Berlapis Tekanan Para Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan alami tekanan fisik dan psikis selama merawat pasien COVID-19.
Pada (4/7) lalu, seorang perawat di Puskesmas Kedaton, Bandar Lampung, dikeroyok tiga orang tak dikenal. Para pelaku berusaha mengambil paksa tabung oksigen di Puskesmas Kedaton. Padahal, Puskesmas Kedaton memprioritaskan alokasi oksigen untuk pasien COVID-19 karena jumlah edarnya yang semakin menipis, lonjakan kasus positif. Sang perawat berusaha mempertahankannya lantaran para pelaku tidak datang dengan surat keterangan yang menyatakan sedang dalam kondisi darurat COVID-19. Hasilnya, sebuah bogem mentah mendarat di wajah perawat.
Di tempat terpisah, awal Juli lalu, ambulans milik Lazismu PC Muhammadiyah Cawas, Klaten, dilempari batu oleh orang tak dikenal ketika sedang menjemput pasien di Solo. Padahal, ambulans berikut tenaga kesehatannya tak melakukan pelanggaran apapun. Akibatnya, kaca depan ambulans pecah, sedangkan pasien positif COVID-19 dan supirnya terancam mengalami trauma.
Merespons ini, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Harif Fadhilah, menyebut kekerasan dan tekanan dari keluarga pasien serta masyarakat sekitar bukan hanya satu kali menimpa para tenaga kesehatan (nakes).
“Saya sudah menerima tiga laporan kasus pemukulan maupun kekerasan lainnya yang dilakukan keluarga pasien kepada para perawat,” ujar Harif dalam konferensi pers bertajuk ‘Seruan Tenaga Kesehatan Indonesia: Alarm Bahaya dari Benteng Terakhir’ yang diselenggarakan oleh lembaga Lapor COVID-19 pada (9/7).
Sudah jatuh tertimpa tangga. Selain mendapat tekanan oknum masyarakat, nakes juga harus berjibaku dengan pasien-pasien COVID-19 selama hampir dua tahun terakhir, ujar Harif. Hal utama yang tak terhindarkan adalah tekanan psikis dalam bentuk rasa bersalah lantaran tak bisa merawat semua pasien dan orang yang membutuhkan. Apalagi lonjakan kasus hari-hari ini berbuntut pada minimnya nakes dan fasilitas kesehatan yang tersedia.
“Nakes ini semua berempati pada pasien-pasien yang mengantre di rumah sakit di mana-mana, bahkan sampai dirawat, atau menunggu di tenda-tenda. Itu sangat menambah tekanan psikologis kami. Ingin sekali menolong, tapi apa daya, tidak punya kekuatan,” ujarnya.
Baca juga: Tenaga Kesehatan Perempuan Banyak, Namun Masih Tersisihkan
Hal itu mengakibatkan 83 persen tenaga kesehatan mengalami burnout selama masa pandemi, ujar Harif merujuk temuan dalam riset magister kedokteran kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada September 2020 lalu. Temuan itu pun hanya mencakup situasi sebelum lonjakan kasus pada pertengahan Juni hingga sekarang. Menurut Harif, lonjakan kasus ini tentu akan menambah tingkat burnout para perawat dan tenaga kesehatan lainnya.
“Per bulan Juli ini, sudah 373 perawat meninggal karena COVID-19. Hampir semua rumah sakit mengatakan, 25 persen perawatnya positif COVID-19 per bulan Juni. Belasan ribu berarti terkonfirmasi, tapi angka COVID-19 terus meningkat. Kami harus bertugas dengan tenaga apa adanya. Bisa dibayangkan bebannya.”
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, imbuhnya. Pemerintah harus memfokuskan program dan rencana penyelamatan tenaga kesehatan, bukan lagi sekadar pencegahan atau standar operasional prosedur.
“Yang perlu dipenuhi sekarang itu apabila ada nakes yang sudah sakit, bagaimana perlindungannya? Bagaimana penyelamatannya? Jangan sampai kami merawat pasien, tapi ketika kami yang sakit, mencari ruang rawat susah. Obat-obatan, alat lab, juga harus diprioritaskan.”
Harif menambahkan, “Kalau ini perang, nakes ada di garis terdepan. Oleh karena itu, nakes harus dipersenjatai dengan asupan dan perlindungan yang memadai.”
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Emi Nurjasmi, membenarkan bahwa minimnya sumber daya serta fasilitas kesehatan berdampak buruk pada kinerja nakes. Ia menyampaikan, per Juli 2021, 207 bidan meninggal akibat COVID-19. Empat puluh di antaranya meninggal selama Juli ini. Eksesnya tak main-main, salah satunya adalah semakin rentannya kondisi ibu hamil dan ibu yang hendak melahirkan pada masa pandemi.
“Sekarang rumah sakit penuh. Rumah sakit tidak mau menerima para ibu hamil yang sudah dites dan dinyatakan positif COVID-19. Akhirnya, mereka dikembalikan ke bidan dan puskesmas. Padahal bidan tidak punya fasilitas yang lengkap untuk merawat. Ini sudah risiko tinggi, bukan lagi kewenangan di tingkat bidan.”
“Saya bahkan dapat laporan dari bidan di Yogyakarta, ada beberapa ibu yang terpaksa dirawat di rumah sakit lapangan karena rumah sakit dan klinik yang penuh. Bagaimana kalau (pasien) sudah mau melahirkan?” ia menambahkan.
Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: 30 Tahun Bekerja, Hadapi Ketakutan yang Berbeda
Di lain sisi, kondisi dan kegiatan di Puskesmas juga semakin padat lantaran ada kegiatan tambahan, seperti perawatan bagi pasien COVID-19 di beberapa Puskesmas, serta kegiatan vaksinasi. Hal ini membuat sumber daya manusia semakin terbatas dan kondisi para bidan semakin rentan terpapar virus ini.
“Itu juga tidak disertai dengan proteksi yang memadai. Di beberapa daerah, bahkan bidan yang ditugaskan menjadi vaksinator itu tidak difasilitasi Alat Pelindung Diri (APD). Ada juga bidan yang sedang isolasi mandiri, tapi tetap disuruh masuk karena tenaga sangat terbatas,” kata Emi.
“Ada tambahan kekhawatiran bidan. Jangan-jangan kasus ibu hamil dan ibu melahirkan terdampak itu karena mereka tidak bisa akses fasilitas kesehatan ketika membutuhan.”
Kebijakan Ramah Nakes
Emi dari IBI mengatakan, dibutuhkan beberapa kebijakan tambahan untuk memperbaiki nasib para tenaga kesehatan di Indonesia dalam menangani kondisi pandemi ini. Pertama adalah manajemen dan pengaturan kerja yang spesifik, sehingga tidak membuat tenaga kesehatan kelelahan. Hal itu juga harus disertai dengan dukungan terhadap imunitas yang kuat agar tidak mudah terpapar virus.
“Yang kedua, saya sepakat sekali dibuat rumah sakit khusus COVID-19 dan ada rumah sakit non-COVID-19, karena sekarang rumah sakit penuh dengan pasien COVID-19, sementara ada pasien lain yang butuh perawatan dengan alasan berbeda,” ujarnya.
“Memperhatikan betul insentif para tenaga kesehatan itu hal penting yang ketiga. Sampai saat ini, insentif yang diterima bidan itu berbeda-beda. Ada yang dapat tapi jumlahnya tidak rata, ada juga yang tidak dapat sama sekali. Mirisnya, banyak bidan yang dijadikan relawan vaksinator, tapi tidak disediakan transportasi dan makanan.”
Baca juga: Pandemi Memburuk, Relawan COVID-19 di Ujung Tanduk
Dewan Perwakilan Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia-Jatim (DPW PPNI Jatim), A.V. Sri Suhardiningsih juga membenarkan hal itu. Sampai hari ini, masih ada beberapa kebijakan yang belum ramah pada tenaga kesehatan karena tak mengurangi kerentanan mereka saat bekerja juga tak memudahkan pekerjaan yang sudah sangat banyak ini.
“Misalnya, program satu juta vaksin per hari. Kami mendukung, tapi itu menimbulkan kerumunan dan banyak masyarakat yang tidak memperhatikan protokol kesehatan. Nanti angka positif bertambah, kami yang jadi petugas vaksinator bisa jadi korbannya. Seharusnya petugas yang dikerahkan untuk mengamankan bisa lebih banyak dan tegas,” ujarnya perempuan yang biasa disapa Ave itu.
Selain itu, Ave juga mengharapkan agar kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diterapkan dengan mempertimbangkan nasib dan kelancaran kerja nakes. Salah satunya ialah yang ia temukan Jawa Timur. Kebijakan PPKM membuat sejumlah jalanan ditutup, sehingga menghambat mobilitas para nakes.
“Perawat itu tidak semuanya bertugas di daerah yang sama dengan tempat tinggalnya. Mereka jadi susah keluar masuk karena pelaksanan kebijakan yang tidak melihat kepentingan nakes. Seharusnya dibuat kebijakan penyesuaian kalau nakes boleh lewat.”
“Kami mengharapkan penanganan yang komprehensif dari hulu ke hilir. Dari hulu itu bisa dengan screening yang masif, PPKM yang terlaksana konsisten. Sekarang masih banyak warung-warung yang pegawainya tidak pakai masker dan masih banyak yang makan di tempat. Kalau kami nakes berjuang di hilir, tapi di hulunya tidak dilakukan penanganan secara baik, yang di hilir kini kelelahan,” tambah Ave.