Di usia enam tahun, Bini Fitriani, perempuan Bugis “diislamkan” oleh keluarganya. Lewat upacara Makatte, ia menjalani sejumlah ritual, mirip seperti upacara pembaptisan dalam tradisi Nasrani.
Seorang Sanro–perempuan yang ia deskripsikan penuh keriput, bersarung sutera, memakai kebaya, serta turban–membimbing upacara tersebut. Sanro menyiapkan nampan bundar yang terbuat dari bambu dan meletakkan nasi, kelapa besar berlubang besar, gula merah cincang, dan ayam hidup di atasnya. Lalu ia meminta Bini berwudhu dan dipabbajui atau dipakaikan baju bodo dengan lipa sabbe (sarung sutra khas Bugis).
Bini lantas duduk di atas bantal berlapis sarung sutra tujuh lapis, daun pisang, dan sajadah seraya duduk bersandar pada ayahnya. Ayah dan Sanro membimbing Bini untuk mengucapkan kalimat syahadat sebagai pernyataan iman Islam dan di sinilah prosesi Makkatte dimulai.
Dengan silet di tangannya, Sanro memotong bagian terkecil dari alat kelamin Bini, hingga darah keluar dari sana. Bini sontak menangis, tapi segera ditenangkan oleh para tetua suku yang berkata, ini semua dilakukan untuk kebaikan dirinya kelak sebagai perempuan. Namun, ucapan tetua itu tak mempan. Bini tetap menangis, tapi bukan tangis kesakitan melainkan tangis sedih karena itulah kali pertama ia membiarkan orang lain mengendalikan tubuhnya.
Baca Juga: KUPI 2 Diadakan: Ulama Perempuan Internasional Berkumpul di Semarang dan Jepara
Perempuan yang Disunat dengan Dalih Agama
Bini bukanlah satu-satunya perempuan Indonesia yang mengalami pemotongan atau perlukaan genitalia perempuan, melainkan cuma puncak gunung es. Data UNICEF 2016 mencatat, lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia menjadi korban P2GP.
Sementara itu, Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan angka praktik P2GP tertinggi di dunia setelah Mesir dan Ethiopia. Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, sebanyak 51 persen anak perempuan berusia 0 hingga 11 tahun di Indonesia mengalami praktik P2GP.
Banyaknya praktik P2GP di Indonesia tak lepas dari anggapan bahwa sunat perempuan adalah bagian dari perintah agama dan sudah menjadi tradisi turun temurun. Hal ini terbukti dalam hasil kajian yang dilakukan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2018 di 10 provinsi di Indonesia.
Dalam kajian tersebut ditemukan, sebanyak 92,7 persen responden bilang, P2GP adalah bagian perintah agama yang harus dilakukan. Lalu, sebanyak 84,1 persen responden menuturkan, P2GP dalam bentuk sunat perempuan harus dilakukan karena merupakan tradisi turun temurun.
Realitas ini nyatanya dialami pula oleh Izzah, 31, dan “Dilma”, 32, dua perempuan yang ditemui Magdalene dalam perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II, (25/11).
Sebagai penyintas P2GP, Izzah yang berasal dari Mojokerto awalnya tak tahu dirinya disunat. “Aku baru tahu itu pas SD pas teman-teman perempuan di sekolah ngobrol soal sunat perempuan. Mereka saling tanya, ‘Udah sunat belum?’ Di situ aku rada panik, karena teman-teman perempuanku yang lain ngomongin sunat perempuan kaya hal yang wajib. ‘Duh aku udah disunat belum ya?’ Kepanikan ini pun yang ngebuat akhirnya nanya ke ibu,” tuturnya.
Dari ibunya itulah ia tahu telah disunat ketika bayi. Menurut ibunya, sunat perempuan tak hanya jadi bagian tradisi tetapi juga sunnah beragama.
Izzah sendiri disunat oleh dukun anak yang memotong sebagian kecil dari klitorisnya. Lalu prosesi sunat itu ditutup dengan perayaan yang ingar bingar, lewat “berkahan” atau selamatan. Puluhan tetangga turut diundang dalam jamuan sunat tersebut.
Hal senada dialami oleh Dilma. Layaknya hampir semua anak perempuan di Gorontalo, ia mengalami Molubingo atau sunat perempuan saat masih berusia dua tahun. Awalnya ia juga tak tahu dirinya disunat sampai pada 2018 ia mengikuti acara yang membahas sunat perempuan. Saat itu, Dilma mencoba mengeksplorasi anatomi tubuhnya. Dengan bantuan suami, ia mulai meraba bagian vaginanya.
“Pas itu, suamiku ngomong kalau ada bagian di tubuhku yang hilang. ‘Sini coba kamu pegang sendiri,’ kata dia. Di situ aku sadar yang dimaksud adalah klitorisku. Aku enggak punya apa yang orang-orang bilang sebagai pusat kenikmatan seorang perempuan,” jelas Dilma.
Hal ini membuat Dilma bertanya pada ayahnya, salah satu tokoh agama di Gorontalo. Ayahnya bilang, sunat perempuan adalah sunnah agama dan tradisi yang diturunkan dari garis keturunan ibu.
Sebagai tradisi yang dibalut dalam perintah agama, Molubingo sama halnya dengan Makkatte lantaran sama-sama berpijak pada konsep kesucian, jodoh, dan kehormatan anak perempuan. Masyarakat Gorontalo yang mayoritas Muslim percaya, anak yang baru lahir membawa yang haram walaupun dari pernikahan yang sah. Sehingga, Molubingo jadi alternatif secara turun temurun untuk mensucikan anak perempuan dari hal yang haram tersebut.
“Dikatakan mensucikan karena ini (Molubingo) adalah sebuah warisan untuk mendisiplinkan anak perempuan. Biar mereka enggak ‘nakal’, biar nafsunya tidak terlalu besar. Biar enggak jadi ‘pelacur’ kata para tetua. Alasan-alasan yang justru banyak mengobjektifikasi perempuan.”
Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam
Tak Pernah Diajarkan dalam Islam
Praktik P2GP yang masih kerap terjadi di masyarakat Indonesia memicu banyak pertanyaan, termasuk dampak bagi penyintas. Pertanyaan ini beruntungnya dijawab cukup komprehensif dalam kajian PSKK UGM dan Komnas Perempuan pada 2018.
Keduanya menemukan, P2GP menyebabkan pendarahan (53 persen), penurunan dorongan seks (52 persen), kematian (18 persen), dan infertilitas (2 persen). Menurut penuturan informan, bidan serta dukun, bayi dan anak perempuan yang disunat mengalami kejang/shock, sebagian menangis dan beberapa mengalami trauma ketika melihat bayi disunat.
Dampak P2GP yang menimbulkan trauma berkepanjangan ini dirasakan oleh Dilma. Saat membicarakan pengalamannya sebagai penyintas, atau harus melihat anak perempuan lain disunat, otomatis ia menangis dan sekujur tubuhnya bakal tegang.
“Aku suka ke-trigger tiap lihat keponakan atau sepupu perempuanku yang disunat. Aku beberapa kali sampai nangis karena mendengar teriakan anak dua tahun yang disunat,” jelasnya.
Pertanyaannya, apakah sunat perempuan itu memang dianjurkan dalam Islam?
Dalam diskusi bertajuk “Pra Musyawarah Keagamaan tentang Perlindungan Perempuan dari Bahaya Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan Tanpa Alasan Medis”, Umma Farida, ahli hadis jebolan Universitas Al-Azhar memberikan pandangannya.
Ia bilang, sumber hukum Islam yang terdiri dari Alquran dan hadis tak pernah secara tegas atau ekplisit menyatakan hukum sunat perempuan. Di Alquran, tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan sunat perempuan, baik secara tersurat (lughawi) maupun tersirat (ma’nawi). Begitu pula dengan hadis shahih.
Ketidakjelasan sunat perempuan dalam Alquran dan hadis ini sayangnya melahirkan berbagai pandangan dan tafsir ulama yang kebanyakan bias gender. Salah satu pegangan dalam mewajibkan sunat perempuan adalah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang lima sunnah fitrah, yaitu sunat, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.
Umma Farida menambahkan, hadis ini bukan satu-satunya yang membahas tentang fitrah. Ada satu hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, al-Tirmizi, dan Ibn Majah langsung dari Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan sepuluh perkara fitrah, yaitu memendekkan kumis, melebatkan jenggot, bersiwak, istinsyaq, menggunting kuku, mencuci celah-celah jari, istihdad, mencukur bulu ketiak, istinja, dan madhmadhah.
“Dalam hadis ini terlihat jelas bahwa tak ada satu pun di dalamnya yang menyebutkan khitan atau sunat perempuan. Hal ini menunjukkan Aisyah sendiri tidak memasukan khitan sebagai hal yang fitrah. Sebagai hal yang merupakan bagian dari agama yang harus dilaksanakan atau sebagai sunnah atau kebiasaan baik,” jelasnya.
Selain itu, ketentuan sunat perempuan juga tampak dalam hadis dari Ummu Athiyah. Diceritakan, ahli sunat perempuan di Madinah yang menyunat anak-anak perempuan, diingatkan Rasulullah untuk memotong bagian kecil saja dari alat kelamin perempuan. Tindakan Rasul ini bukan anjuran bahkan sebagai sunnah agama, tetapi menurut Umma Farida, itu bentuk perubahan bertahap yang didakwahkan oleh Rasul.
Rasul melakukan perubahan secara bertahap dan tidak konfrontatif, dengan langsung melarang praktik sunat perempuan. Tujuannya agar masyarakat tidak menolak dan berujung konflik (at tadarruj fi at tasyri’ atau lit tadrij fi at tasyri).
Tak cuma itu, hadis ini dinilai dhaif atau lemah yang sangat parah. Karena itulah, kalau pun ada hadis pendukungnya, hadis dari Ummu Athiyah atau hadis lain terkait sunat perempuan tidak bisa serta menjadi landasan hukum. “Terkait P2GP, itu periwayatnya Zaid Abilaqad dan di situ dia dianggap para ulama hadis sebagai munkarul hadits atau periwayat yang hadisnya diingkari. Di dalam ilmu hadis, sebanyak apapun syawahid-nya, itu tidak bisa menjadi hassan atau sah,” tuturnya.
Baca juga: Konferensi Internasional KUPI II: Teguhkan Eksistensi Ulama Perempuan
Nyai Nur Rofiah menambahkan, dalam keluarga Rasulullah SAW, baik istri maupun putri-putrinya tidak ada pernah disunat. Pun, tak satupun riwayat yang menyebutkan bahwa Rasul menyunat anak perempuan mana pun. Sehingga, menurut dia, jelas sekali sunat perempuan adalah praktik tradisi yang berbahaya apalagi di Alquran sendiri melarang perbuatan yang membahayakan orang lain dan menimbulkan kemudharatan.
Berangkat dari situ, KUPI pada (26/11) menegaskan, hukum P2GP tanpa alasan medis adalah haram. Dengan demikian, wajib hukumnya bagi orang-orang yang memiliki wewenang seperti tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan P2GP tanpa alasan medis.
Fatwa yang dikeluarkan ini bisa dibilang sangat progresif, sebab laki-laki bukan lagi menjadi standar tunggal kemaslahatan umat. Sebaliknya, pengetahuan dan pengalaman perempuan didekati dengan tiga pendekatan tafsir, yakni kesalingan (mubadalah), keadilan hakiki perempuan, dan kebaikan (ma’ruf).
“Segala kemudharatan atau keburukan serta bahaya, harus dicegah dari laki laki dan perempuan. Pun, kebaikan atau rahmah (harus) ada untuk kedua belah pihak. Jadi dalam kemaslahatan, tidak boleh itu menetapkan hukum yang justru membuat pengalaman biologis perempuan semakin sakit.”