Banyak Anak Banyak Rezeki, Tak Semua Perempuan ‘Relate’ Termasuk Saya
Ada yang masih bergulat mencapai impian, menghidupi banyak orang, atau punya risiko kesehatan. Jadi, setop salahkah perempuan yang tak sepaham soal jargon ‘banyak anak banyak rezeki’.
Saya sadar hidup di tengah masyarakat yang menjadikan anak sebagai tolok ukur kebahagiaan rumah tangga. Maka, enggak heran jika saban hari saya dihujani pertanyaan, “Sudah isi belum? Semoga cepat hamil ya! Punya anak, gih biar bahagia dan suami semakin lengket.”
Saya akui kadang karena terlalu kerap diucapkan, pernyataan ini lebih seperti tuntutan atau ledekan, alih-alih harapan. Saya sendiri merasa jengah mendengarnya. Sebab, saya dan suami punya standar kebahagiaan sendiri, dan itu bukan berdasarkan tuntutan untuk segera punya anak yang banyak setelah sah menikah. Kesamaan visi misi dan komitmen untuk tak berhenti berjuanglah yang membuat kami akhirnya berbahagia.
Masalahnya, keyakinan tentang banyak anak banyak rezeki itu terlanjur mengakar dalam kultur mayoritas keluarga konvensional. Allendorf & Ghimire (2012) dalam “Determinants of marital quality in an arranged marriage society” menjelaskan, anak dianggap sebagai penentu utama kebahagiaan keluarga. Artinya semakin banyak anak, semakin berlipat-lipat pula kebahagiannya.
Dalam riset itu juga disebutkan, mereka yang tak kunjung dikaruniai anak, memilih untuk bercerai. Beberapa sisanya memilih melakukan adopsi atau mengasuh anak yang masih memiliki hubungan keluarga. Meskipun demikian, masih ada yang tetap mempertahankan hubungan perkawinannya meskipun tanpa kehadiran anak.
Baca juga: Bias Tak Terlihat dalam Istilah “Resesi Seks”
Muncul dari Penafsiran Agama yang Tekstual
Adagium atau ungkapan banyak anak banyak rezeki ini kerap dikaitkan dengan pemahaman mereka terhadap segelintir ayat di Alquran atau kutipan Hadis. Misalnya tampak dalam QS. Al An’am: 151
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.”
Atau Hadis dari Abdullah bin Umar ra., di mana Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya: “Jika seorang anak Adam mati, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim)
Kedua teks agama tersebut jika dibaca secara tekstual, memperlihatkan anak merupakan rezeki bagi pasangan yang menikah. Bagi pasangan yang mendambakan keturunan, kehadiran anak bisa dianggap sebagai berkat luar biasa. Kehadiran mereka memperkaya pengalaman hidup, menghadirkan kebahagiaan yang tak tergantikan, dan membawa warna baru dalam dinamika keluarga.
Anak-anak membawa kegembiraan, cinta, dan makna yang mendalam di keluarga. Mereka adalah pilar-pilar masa depan, mewarisi nilai-nilai, tradisi, dan memberikan harapan bagi kelangsungan kehidupan. Anak-anak juga menjadi motivasi bagi pasangan untuk terus bertumbuh sebagai individu dan sebagai keluarga. Mereka yang percaya adagium ini juga menambahkan, tanggung jawab untuk mendidik, melindungi, dan mencintai anak-anak, bakal memperkuat ikatan antara pasangan.
Masalahnya, tak semua perempuan yang bakal relate atau merasa relevan dengan anggapan tersebut. Sebab, ada beragam faktor yang melatarbelakanginya. Di Jepang dan Korea Selatan, dalam artikel Magdalene disebutkan, muda mudi di sana enggan punya anak karena biaya hidup yang kian mahal juga susahnya mencari pekerjaan. Sebelas dua belas, di Korea Selatan, itu didorong oleh meningkatnya biaya hidup, pembayaran uang sekolah, kelangkaan tempat tinggal yang terjangkau, dan persaingan kerja yang ketat.
Adanya krisis iklim juga digadang-gadang menjadi faktor lain, kenapa orang mulai mempertimbangkan dengan serius, alasan tidak mau punya anak atau memilih anak sekadarnya saja.
Buat saya sendiri, alasan untuk tak sepaham dengan jargon banyak anak banyak rejeki, biarkan menjadi urusan privat saya. Namun, saya berkeyakinan, apapun yang akhirnya diputuskan oleh perempuan, itu menjadi hal yang paling personal dan bermanfaat untuk dirinya sendiri.
Baca juga: Hormati Gita Savitri, Perempuan Memang Bebas Pilih Punya Anak atau Tidak
Isu Otoritas Tubuh Perempuan yang Sembunyi
Lepas dari alasan apa pun yang digunakan orang untuk menjawab pertanyaan, kapan punya anak, sering kali itu dibarengi dengan pernyataan yang seksis. Bahkan, beberapa di antaranya justru menabrak otoritas tubuh saya.
Pernah suatu ketika, seorang tetangga berkomentar, “Ayo, kapan punya anak? Jangan terlalu menjaga tubuh, ah!”
Bagi saya, perkataannya tersebut adalah bukti betapa perempuan tak diberikan hak untuk mengatur dan memiliki tubuhnya sendiri. Bahkan, sampai urusan reproduksi saja didikte oleh orang lain. Pernyataan orang itu, di saat bersamaan, telah merendahkan nilai diri saya seolah saya sebatas seonggok tubuh.
Padahal, ada isu yang kompleks di balik keputusan punya anak. Bentuk tubuh yang berubah, emosi yang naik turun, ancaman depresi yang mengintai, juga akses lain termasuk ekonomi hingga relasi keluarga. Ingin sekali rasanya saat itu berteriak: “Saya tetap bernilai, kok, kalau pun akhirnya memutuskan tak punya anak kelak.”
Dari pengamatan saya, ada beberapa sebab kenapa perempuan diasingkan dari hak atas tubuhnya, ketika membahas isu anak ini.
Pertama, berakarnya budaya dan norma masyarakat yang mengajari perempuan untuk berpandangan bahwa tujuan hidup, nilai, dan kesempurnaan perempuan terletak pada peran sebagai ibu dan pengasuh keluarga. Tekanan sosial dan budaya ini membuat perempuan merasa, keberhasilan mereka tergantung pada berapa banyak anak yang mereka lahirkan untuk suami atau cucu yang dimunculkan buat mertua.
Kedua, masyarakat sering kali fokus hanya pada tubuh perempuan, dan sering mengabaikan pentingnya kesehatan mental, emosional, dan spiritual. Akibatnya, otoritas perempuan dalam memutuskan apa yang terbaik bagi keseimbangan seluruh tubuh dan kehidupan mereka sering terabaikan.
Ketiga, interpretasi ayat agama yang kurang tepat memunculkan pandangan bahwa kewajiban utama perempuan adalah melahirkan banyak anak. Ini sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan perspektif gender yang seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan dalam agama.
Padahal Dr. Qurrotul Ainiy, M.HI. dalam bukunya yang berjudul “Keadilan Gender dalam Islam” (2015) menegaskan, perempuan juga memiliki hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka serta memperoleh penerangan, pendidikan, dan sarana-sarana untuk memungkinkan mereka menggunakan hak-hak ini.
Ini menunjukkan, dalam ajaran agama pun, hak otonomi reproduktif perempuan diakui dan diperjuangkan. Memahami hak ini adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi perempuan, di mana mereka memiliki kendali penuh atas keputusan yang berkaitan dengan tubuh dan kehidupan sendiri.
Nagita Histimuna Aisyah bisa dihubungi di [email protected].