Sulitnya Jadi Warga Depok Mengakses Jalan Umum di ‘Musim Kawin’
Sebagai Depokers, saya terlatih mencari jalan tikus, saking seringnya warga menutup jalan umum untuk hajatan pernikahan.
Sebagai warga Depok, menghapal jalan tikus barangkali perlu dimasukkan sebagai keahlian utama. Sebab, kita tak pernah tahu kapan jalan umum akan ditutup semena-mena oleh warga. Terlebih di “musim kawin”, di mana angka hajatan pernikahan melambung tinggi, seperti di bulan Syawal sekarang. Syawal dipilih karena sejumlah alasan, dari anggapan sebagai bulan kemenangan pasca-Ramadan, berjibun hari libur, hingga mengikuti Sunah Rasul.
Dilansir dari Radar Depok, sepanjang Syawal ini, tercatat sudah ada 132 pernikahan yang didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Depok. Jauh selisihnya ketimbang bulan-bulan lain. Enggak cuma buat pernikahan, tapi juga tasyakuran kelahiran, sunatan, akikah, lamaran, dan sederet selebrasi lainnya.
Sebenarnya enggak masalah jika penutupan jalan dilakukan sesuai dengan prosedur. Pun, pengendara atau pejalan kaki diberi solusi jalan alternatif tanpa harus memutar otak mencari-cari sendiri. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Enggak terbayang, berapa banyak pekerja Depok yang datang terlambat karena perkara bingung mencari jalan.
Apalagi dari pengalaman saya puluhan tahun tinggal di sini, orang Depok senang sekali memaksimalkan hari-hari dalam seminggu untuk menggelar hajatan, alih-alih cuma dilakukan di Sabtu Minggu. Artinya, menjadi niscaya ancaman datang terlambat ke tempat kerja setiap harinya.
Baca juga : Andai Kaesang Jadi Wali Kota Depok, Sebuah Curhatan Akamsi
Ada Problem Krisis Ruang yang Tersembunyi
Enggak cuma di Depok, saya pikir kebiasaan menutup jalan sepihak untuk hajatan juga sering ditemui di daerah-daerah lain. Di berbagai tempat, penutupan jalan yang tak disertai mitigasi oke, bisa berujung cekcok atau baku hantam warga. Enggak percaya?
Pada September 2023, di Tiban Indah, Kepulauan Riau, anggota DPRD setempat panen protes karena menutup akses jalan utama dengan tenda besar untuk pesta pernikahan anak. Meski dilakukan di Sabtu dan diklaim sudah mengantongi izin dari pemerintah setempat, tapi warga mengeluh mobilitasnya terhambat, lapor CNN Indonesia. Di Kembangan, Jakarta Barat, penutupan akses jalan utama untuk hajatan perkawinan juga memicu kemacetan panjang, sehingga polisi harus turun tangan.
Di Depok kondisinya berbeda. Kami para warga biasanya dipaksa maklum ketika ada tetangga atau warga lain yang menutup akses jalan berhari-hari karena hajatan. Meski senewen dalam hati, hajatan yang jarang sekali mengantongi izin pemerintah desa itu, juga dilengkapi dengan kehadiran oknum organisasi masyarakat (ormas). Para anggota ormas biasanya akan pasang mode galak yang siap menindak pengguna jalan. Ya, mereka memang dibayar sebagai pemegang otoritas tertinggi untuk menjaga jalan tetap steril.
Penutupan jalan ini sayangnya menjadi realitas budaya yang terus dipelihara. Alih-alih mendapat teguran atau bahkan konsekuensi hukum, tak jarang, pelaporan tindak penutupan jalan sepihak justru jadi bumerang bagi pelapor. True story di tetangga saya. Ada warga yang keberatan karena jalan umum dipakai untuk hajatan, sehingga membuat pengguna terganggu. Dalam forum rapat RT, ia justru dicap sebagai warga yang buruk dan enggak pengertian terhadap tetangga.
Baca juga: Batuk Pejabat, Polusi, dan Upaya Setengah Hati Perbaiki Transportasi
Fenomena ini dijelaskan dalam riset Dosen Antropologi Universitas Brawijaya Nindyo Budi Kumoro. Dalam “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan: Rebutan Ruang antara Tradisi dan Privatisasi di Yogyakarta” (2013), ia menyebutnya sebagai frontierisme, mengutip Murray Melbin. Maksudnya, daerah padat manusia dicitrakan sebagai frontier, yang sebetulnya adalah daerah kosong tak bertuan sehingga dapat diduduki dan dikuasai. Hasrat untuk menduduki ruang kosong inilah yang membangun ideologi frontierisme.
Apalagi dengan kondisi di mana warga kesulitan mengakses ruang publik yang lebih proper, jalan menjadi “frontier” yang dipinjam untuk menggelar hajatan. Meskipun sebenarnya mereka tahu, jalan selalu penuh orang yang berlalu lalang dengan berbagai kepentingan. Ketika jalanan sedang menjadi daerah frontier yang diduduki, kata Nindyo, pastilah ada pihak yang tertaklukkan. Dalam konteks ini, penakluknya adalah si empunya hajatan, sedang yang ditaklukkan adalah para pengguna jalan termasuk saya.
Di wilayah frontier, lanjut Nindyo, hukum dan aturan-aturan formal dikesampingkan, sehingga fenomena hajatan cenderung direspons pasrah. Kita para warga cuma bisa ngedumel di belakang dan membiarkan saja. Sebab, kita tahu, enggak semua orang punya duit untuk menyewa gedung. Pun, enggak semua orang punya rumah besar. Memang di mana lagi kalau bukan di jalan?
Baca juga: Depok dan Perda Anti-LGBT yang Salah Kaprah
Merebut Hak Orang Lain Bisa Dipidana
Pada dasarnya, menutup jalan untuk kepentingan pribadi secara sepihak adalah tindakan yang enggak dibenarkan dan merebut hak orang lain. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas (Perkapolri 10/2012) dijelaskan soal ini.
Di dalamnya tertulis, penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi yang mengakibatkan penutupan jalan, harus memiliki izin penggunaan jalan sebagaimana diatur dalam Pasal 128 ayat (3) UU LLAJ dan Pasal 17 ayat (1) Perkapolri 10/2012. Selain itu, apabila seseorang ingin menutup jalan umum untuk kepentingan pribadi, penyelenggara acara tersebut perlu memastikan tersedianya jalan alternatif dengan tetap menaati rambu-rambu lalu lintas yang berlaku.
Dilansir dari Hukumonline.com, penyelenggara acara perlu mengantongi izin resmi dari kepolisian apabila ingin menutup jalan untuk kepentingan pribadi. Dengan begitu, pihak kepolisian akan turut bertanggung jawab untuk mengatur lalu lintas dan menjaga keamanan, keselamatan, ketertiban, serta kelancaran lalu lintas. Tata cara pengajuannya izinnya pun tergolong mudah. Penyelenggara hanya perlu menyiapkan berkas pribadi sampai estimasi tamu paling lambat tujuh hari kerja sebelum waktu pelaksanaan.
Sampai akhirnya orang punya kesadaran untuk mengikuti aturan sembari menunggu negara memfasilitasi ruang publik untuk hajatan yang terjangkau, sepertinya yang bisa saya lakukan cuma satu: Mengasah keahlian saya untuk satset di jalan tikus Depok.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari