Kasus Pemerkosaan di Aceh dan Dukungan Lingkungan Sekitar
Kasus pemerkosaan di Aceh sekali lagi menunjukkan pentingnya dukungan lingkungan sekitar dalam pemulihan korban.
Proses panjang dan terjal mesti dilalui oleh D, seorang ibu dari Aceh Timur yang baru saja mengalami pemerkosaan. Bukan hanya harus menanggung beban psikis dan fisik akibat kekerasan seksual tersebut, ia juga mesti menanggung duka dan trauma berlapis karena harus kehilangan anaknya yang berusia 10 tahun, R, yang tewas dibacok pelaku dan jasadnya dibuang ke sungai.
Dalam kondisi semacam ini, dukungan orang sekitar menjadi hal penting yang perlu diberikan kepada korban pemerkosaan. Namun, tidak jarang keluarga, tetangga, atau teman-teman korban merasa bingung harus melakukan apa dalam pendekatan untuk memulihkan korban. Pasalnya, kekeliruan orang sekitar dalam memandang serta bersikap kepada korban akan mendatangkan beban lebih berat bagi dirinya sehingga makin sulit untuk melewati proses berduka.
Menghadapi situasi semacam ini, Dian Puspitasari dari Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan menyarankan, setelah korban menceritakan peristiwa traumatisnya, penting bagi orang yang mendengarnya untuk melakukan assessment atau identifikasi kebutuhan korban pemerkosaan terlebih dulu.
Baca juga: Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia
“Kita lihat apakah ada kebutuhan darurat yang dibutuhkan seperti perawatan medis, rumah aman, dan lain-lain. Setelah itu, lakukan assessment dampak dan potensi dampak yang akan timbul dari kekerasan seksual yang menimpanya. Lalu kita identifikasi juga layanan dukungan yang korban butuhkan,” kata Dian.
Salah satu layanan dukungan yang dibutuhkan korban pemerkosaan berkaitan dengan kondisi psikisnya. Menurut psikolog Yayasan Pulih Aenea Marella, pendampingan psikologis pada masa awal pasca-peristiwa pemerkosaan adalah hal penting.
“Pendampingan semacam ini mesti dilakukan dengan berperspektif korban sehingga pemberi dukungan betul-betul memahami dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa itu dan dapat berempati,” kata Aenea.
Identifikasi kebutuhan korban juga menjadi langkah pertama yang dilakukan kepolisian saat korban melaporkan kejadian pemerkosaannya. Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim Polri Kompol Ema Rahmawati menyampaikan, selain kebutuhan medis, kebutuhan penyelesaian kasus secara hukum juga dilayani oleh unitnya.
“Dalam konseling dengan petugas di UPPA, masyarakat atau korban akan bisa berkonsultasi, kira-kira kasus yang dihadapinya itu melanggar hukum apa saja? UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga-kah, UU Perlindungan Anak-kah, atau KUHP-kah. Kalau kondisi korban baik-baik saja, kita bisa lanjut proses laporannya, tetapi kalau keadaannya luka parah sehingga harus dirawat di rumah sakit, laporannya bisa menyusul atau dikuasakan ke keluarga atau pengacara,” jabar Ema.
Mengamankan bukti tindak pemerkosaan
Jika pemerkosaan baru terjadi, maka tindakan yang dapat dilakukan setelah identifikasi kebutuhan korban adalah pengamanan bukti, kata Dian.
“Dalam kasus pemerkosaan, bukti bisa berupa keterangan ahli dokter, dokter jiwa, psikolog, atau ahli hukum, ahli digital forensik. Kalau ini tidak tersedia, pasti akan menghambat proses hukum kasus korban juga,” imbuhnya.
Senada dengan Dian, Ema mengatakan, dalam penyelesaian masalah hukum, korban harus menunjukkan minimal dua alat bukti agar kasusnya bisa diproses.
“Visum itu alat bukti utama dalam kasus pemerkosaan. Karena kalau tiap orang melapor hanya bilang dia diperkosa tanpa bukti apa pun, orang bisa menuduh siapa pun. Jadi, persyaratan minimal harus ada bukti awal,” ujarnya.
Baca juga: Berita Pemerkosaan di Media: Sensasionalitas Berkedok Heroisme
Selain visum, Ema menyatakan bahwa rekam medis pun bisa dibawa sebagai penguat bukti tindak pemerkosaan. Misalnya ada korban pemerkosaan yang melapor telah diperkosa beberapa hari sebelumnya, ia bisa datang dengan membawa rekam medis setelah memeriksakan diri secara mandiri ke klinik atau rumah sakit. Dalam rekam medis itu dapat termuat keterangan bahwa dirinya mengalami perlukaan di vagina.
“Keterangan ini bukan visum ya, karena kalau yang meminta visum itu dari polisi, jadi ada laporan dulu,” kata Ema.
Dalam membuktikan bahwa telah terjadi pemerkosaan, tidak setiap waktu perempuan bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah korban jika merujuk pada bukti visum fisik saja. Ini karena tidak setiap korban langsung melapor setelah pemerkosaan terjadi serta kondisi vagina yang berbeda-beda pada tiap korban sehingga tidak selalu terlihat perlukaan karena pemerkosaan, tutur Margaretha Hanita, konsultan di Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) yang juga pernah mendampingi korban pemerkosaan.
“Pemeriksaan korban yang menunjukkan dia trauma bisa menjadi bukti kasus. Namun ini masih belum populer karena tidak berbekas seperti fisik.”
“Soal scientific evidence, saya pernah membantu waktu menjadi konsultan UN Women untuk membuat panduan bagi UPPA Polda Metro Jaya untuk menangani kasus kekerasan seksual. Yang pertama itu pemeriksaan psikologis korban, itu wajib dilakukan,” kata Hanita.
“Ketika diperiksa korbannya terlihat trauma, itu kan bisa jadi bukti, tapi ini masih belum populer karena enggak berbekas seperti fisik.”
Ia menambahkan, dalam beberapa penanganan kasus di kepolisian, ada penyidik yang hanya menekankan pada bukti perlukaan pada vagina atau bekas sperma pelaku saja. Padahal, ada hal-hal lain yang harus diperiksa untuk mendukung penyelesaian kasus korban.
“Bukan hanya sperma saja yang perlu dicek melekat di korban, tapi juga DNA pelaku. Ada kalanya sperma enggak kelihatan, tapi DNA ada karena sudah ada gesekan alat kelamin. Karena itu, pemeriksaan korban pemerkosaan harus sangat rinci,” papar Hanita.
Berkaca dari pengalamannya saat menjadi konsultan Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) dan mendatangkan polisi Korea untuk menyosialisasikan penanganan kasus pemerkosaan, Hanita melihat polisi di sana sangat teliti.
Baca juga: Jalan Panjang Mengupayakan Hak Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan
“Rape kit yang dipakai di Korea itu lengkap banget sampe DNA. Itu kan mahal, dan itu jadi kelemahan dalam penanganan kasus di Indonesia,” ujar Hanita.
Selain bukti perlukaan vagina, pemeriksaan psikologi korban (visum et repertum psikiatrikum), atau pemeriksaan sperma dan DNA pelaku, Ema menambahkan bahwa pemeriksaan mikrobiologis juga bisa mendukung penanganan kasus korban pemerkosaan.
“Bisa saja setelah pemerkosaan ada virus atau bakteri di vagina sehingga si korban mengalami penyakit kelamin,” kata Ema. Namun, pemeriksaan ini sebagaimana pemeriksaan DNA masih terkendala di Indonesia karena perkara biaya yang tidak murah tadi.
Peran orang sekitar dan media untuk pemulihan trauma
Dalam kasus D dan korban-korban lain seperti dirinya, keluarga atau teman-teman korban mesti berhati-hati dalam berbicara dengan korban.
“Sering kali masyarakat sekitar bertanya kepada korban, ‘Kok bisa kamu sampai diperkosa?’ atau ‘mengapa itu terjadi?’. Nah, ungkapan ini enggak punya perspektif korban. Kita semestinya lebih mendengarkan, mendukung korban, peduli pada kesehatannya dan yang ia rasakan saat itu, juga mencoba mengajak bicara orang-orang sekitarnya,” kata Hanita.
Terkait kematian anaknya, sangat mungkin D merasa bersalah dan berpikir dialah penyebab kematian R. Karena itu, menurut Aenea, penting juga untuk memberi kesempatan pada D untuk memproses kesedihan dan rasa kehilangannya, sembari mengingatkannya bahwa ada layanan-layanan yang bisa ia akses bila sewaktu-waktu D membutuhkannya, termasuk layanan konseling psikologi.
“Dalam proses berduka, ada beberapa faktor yang menghambat pemulihan korban. Secara internal, terkait kondisi psikis orang tersebut, bagaimana ia menghayati proses kehilangannya, seperti dalam kasus D, ia kehilangan rasa aman dan anaknya. Lalu ciri kepribadian juga berpengaruh, atau pernah ada pengalaman kehilangan sebelumnya. Kalau secara eksternal, minimnya dukungan lingkungan sekitar dan layanan bagi korban yang tersedia bisa memperlama proses berduka seseorang,” jelas Aenea.
Di samping orang sekitar, hal lain yang juga berdampak pada proses pemulihan trauma korban pemerkosaan adalah eksposur berita peristiwa yang dialaminya, baik di media massa atau media sosial. Selepas kematian R, banyak orang dan media menyebarkan pengalaman D ini, bahkan sebagian di antaranya menganggap R sebagai pahlawan atau martir setelah meninggal karena tidak mau kabur saat ibunya diperkosa.
Menurut Dian, pemberitaan di media seperti ini bisa menjadi dua sisi mata pisau yang jika tidak dilakukan secara hati-hati, berkontribusi pada lamanya trauma pada korban.
Baca juga: Nasib di Ujung Tanduk Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual
“Pemberitaan kekerasan seksual di media perlu memperhatikan kesiapan korban dan kembali lagi pada kebutuhan serta keputusannya. Jika korban menginginkan peran media dalam mendorong pemrosesan kasusnya, maka pemberitaan bisa dilakukan. Tapi jika korban belum membutuhkan keterlibatan media karen berbagai pertimbangan, maka media sebaiknya tidak berlebihan mengekspos kasusnya,” jelas Dian.
Kalau pun tetap diberitakan, media tetap dapat menyebutkan kasus kekerasan seksual yang menimpa korban tanpa secara spesifik menguak kronologi dan tentu memperhatikan etika jurnalistik untuk tidak menguak identitas korban.
Aenea menambahkan, media perlu mempertimbangkan kondisi korban atau keluarganya saat hendak mewawancarai mereka karena ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan, apalagi jika sudah ada lebih dari satu pihak yang menanyainya.
“Hal ini dapat membuat korban terluka karena harus mengulang-ngulang cerita yang tidak menyenangkan. Setelah ditanyai, bisa jadi respons traumanya semakin intens dan hal tersebut membawa kerugian bagi korban,” kata Aenea.
Sementara bagi korban yang menyimak beritanya, bila pemberitaan pemerkosaan memicu emosi negatif, Aenea menyarankan untuk sementara waktu tidak membaca atau mengikuti berita tersebut serta menenangkan diri lebih dulu. Apabila emosi negatif semakin sulit dikelola secara pribadi atau dengan bantuan sahabat terdekat, akan sangat baik jika meminta bantuan profesional, kata Aenea.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari