibu yang Dibagi Rata

Perubahan organik yang menguatkan gerakan

Saya menyaksikan sendiri bagaimana peran laki-laki sebagai ayah di kampung saya tumbuh secara alami, terutama di kalangan laki-laki muda yang baru punya satu atau dua anak. Mereka mengasuh bukan karena seminar gender atau provokasi aktivis, tapi karena begitulah hidup meminta mereka bertindak. Karena anak rewel hanya mau tidur di pelukan ayah. Karena capek itu, kalau hanya ditanggung satu pihak, bisa jadi luka yang terus dipendam.

Sebagian dari mereka, seperti keponakan saya, adalah generasi pertama yang menamatkan SMA atau kuliah. Pendidikan jelas membuka ruang pikir, tapi yang membentuk praktik adalah pengalaman. Mereka tak sedang menjalankan teori, melainkan menjawab kebutuhan harian. Inilah yang saya sebut perubahan organik: lahir dari keseharian, bukan karena doktrin, tapi karena relasi yang berubah. Dan itu justru yang membuatnya mengakar.

Yang menarik, generasi ayah-ayah mereka masih memegang pola patriarkal. Tapi kini, mereka tak lagi mempersoalkan anak laki-lakinya yang menggendong dan menidurkan anak, atau absen dari rapat demi imunisasi bocah.

“Zaman sekarang udah beda,” kata si Kakek, melihat menantu laki-lakinya menyuapi cucunya.

Baca juga: ‘Kalau Gitu, Pakai Rok Aja!’ dan Suami yang Tak Lagi Diam-diam Bantu di Dapur

Rayakan, tapi jangan lupa kritik

Kampung sering disebut sebagai benteng terakhir “kodrat.” Tempat di mana perempuan “memang sudah seharusnya” begini, laki-laki “memang tugasnya” begitu. Tapi hari ini, kampung saya menunjukkan hal sebaliknya: bahwa peran gender bisa berubah. Seperti yang selalu tertanam dalam ingatan saya sejak pertama kali mengikuti pelatihan kesadaran gender yang diampu penulis dan aktivis gender Mansour Faqih puluhan tahun silam. Ia mengatakan, “Ciri-ciri gender bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan bisa berubah seiring waktu.”

Ketika nilai-nilai baru tumbuh dari relasi, ketika rasa saling menggantikan dominasi, maka perubahan tidak hanya mungkin, tapi juga nyata. Dan kalau kampung bisa membongkar mitos kodrat itu sendiri, menurut saya kita bisa terus bertanya: apa lagi yang selama ini kita anggap alami, padahal sebenarnya bisa dinegosiasikan?

Saya bangga pada ayah-ayah muda di kampung kami. Tapi saya juga resah ketika mereka disebut “hebat,” sementara istrinya disebut “beruntung.” Bahasa ini menyimpan bias. Ia menganggap keterlibatan ayah sebagai kemurahan hati, bukan kewajiban. Bias ini berbahaya dan menjebak karena patriarki akan terus mengintai dan melukai perempuan di sana.

Keterlibatan ayah dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, padahal itu seharusnya adalah kewajiban bersama dalam rumah tangga. Sementara perempuan yang melakukannya setiap hari dianggap hanya menjalani “kodrat.” Seperti kata filsuf feminis Nancy Fraser, “Keadilan bukan hanya soal distribusi, tapi juga soal pengakuan.” Jika perempuan tidak diakui setara, maka pembagian kerja yang adil pun jadi sulit terwujud.

Dan selama kita memuji laki-laki yang mengganti popok, tapi lupa siapa yang mencucinya setiap hari tanpa dipuji, maka kita masih punya pekerjaan rumah. Pujian itu sah, tapi jangan sampai kita jatuh ke dalam jebakan yang sama: memandang keadilan sebagai hadiah, bukan kewajiban.

Jika pengasuhan hanya dianggap “keberuntungan” saat laki-laki melakukannya, kita tidak akan pernah sampai pada kesetaraan yang sejati. Jadi, mari benar-benar setara, dengan menghargai semua peran tanpa cibiran, tanpa harus menunggu kejutan atau pujian.

Laili Zailani adalah ibu rumah tangga, pendiri HAPSARI, organisasi perempuan akar rumput di Sumatera Utara. Fellow Ashoka Internasional (Indonesia, 2000), dan masih aktif mendampingi komunitas hingga hari ini.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.

Leave a Reply