Bagaimana Aturan Mempertemukan Korban dengan Pelaku Pemerkosaan?
Melihat korban pemerkosaan histeris saat bertemu pelaku membuat saya bertanya-tanya, bagaimana seharusnya proses hukum dilakukan agar tetap sensitif korban?
Mei 2021, remaja putri berumur 15 tahun penyandang disabilitas di Manado, Sulawesi Utara diperkosa oleh delapan laki-laki di tiga lokasi berbeda selama dua hari. Dalam tayangan berita iNews (26/6), diperlihatkan cuplikan kejadian ketika korban menangis histeris saat dipertemukan dengan para tersangka di ruang terpisah, dan membenarkan mereka adalah pemerkosanya. Kuasa hukum korban meminta para pelaku dihukum kebiri selain dikenakan pasal berlapis terkait Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak ditambah pemberatan.
Menonton korban menangis kencang saat itu, saya seketika merasa ngilu. Dalam konteks proses hukum, barangkali hal tersebut adalah bagian proses pembuktian. Akan tetapi, menyadari betapa besarnya dampak psikis yang dapat terjadi setelah korban “hanya” melihat pelaku dari ruang terpisah saja, saya jadi bertanya-tanya, bagaimana etika dan pedoman penegak hukum dalam membantu korban pemerkosaan menyelesaikan kasusnya?
Baca juga: Kasus Pemerkosaan di Aceh dan Dukungan Lingkungan Sekitar
Hal-hal yang Perlu Dihindari dan Dilakukan Penegak Hukum
Saya pun bertanya kepada psikolog klinis dewasa dari Maragama Consulting, Semarang Diana Mayorita dan advokat pro bono di Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) Mona Ervita mengenai hal ini.
Diana mengatakan, dalam penanganan kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan, proses penggalian informasi terhadap korban semestinya dilakukan dengan sensitivitas yang tinggi.
“Sebenarnya, di awal yang perlu dilakukan ialah memberikan tindakan pertolongan pertama baik secara psikis maupun fisiologis. Seringkali pertolongan pertama secara psikis masih dikesampingkan karena keterbatasan sumber daya ataupun kurangnya pemahaman terkait hal ini,” kata Diana.
Ia melanjutkan, pertolongan pertama psikologis memang tak sepenuhnya langsung menghilangkan efek traumatis yang dialami oleh korban. Namun, ini merupakan cara untuk menurunkan tekanan psikis yang sedang dialami, sehingga setidaknya korban tidak mengalami efek traumatik yang lebih dalam, seperti post traumatic stress disorder (PTSD).
Dari kacamata psikolog, Diana menekankan pentingnya penegak hukum menghindari bertanya tentang kronologi kejadian tanpa memberikan jeda untuk pemulihan awal. Tidak hanya itu, penegak hukum juga mesti menghindari cara bertanya yang menyudutkan, baik secara kosakata maupun intonasi bicara.
“Seringkali hal-hal ini terlewatkan karena urusan penyidikan yang mesti dilakukan dalam waktu segera,” imbuhnya.
Baca juga: Masih Banyak Negara Ramah pada Pemerkosa
Dalam konteks korban sebagai anak dan penyandang disabilitas, Mona mengatakan, penegak hukum perlu memakai UU yang sesuai dengan konteks korban. Misalnya, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kedua UU ini adalah peraturan sementara yang bisa dipakai untuk melindungi korban sementara Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual belum disahkan.
“Persidangan yang melibatkan korban anak tidak boleh terbuka untuk umum. Cukup jaksa, hakim, serta kuasa hukum terdakwa. Dalam konteks korban penyandang disabilitas, dibutuhkan pendampingan khusus yakni dengan menghadirkan penerjemah/ahli isyarat. Polisi, jaksa, dan hakim harus memastikan hak-hak difabel ketika dia mengikuti proses hukum mulai dari diperiksa polisi, jaksa, dan di pengadilan,” terang Mona.
Lebih jauh Mona berujar, penyidik harus punya pengetahuan tentang gender. Mempertemukan korban dengan pelaku sebagaimana terlihat dari tayangan berita tadi bukanlah hal yang mudah.
“Penyidik harus punya consent dari korban dan korban perlu dikuatkan dulu secara mental. Itu harus dari inisiatif penyidik sendiri,” ujar Mona.
Ia menekankan, jangan sampai penegak hukum malah menambah trauma korban, apalagi sampai jadi pihak ketiga dalam hal perdamaian.
“Kan kejadian seperti ini banyak: Polisi jadi pihak ketiga yang mendorong korban dinikahkan dengan pelaku. Polisi itu bukan mediator, dia seharusnya menjadi pihak yang menegakkan hukum,” kata Mona.
Mempertemukan Korban dengan Pelaku Pemerkosaan, Sebuah Langkah Problematik
Hal yang disampaikan Mona terakhir ini memang bukan hal langka. Dalam banyak kasus, korban pemerkosaan justru disarankan baik oleh keluarga maupun penegak hukum untuk menempuh jalan damai dengan mempertemukan korban dengan pelaku, bahkan sampai menikahkan keduanya.
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud M. D. sempat membuat pernyataan kontroversial yang menyarankan korban dan pelaku pemerkosaan menikah diam-diam saja agar tidak membuat kegaduhan di masyarakat. Hal ini disebutnya sebagai contoh penegakan keadilan restoratif yang sebenarnya sudah lama diberlakukan lewat hukum adat di Indonesia.
Baca juga: RUU PKS Penting Bagi Penyandang Disabilitas
Mona menilai hal ini bukanlah solusi atas kasus pemerkosaan. Ia menyatakan, “Kasus pemerkosaan bukan menyangkut harta benda, sehingga tidak bisa dengan gampang kita menerapkan keadilan restoratif. Kalau maling ayam yang nilai ekonominya di bawah sejuta, pelaku dipertemukan dengan korban, itu selesai dengan keadilan restoratif. Namun untuk kasus pemerkosaan, kita tidak berbicara soal ekonomi, tetapi soal psikis, seperti trauma, norma agama, dan masa depan anak.”
Mona juga mengungkapkan, sebenarnya dari hasil visum atau pengakuan saksi dan tersangka sudah bisa dipakai sebagai pembuktian terjadinya kasus pemerkosaan tanpa harus menghadap-hadapkan korban dengan pelaku, sehingga memicu traumanya.
Sementara, Diana memandang ada opsi lain selain mengonfrontasi kedua pihak ini, seperti memberikan foto lalu korban menjabarkan ciri-ciri pelaku.
“Hal ini tentu masih banyak kekurangannya, sebab korban yang baru saja mengalami pengalaman traumatis bisa saja mengalami disorientasi, lebih-lebih jika kekerasan dilakukan ketika korban tak sadarkan diri. Prosesnya tentu akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Namun secara psikologis, hal ini lebih aman daripada mempertemukan korban dan pelaku secara langsung,” kata Diana.
Ia menambahkan, korban kekerasan seksual sebenarnya punya hak untuk tidak dipertemukan dengan pelaku. Terlebih, jika korban berusia anak. Sayangnya, hal ini juga sering terabaikan oleh penegak hukum demi mengejar ketepatan informasi yang dibutuhkan.
Peraturan-peraturan yang Lindungi Hak Korban Pemerkosaan
Dalam konteks remaja putri penyandang disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan ini, ada UU tentang Perlindungan Anak dan UU tentang Penyandang Disabilitas yang menjaminnya untuk terbebas dari kekerasan seksual. Di samping itu, ada sejumlah peraturan lain yang sebenarnya bisa diterapkan dalam penanganan kasus menyangkut perempuan dan anak.
Di Indonesia sejak 2008 sudah ada Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana yang menyebutkan petugas harus mengajukan pertanyaan dengan ramah dan penuh empati; tidak memaksakan pengakuan atau keterangan dari yang diperiksa; menunjukkan sikap melindungi; serta senantiasa memperhatikan kondisi fisik dan kejiwaan yang diperiksa.
Kemudian ada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam peraturan ini disinggung juga bahwa dalam pemeriksaan perkara, hakim perlu mempertimbangkan dampak psikis yang dialami korban. Ketika perempuan korban tidak sehat secara mental atau hambatan psikis berdasarkan keterangan hakim atau putusan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), hakim juga dapat mendengarkan keterangan korban melalui komunikasi audio visual jarak jauh.
Di 2021 ini, Kejaksaan Republik Indonesia mengeluarkan pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Di dalamnya, disebutkan bahwa korban yang tidak bisa menghadiri persidangan dengan alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan sah lainnya bisa memberikan keterangan lewat perekaman elektronik.
Peraturan-peraturan ini idealnya diterapkan untuk melindungi korban. Namun pada praktiknya, proses penegakan keadilan yang berpegang pada aturan-aturan ini belum sepenuhnya dilakukan secara merata di berbagai tempat.
Masih ada kasus-kasus di mana korban disudutkan dengan pertanyaan, “Apakah kamu menikmati saat diperkosa?” atau tidak dipercaya karena kurangnya bukti atau keterbatasan komunikasi dalam konteks penyandang disabilitas. Belum lagi, para korban masih terbebani oleh biaya-biaya materil, seperti visum dan rehabilitasi psikologi yang sampai saat ini masih dibebankan sepenuhnya kepada mereka, dengan alasan tidak ada anggaran di kepolisian.
Karenanya, penegak hukum dan setiap pihak yang mendampingi korban perlu menguatkan perspektif gender dan keberpihakan pada korban, termasuk menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan psikis korban sekalipun tindakan yang dilakukan –seperti mempertemukan korban dengan pelaku–bertujuan untuk penuntasan kasus.
“Psikolog, pendamping ataupun penegak hukum yang mendampingi korban kekerasan tetap harus memberikan ruang aman tanpa judgmental bagi korban. Sebab tak semua korban kekerasan menampakan traumatiknya secara kasat mata di depan orang lain,” kata Diana.
“Korban bisa tersenyum dan terlihat biasa saja di depan pendamping bukan berarti lepas dari trauma. Justru saat menghadapi korban yang demikian, pendamping butuh usaha ekstra untuk membantu pemulihannya.”