Election 2024 Issues Politics & Society

Dear Pemilih Abah Anies Baswedan, Ini yang Perlu Kamu Tahu Sebelum Nyoblos

Anies Baswedan bukan politisi tanpa cela. Kita harus tetap jadi pemilih cerdas dan melihat rekam jejaknya di masa lalu sebelum menjatuhkan pilihan.

Avatar
  • February 9, 2024
  • 11 min read
  • 2288 Views
Dear Pemilih Abah Anies Baswedan, Ini yang Perlu Kamu Tahu Sebelum Nyoblos

Dear pemilih Anies, silakan naik “kereta skenario Pemilu” dan nikmati perjalananmu. Apa yang kamu jumpai di perjalanan bisa saja terjadi, tapi bisa juga bagian dari mimpi di kepala. Namun, hal-hal yang ada di depan dan kamu alami nanti, sebenarnya sudah diprediksi oleh pengamat politik.

Singkat cerita, kamu sudah menaiki keretamu selama empat tahun lamanya. Skenario yang tersaji kali ini adalah Anies Baswedan dan Muhammad Iskandar atau Cak Imin menjadi pemimpin Indonesia. Dalam Pemilu 2024 yang banyak diwarnai sejumlah pelanggaran etik dan konstitusi, kamu tak menyangka jagoanmu menang. Ini mengingat elektabilitas mereka yang selalu tercatat kecil oleh sejumlah lembaga survei.

 

 

Terpilihnya Anies dan Cak Imin jadi awal baru bagi bangsa yang katanya mendambakan demokrasi dan kehidupan sejahtera pasca-kepemimpinan ugal-ugalan Jokowi. Dalam masa kepemimpinan yang sisa sedikit ini, Anies Baswedan sebagai Presiden RI berhasil merealisasikan beberapa janji politiknya. Beberapa di antaranya pembangunan sistem integral transportasi umum yang tak hanya terfokus pada Pulau Jawa saja, tapi ada juga pembukaan massal ruang terbuka hijau, penerapan cuti ayah, dan subsidi Uang Kuliah Tunggal perguruan tinggi.

Namun, dengan segala capaian ini, kepemimpinan Anies Baswedan bukan tanpa cela. Banyak janji politiknya juga tak terlaksana seperti seharusnya. Aksi Kamisan masih berjalan hingga memasuki usia 21 tahun. Bu Sumarsih dan para orang tua korban masih meminta keadilan di depan Istana Presiden tanpa ada kejelasan. Begitu pula dengan maraknya penggusuran. Keduanya masih terjadi walau Anies sudah menjanjikan akan menuntaskan pelanggaran HAM di Indonesia dan jadi pemimpin lebih bertanggung jawab.

Masyarakat juga makin sulit mendapatkan hunian layak dan terjangkau. Subsidi tidak merata dan tepat sasaran, bahkan justru lebih menyasar kepada golongan ekonomi menengah ke atas bukan sebaliknya. Padahal mereka berjanji menyediakan program Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menyediakan hunian layak dengan sistem sewa yang terjangkau.

Tak cuma itu, Anies bersama Imin berkomitmen mendorong tobat ekologi dan etika ekologi. Namun, justru pada kepemimpinannya, mereka tak menjalankan amanah. Proyek reklamasi yang tak hanya berdampak pada lingkungan tapi juga masyarakat pesisir terus didorong. Polusi udara semakin merajalela tanpa ada ada komitmen kuat dari mereka berdua untuk mengatasinya.

Baca Juga: Masalah Lain Baliho Politik: Bahayakan Pengguna Jalan dan Jadi Sampah Baru

Catatan Kritis Anies Baswedan tentang Pelanggaran HAM

Skenario di atas bukan adegan film distopia Indonesia, melainkan prediksi situasi terburuk yang mungkin bakal terjadi jika Anies berhasil menduduki kursi presiden dan wakil presiden selama lima tahun ke depan. Prediksi ini terformulasi lewat berbagai rekam jejak politik dan catatan visi misinya di Pemilu 2024.

Baru-baru ini, Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerbitkan laporan tentang jejak kelam profil di balik tim pemenangan ketiga pasangan calon. Anies-Imin merupakan kandidat yang cukup sering menampilkan citra bahwa mereka berpihak pada perlindungan dan penegakan HAM. Meski demikian, dalam temuan KontraS masih ditemukan nama figur yang dikaitkan dengan peristiwa pelanggaran HAM dalam pada struktur tim kampanye mereka. Ia adalah Sutiyoso.

Sutiyoso sendiri adalah Panglima Kodam Jayakarta (Pangdam Jaya) pada periode 1996-1997. Dikutip langsung dari laporan KontraS, pada periode tersebut terjadi peristiwa penyerangan terhadap kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Akibat peristiwa itu, sebanyak lima orang meninggal dunia, 149 orang mengalami luka-luka, dan 136 orang lainnya ditahan.

Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Kudeta 27 Juli (Kudatuli) itu menyeret nama Sutiyoso sebagai tersangka enam jenis pelanggaran HAM dalam penyidikan tindak pidana. Kasus Kudatuli dihentikan karena tidak pernah dilanjutkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Sutiyoso pun tidak pernah tampil di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kasus ini. Ia bahkan tetap menjabat sebagai Gubernur DKI hingga masa jabatannya berakhir pada 2007.

“Ditunjuknya Sutiyoso cukup mencoreng struktur Timnas AMIN, karena tim ini dapat dikatakan telah mengakomodasi hadirnya figur yang pernah menjadi tersangka Pelanggaran HAM sebagai bagian dari barisan pendukung Anies-Muhaimin. Komitmen Anies-Muhaimin terhadap upaya penuntasan pun patut dipertanyakan akibat hadirnya figur semacam Sutiyoso dalam tim suksesnya,” tulis KontraS dalam laporan mereka.

Pelanggaran HAM lain yang juga lekat dengan paslon ini juga terkait penggusuran. Anies yang sempat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada masa kampanye pernah menjanjikan tidak akan ada penggusuran di wilayah DKI Jakarta. Namun kenyataannya, Anies gagal memenuhi janji kampanye tersebut. Mengutip dari catatan KontraS dan Lembaga Layanan Hukum (LBH Jakarta), penggusuran marak terjadi di Jakarta dan puluhan kampung di Jakarta dalam ancaman penggusuran seperti Pancoran Buntu II, Kapuk Poglar, Kebun Sayur, Tembok Bolong, dan lainnya.

Meski jumlahnya berkurang jika dibanding periode sebelumnya, tetapi pola-pola penggusuran yang melanggar HAM masih dilakukan seperti tidak adanya akses hukum, pengerahan aparat berlebihan, tidak adanya musyawarah dan solusi alternatif, hingga intimidasi, kekerasan juga kriminalisasi. Tak kalah pentingnya, Pemerintahan DKI Jakarta pada era Anies juga tetap mempertahankan Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2016 yang dapat dijadikan sebagai dasar dilakukannya penggusuran oleh pemerintah Daerah.

Prof. Dr. Lely Arrianie, M.Si., akademisi, Guru Besar, dan pakar Komunikasi Politik Universitas Nasional dalam wawancara bersama Magdalene mengungkapkan keraguannya terkait janji politik Anies terkait penggusuran. Mengutip dari Tempo, Anies sebagai calon presiden menjanjikan pembangunan manusiawi dan tanpa penggusuran.

“Rasanya jika ada pemimpin yang menjanjikan tidak ada penggusuran itu mustahil ya. Di saat dia butuh aplikasi dari pembangunan yang ingin dia lakukan dan ada sekelompok masyarakat yang mendiami tanah negara yang dianggap menghalangi proyek-proyek pembangunannya, penggusuran pasti masih akan tetap dilakukan,” kata Lely.

Ia menambahkan, setiap pemimpin punya kepentingan terhadap proyek besar atau proyek mercusuar. Kepentingan ini kata Lely akan selalu bertindihan dengan situasi di mana masyarakat yang dianggap menempati tanah negara harus disingkirkan. Proyek pertanian sekali pun yang notabene digadang-gadang bakal menyejahterakan rakyat, jika negara menginginkannya, maka rakyat akan otomatis tersingkir.

“Jadi tinggal ganti kerohiman yang biasanya menjadi pilihan. Tapi ini juga kan kebanyakan dapat potongan administratif. Itu yang sering terjadi atau bahkan tidak dapat ganti sama sekali,” imbuh Lely.

Baca Juga: Ekonomi Ekstraktif: Bayang Kepunahan Perempuan Indonesia

Rumah Hunian Terjangkau dan Tolak Reklamasi yang Cuma Isapan Jempol

Di sisi lain, Lely juga mengkritisi soal janji politik Anies terkait hunian layak dan subsidi KPR untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam hal ini, Lely mengambil kasus proyek Anies terkait DP Rumah Rp 0. Dalam masa kepemimpinannya, berdasarkan data dari rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2017-2022 Anies berjanji membangun sebanyak 232.214 unit rumah DP Rp 0.  Tetapi, sepanjang tahun 2017-2022, mengutip dari CNBC Indonesia Pemprov DKI baru membangun 2.313 unit Rumah DP Rp0.

Saat kampanye, Anies yang berpasangan dengan Sandiaga Uno juga menggadang-gadang program hunian tanpa uang muka tersebut untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tetapi dalam realisasinya, program ini justru menyasar masyarakat menengah dengan penghasilan maksimal Rp7 juta per bulan yang kemudian dinaikkan menjadi Rp14,8 juta per bulan.

“Pas Pilkada 2017 itu seakan-akan diberlakukan untuk semua kalangan yang tidak punya rumah, masyarakat miskin di DKI. Asumsi di tengah masyarakat ini juga rumah tapak bukan diutamakan rumah susun. Anies bilang bisa lah proyek ini dikerjakan kerjasama dengan Kementerian keuangan dan sebagainya, tapi akhirnya tidak terealisasikan toh. Yang ambil juga sedikit karena syaratnya ternyata berat,” jelas Lely.

Tak kalah pentingnya soal tobat ekologi dan etika ekologi yang ia usung bersama Imin. Anies ternyata justru punya catatan kelam tersendiri selama masa jabatannya sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta. Lely menilai Anies tidak konsisten menghentikan reklamasi. Saat kampanye Pilkada 2017, ia pernah berjanji akan menghentikan semua proyek reklamasi di Jakarta. Tetapi kenyataannya, ia malah justru memutuskan untuk mengeluarkan izin.

Spesifiknya pada 2018, Anies menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Pergub DKI 58/2018). Peraturan ini membuat reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai “perusahaan mitra”.

“Tadinya kan dia bilang banjir itu jalan keluar atau solusinya bukan reklamasi, banjir itu disuntikan ke dalam bumi. Tapi realitasnya dia mengikuti Ahok dan Jokowi. Dia melanjutkan reklamasi yang sebelumnya dia tolak,” kata Lely.

Padahal sejumlah peneliti dan aktivis lingkungan meragukan klaim tersebut. Mereka mengatakan proyek reklamasi akan mengubah sirkulasi air dan merusak ekosistem daerah pesisir pantai. Dalam pernyataan Mutiara Rachmat Putri, Ketua Kelompok Keahlian Oseanografi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) kepada The Conversation apa yang tadinya tumbuh di pesisir jadi tidak tumbuh karena tanah yang masih basah berpotensi terlepas dan terendapkan, sehingga membuat air keruh.

“Hal ini membuat keruh air laut dan akan berdampak pada plankton tumbuhan (fitoplankton) yang semakin sedikit, jadi kegiatan mereka untuk memasak (fotosintesis) di air itu sangat berkurang dengan banyaknya sedimentasi,” jelasnya.

Lebih lanjut, tanah reklamasi yang diambil dari lumpur kerukan sungai dan waduk memiliki kemungkinan sudah tercemar. Devi Nandita Choesin, ahli ekologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menambahkan bahwa secara umum, reklamasi berpotensi mengubah kondisi fisika-kimia dan biologis (aspek hidrologi, substrat/sedimen, dan biota) ekosistem pesisir dan dapat berdampak pada keanekaragaman hayati.

Persoalan lain terkait reklamasi pun menurut Direktur LBH Jakarta Arief Maulana dalam keterangannya di Hukum Online muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi juga dilakukan secara tidak cermat dan segera. Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan. Selain itu, pencabutan tanpa didahului transparansi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tapi di satu sisi ia tetap melanjutkan tiga pulau lainnya.

Baca Juga: Baliho ‘Mama Semok’ dan ‘Mama Muda’: Benarkah Ini Objektifikasi dan Seksualisasi Diri?

Semua Politisi Sama Saja, Pemilih yang Harus Bijak dan Cerdas

Tidak sesuainya janji politik Anies Baswedan dengan realita semasa bukan sesuatu yang mengagetkan lagi. Lely bilang, hal ini sudah jadi kecenderungan umum para pemimpin. Mengutip teori dari psikolog David McClelland Teori Tiga Kebutuhan, Lely mengatakan tiap orang tak terkecuali pemimpin tiga motif kebutuhan, yaitu need for power, need for achievement, dan need for affiliation. Baiknya tiga motif ini saling bersatu padu, tapi dalam konteks kepemimpinan motif berkuasa umumnya yang jadi paling dominan.

Tidak terealisasikan janji politik memang bisa jadi karena beberapa faktor. Ini bisa jadi karena kebijakan yang diusung ternyata tak realistis, sehingga memang dituntut harus berbeda atau karena motif politik yang berbeda. Hal ini kata Lely tergantung pemimpin bersangkutan. Sejauh mana keberpihakan mereka dengan kepentingan rakyat dan keberpihakannya pada golongannya atau kelompoknya sendiri.

Lely kemudian menambahkan, dalam teori komunikasi politik, janji politik berada dalam tataran antara bisa dan tidak bisa dipercaya. Mengapa? Karena janji politik jika pun bisa direalisasikan, pada esensinya jadi milik sebagian besar elit. Sedangkan masyarakat hanya memiliki sebagian kecilnya saja.

“Kita hanya dapat sisa-sisa. Jadi bersiap saja masyarakat akan dibuat melongo ketika siapa saja yang akan terpilih nanti jika kita mengiranya mereka akan ngegas janji kampanye mereka, ya realitanya belum tentu. Karena itu, saya memberi standar yang sama baik kepada pak Anies, pak Prabowo, atau pak Ganjar,” kata Lely.

Lely menilai, rata-rata politikus juga punya kecenderungan untuk mengejar kekuasaan atau need for power tinggi. Maka dari itu tak mengherankan buatnya jika kita sering melihat pertentangan antar paslon dengan afiliasi politik mereka. Teman bisa menjadi lawan, karena afiliasinya tergantung partai politik yang mendukung, kata Lely.  Ia pun mengambil contoh tentang bagaimana Anies pernah diusung partai milih Prabowo, Gerindra pada pilkada 2017.

Mengutip dari CNN Indonesia misalnya, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan partainya menurunkan sebanyak 2.500 kader untuk memenangkan Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. la menyebut seluruh kader yang diterjunkan itu berasal dari seluruh Indonesia dengan latar belakang bermacam-macam, mulai dari anggota DPR RI hingga anggota DPRD kota.

“Ketika dia (Anies) masuk ke dalam pertarungan politik, afiliasi ini seakan-akan tidak pernah ada. Selain itu karena ada Nasdem dan PKB yang tidak terbiasa menggunakan politik identitas dan bahkan pernah menjadi korban 2014, 2019, ini juga jadi menempatkan Anies terlihat lebih nasionalis,” kata Lely.

Lely mengingatkan kita semua tentang watak asli dari para politikus kita. Dengan janji-janji politik, terkadang pemilih dibuat terlena. Karena itu, Lely sendiri bilang kita harus jadi pemilih cerdas. Kita perlu mengetahui rekam jejak masing-masing dan perlu realistis.

Tak kalah pentingnya, Lely juga berpesan saat salah satu paslon terpilih, sebagai rakyat yang di dalamnya juga ada pendukung paslon terkait punya tugas atau tanggung jawab besar dalam mengawal keterpilihan paslon tersebut. Jangan sampai, komunikasi antara yang memilih dan dipilih selesai ketika yang dipilih itu terpilih, ucapnya.

“Kalau bisa mengawal maka apa pun yang terjadi pada Anies jika sekiranya dia terpilih ya harus ikut dan mau bertanggung jawab. Masalahnya apalagi pendukung itu banyak yang tidak mau mengawal, minta politik transaksional nah itu yang merusak,” tutup Lely.

Magdalene meluncurkan series spesial edisi Pemilu 2024 tentang skenario dan catatan kritis pasangan capres dan cawapres. Artikel-artikel ini diproduksi dengan tujuan sebagai medium pendidikan politik untuk memilih dengan bijak, alih-alih mengajak pembaca untuk golput.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *