Bercadar dan Feminis: Mengenal Ainun Jamilah Pendiri Cadar Garis Lucu
Mengenal Ainun Jamilah yang melawan stigma perempuan bercadar dengan kampanye isu-isu toleransi hingga feminisme.
Apa yang terbesit di benakmu ketika melihat perempuan bercadar? Ekstremis? Teropresi? Atau malah rentan jadi pelaku bom bunuh diri?Jika hal-hal semacam itu masih ada dalam pikiran, maka kamu akan kaget bertemu dengan Ainun Jamilah.
Dengan cadar yang biasanya dipadupadankan bersama gamis renda favoritnya, perempuan berusia 26 tahun tersebut tidak segan membagikan foto dirinya ketika tengah di gereja atau vihara lewat akun media sosial. Di unggahan lain, terlihat pula Ainun yang membagikan berbagai kasus kekerasan seksual dan beragam isu feminisme.
Selain sibuk mengajar dalam kesehariannya, Ainun yang merupakan lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar juga aktif sebagai pegiat isu gender dan keberagaman bersama komunitasnya.
Ainun memang sudah lama menarik perhatian saya. Di antara banyaknya orang yang sering berkomentar, atau membagikan konten-konten Magdalene di media sosial, Ainun termasuk salah satu yang getol. Kehadiran Ainun menepis berbagai stigma buruk yang dilekatkan pada perempuan bercadar.
Ainun mengatakan, stigma buruk yang melekat pada perempuan bercadar di masyarakat semakin kuat seiring dengan banyaknya kasus terorisme yang melibatkan perempuan. Hal itu pula yang mendorongnya untuk mendirikan Cadar Garis Lucu, komunitas yang berusaha menampilkan perempuan bercadar yang mendukung toleransi dan kesetaraan gender.
Baca juga: Nur Rofiah Dorong Kajian Gender dalam Islam yang Lebih Inklusif
“Saya ingin menampilkan citra perempuan bercadar yang punya pemikiran inklusif, toleransi dan peduli dengan isu perempuan,” ujar perempuan kelahiran Makassar tersebut kepada Magdalene (17/1).
Berikut ini rangkuman wawancara kami dengan Ainun baru-baru ini.
Magdalene: Bisa ceritakan sejak kapan dan kenapa memilih untuk bercadar?
Saya memutuskan untuk bercadar di pertengahan 2015. Banyak alasan sebenarnya, tapi yang paling khusus adalah karena saya pada saat itu ikut perkumpulan pengajian, tapi kok saya merasa ‘dilihatin’ [oleh laki-laki] di sana dan bahkan kena catcalling padahal waktu itu sudah menggunakan pakaian syar’i.
Pertamanya pikiran saya masih pendek aja, dan mengira mungkin yang bermasalah adalah wajah saya, makanya saya putuskan bercadar. Eh tapi, hanya awal-awal saja saya tidak diganggu, setelah beberapa bulan tetap aja gangguan itu ada. Nah, dari sana saya mulai bahwa yang bermasalah bukan pakaian saya, tapi otak mereka.
Kenapa akhirnya tetap meneruskan bercadar?
Meski saya sudah paham bahwa itu bukan masalah pakaian, tapi saya putuskan untuk tetap memakai cadar karena saya merasa nyaman dan ini identitas saya. Saya tidak merasa terpaksa dan tetap merasa merdeka akan pilihan ini.
Apakah ada ketakutan ketika memutuskan bercadar?
Stigma buruk perempuan bercadar karena banyaknya kasus terorisme memang jadi pertimbangan terbesar saya. Itu juga yang menjadi kekhawatiran ibu saya juga. Ibu bilang, dia tidak mempermasalahkan keputusan saya, hanya saja belum siap dengan pandangan masyarakat.
Akan tetapi saya melawan itu dengan membuktikan lewat perilaku keseharian saya bahwa saya tetap memperlakukan orang lain dengan baik. Saya tidak segan berdiskusi dengan siapa pun, jadi saya enggak perlu menjelaskan diri saya berafiliasi dengan kelompok mana. Dari argumen-argumen yang saya keluarkan, mereka sudah bisa menilai sendiri bagaimana pandangan saya.
Baca juga: Larangan Cadar Tak Masuk Akal, Tak Seperti Alasan Perempuan Memakainya
Pernah ada pengalaman buruk?
Pasti ada, yang paling bikin trauma itu di lingkungan kampus. Biasanya kalau lagi ada di ruang publik atau lagi makan, saya sering dilihatin, ya, mungkin mereka beranggapan repot banget kalau makan pakai cadar. Awalnya, sih, saya jujur saja ada rasa benci dan bertanya: Kenapa kok orang menertawakan saya? Toh, saya merasa nyaman-nyaman aja dengan pakaian saya.
Di lain waktu, ada juga yang pernah nanya langsung, apakah saya bagian dari kelompok teroris atau bukan. Saya jawab saja bukan, karena memang tidak berafiliasi dengan kelompok mana pun atau organisasi apa pun. Akan tetapi, ya lama kelamaan berdiskusi akhirnya cair juga dan mereka tahu saya tidak seperti apa yang mereka pikirkan.
Kalau menurut Ainun, kenapa stigma kayak gitu makin kuat?
Saya enggak bisa menyalahkan juga mereka yang punya persepsi buruk terhadap perempuan bercadar karena memang ada alasannya, terutama bagi mereka yang berhubungan langsung dengan kejadian traumatis seperti pengeboman. Nah, ini kembali lagi bagaimana PR saya menyampaikan tidak semuanya perempuan bercadar melakukan hal demikian. Ada saya dan teman-teman di Cadar Garis Lucu yang menyuarakan isu-isu toleransi.
Cadar Garis Lucu ini menarik, bisa diceritakan awal mula dibentuknya?
Awalnya, ya, berangkat dari diskusi bersama teman-teman bercadar. Nah, kami punya satu pemikiran gimana caranya memperlihatkan bahwa ada perempuan bercadar yang punya pemikiran inklusif, dan menyuarakan isu-isu toleransi hingga isu perempuan.
Karena enggak mau terlalu serius, akhirnya adalah Cadar Garis Lucu ini. Kami enggak merekrut orang, ini hanya jadi semacam medium agar orang yang bercadar dan tidak bercadar bisa saling berinteraksi dan berdiskusi. Nah, di dari delapan anggota aktif, tidak semuanya bercadar, bahkan ada satu yang Kristen.
Oh, jadi dari agama lain pun bisa ikut Cadar Garis Lucu?
Iya bisa, kami ingin Cadar Garis Lucu ini jadi tempat aman untuk orang berdiskusi dan berkomunikasi. Anggota yang Kristen ini memang teman kami dan dia tertarik dengan isu-isu yang sering kami diskusikan, awalnya, teman saya yang ngajak, tapi ternyata dia mau ikut. Tujuan dia masuk, dia pengen ngasih perspektif baru untuk komunitas Kristen tentang perempuan bercadar, bahwa ada loh perempuan bercadar yang mau menerima saya dengan hangat.
Sebelum punya pemikiran seperti ini, apakah dulu sempat punya pengalaman ikut pengajian yang tergolong ‘ekstrem’?
Iya saya dulu sempat ikut pengajian yang sudah termasuk dalam ekstremis. Pada saat itu saya yang menyelamatkan diri saya sendiri karena saya dengan cepat menyadari, bukan ini loh yang Islam inginkan.
Ketika saya ada di kelompok pengajian tersebut, saya belum bercadar cuma saya baru mulai membenahi model pakaian saya. Saya enggak tahu kelompok kajian ini berafiliasi kemana, tapi makin lama makin lama saya merasa kurang nyaman, kok kayak saya merasa makin jauh dari nilai-nilai Islam yang saya ketahui, yaitu Islam yang ramah, fleksibel, bisa menerima semua orang tanpa terkecuali. Banyak pertanyaan yang membuat saya berhenti.
Baca juga: Kisah Berakhirnya Hubungan Saya dengan Sahabat yang Bercadar
Bagaimana perjalanan bisa terpapar dengan isu gender dan toleransi?
Sebelum concern dengan isu gender, justru saya mendalami isu toleransi dulu. Awalnya saya mengikuti kajian filsafat di tahun 2018, tapi sebelum ikut kajian saya sudah mendapatkan materi-materi tentang toleransi, pluralisme hingga modernisme dari kelas sejarah agama-agama waktu kuliah. Dari situ saya mulai paham bahwa agama itu sangat beragam sekali, dan kita tidak hidup di satu cangkang dengan warna yang sama, makanya harus bisa hidup berdampingan.
Nah, di kajian filsafat itu saya mulai mengasah nalar kritis dan mempertanyakan sesuatu yang dulu mungkin nggak kepikiran. Hal sederhananya saya mempertanyakan keimanan, konsep salah benar, dan akhirnya punya perspektif lain dalam memandang suatu hal. Akhirnya saya pun nyebur dengan isu ini. Meski orang-orang bilang saya semakin tidak beriman, justru saya merasa lebih beriman. Saya jadi versi diri saya yang terbaik dibanding sebelumnya.
Lalu, bagaimana akhirnya juga tertarik dengan isu feminisme?
Saya mengenal isu gender baru awal 2020, terlebih karena saya mengalami kekerasan seksual di akhir 2019. Semenjak itu, saya paham bagaimana rasanya jadi perempuan yang marah terhadap sistem patriarki. Saya marah pada orang-orang yang kemudian menjadikan dalil-dalil agama sebagai alat untuk melanggengkan apa yang mereka inginkan dari perempuan.
Nah, ini yang kemudian membuat saya semakin vokal dan concern dengan isu ini. Bukan karena saya mau mendapatkan apa dari ini, tetapi, saya mau berbagi tentang apa yang sudah saya ketahui. Setelah saya vokal, ada orang di sekitar saya yang akhirnya sadar bahwa selama ini kita dibego-begoin. Berbagai kasus yang terjadi dan penindasan terhadap perempuan menjadi alasan yang cukup untuk saya akhirnya kenal feminisme.
Saya paham bagaimana rasanya jadi perempuan yang marah terhadap sistem patriarki. Saya marah pada orang-orang yang kemudian menjadikan dalil-dalil agama sebagai alat untuk melanggengkan apa yang mereka inginkan dari perempuan.
Sudah bercadar pun tetap mengalami kekerasan seksual, berarti itu sekaligus jadi bukti bahwa kekerasan seksual bukan karena pakaian korban, ya?
Betul, itu yang selalu saya sampaikan pada teman-teman, bahwa sekalipun kamu sudah memakai pakaian syar’i dan bercadar, kamu jangan pernah merasa aman dari pelecehan seksual. Bukan tidak mungkin bahwa pelakunya itu orang terdekat yang kamu anggap sudah mengerti agama. Buktinya, saya jadi korban di mana pelakunya dari luar sangat terlihat mengerti agama. Intinya, jangan salahkan pakaian korban.
Secara umum, pernah juga diserang karena vokal dengan isu toleransi dan feminisme?
Banyak ya serangannya. Saya merasa bertanggung jawab terhadap teman-teman di Cadar Garis Lucu yang saya ajak. Tapi, karena memang mereka sudah paham ya, mereka masih fine-fine aja menghadapi yang kontra. Saya bahkan pernah disuruh lepas cadar aja karena dituduh sudah tidak mencerminkan Islam.
Memangnya indikator macam apa sih kalau perempuan bercadar itu? Emang ada ketentuan tertulis bahwa orang bercadar harus seperti itu, orang bercadar harus seperti ini. Kalian lah yang membuat-buat itu, dan kenapa ketika saya membuat cara yang baru, gaya yang baru ya itu nggak sepenuhnya salah dong. Meskipun saya bercadar, saya tidak pernah merasa mewakili semua perempuan bercadar, saya membawa diri sendiri.
Bagaimana pandangan Ainun tentang penindasan terhadap perempuan yang sering kali dibalut dengan narasi keagamaan?
Saya sebetulnya nggak heran kalau ada sebagian feminis radikal yang bilang bahwa jilbab itu opresi, karena memang kenyataannya ada yang seperti itu. Banyak pemuka agama yang akhirnya menyampaikan [narasi ketakutan] untuk mengurung kita dengan membatasi ekspresi perempuan.
Aduh saya suka sedih kalau melihat teman-teman di Pakistan dan negara yang sedang berkonflik lain tidak bisa mendapat kebebasan seperti saya di sini. Saya kira peraturan semacam itu bukan apa yang diharapkan Tuhan, bahkan Nabi Muhammad pun nggak pernah menyuruh untuk memperlakukan perempuan seenaknya. Dia menganggap perempuan sebagai makhluk spiritual dan intelektual, dia punya potensi untuk mengembangkan dirinya. Saya punya pandangan kayak gini sering dianggap kontradiktif dengan pakaian saya.
Ainun juga sempat ramai dibicarakan di media sosial karena bertemu Paus, itu bagaimana ceritanya?
Jadi saat bom bunuh diri April tahun lalu terjadi di Katedral Makassar, pas banget tuh lagi puncak perayaan Paskah. Saya dan teman-teman pun bikin aksi solidaritas bersama, kemudian bertamu ke Katedral, karena di organisasi yang saya ikuti juga sering begitu, melakukan kunjungan ke rumah ibadah dan berdiskusi.
Selain aksi di dua tempat, saya juga menyampaikan permohonan maaf kepada Paus sekaligus kami bersuka cita atas perayaan paskah. Saya merasa menjadi pihak yang bertanggung jawab dengan adanya bom bunuh diri itu. Pertama, karena pelakunya adalah muslim. Kedua, pelakunya bercadar. Harusnya kita nggak boleh denial dan mengakui bahwa ada dogma ayat yang bisa sekali untuk disalahpahami oleh kelompok tertentu.
Saya langsung meminta maaf kepada teman-teman Katolik, memang sulit untuk memaafkan, tapi setidaknya mereka melihat bahwa ada kita yang berdiri bersama mereka. Nah, kebetulan viral karena memang momennya aja ya.
Harusnya kita nggak boleh denial dan mengakui bahwa ada dogma ayat yang bisa sekali untuk disalahpahami oleh kelompok tertentu.
Saat berita itu viral, dapat serangan enggak?
Banyak, bahkan hari itu saya nggak tahu apakah harus bahagia atau cemas, karena berita itu banyak sekali diliput oleh media lokal, dan di kolom komentar itu banyak orang yang pro dan kontra pastinya. Enggak sedikit yang bilang saya sudah melampaui batas. Aduh pokoknya banyak sekali. Tapi saya imbangi dengan membaca komentar-komentar yang mensupport saya. Semuanya cukup imbang, dan malah masih lebih banyak orang yang mengapresiasi apa yang saya lakukan.
Dalam wawancara Ainun bilang tidak masalah membuka cadar selama itu untuk kepentingan bersama, apakah benar?
Ya memang itu benar, tapi itu menurut saya. Jika perempuan bercadar lain tidak setuju, ya, silakan. Kalau keharusan membuka cadar itu untuk kemaslahatan banyak orang, ya, enggak masalah. Misalnya kamu ketemu dengan saya yang bercadar tapi punya trauma dan merasa cemas dan gak nyaman dekat dengan saya, saya nggak keberatan untuk buka.
Ada rasa takut ke depannya untuk terus vokal isu toleransi dan sosial?
Pasti ada, yang paling ditakutkan adalah keamanan digital ya, karena takutnya akun saya dan teman-teman kena hack atau gimana. Tapi kalau di lingkungan pribadi sampai hari ini masih mendapatkan ruang dan support yang baik, entah itu dari guru dan dosen yang aktif di gerakan yang sama.
Ada pesan yang ingin sampaikan?
Isu toleransi bahkan isu feminis, itu semua isu kemanusiaan, tidak ada yang melenceng daripada kemanusiaan itu sendiri. Makanya ketika orang bilang saya dulu vokal di isu toleransi dan sekarang feminisme itu cuma ngikutin tren, ya itu nggak benar.
Saya melakukan dengan kesadaran saya karena saya melihat bahwa irisan terkait dengan toleransi dan feminisme itu sama dan sejalan. Toleransi jadi payung yang besar, sedang feminisme juga masuk di dalamnya, keadilan terhadap perempuan itu termasuk. Saya nggak harus menjadi siapa pun untuk mendukung isu kemanusiaan ini. Selama saya menyadari kemanusiaan saya berarti saya punya tanggung jawab untuk menyadarkan orang yang belum sadar terkait isu-isu ini.