‘The Crown’ dan Serangan terhadap Menantu Perempuan Keluarga Kerajaan Inggris
Serial ‘The Crown’ menggambarkan bagaimana para menantu perempuan di keluarga Kerajaan Inggris rentan terhadap serangan media.
Ketika musim keempat The Crown tayang di Netflix November lalu, pembahasan mengenai Pangeran Charles dan istrinya sekarang, Camilla Parker-Bowles, kembali menghangat. Meski rakyat Inggris kelihatannya sudah memaafkan dan merestui pernikahan Charles-Camilla pada 2005, sejak lama keduanya membuat heboh karena perselingkuhan mereka dari pasangan masing-masing sebelumnya.
Seperti diperlihatkan dalam The Crown, Charles sudah menjalin hubungan romantis dengan Camilla sebelum menikahi Lady Diana Spencer. Setelah menikahi Lady Di, panggilan akrabnya, hubungan itu terus berjalan. Penggambaran kisah ini berhasil memicu kekesalan penonton yang berempati dengan Diana.
Pada tayangan dokumenter The Royal House of Windsor, psikiater Raj Persaud menyatakan bahwa keluarga Kerajaan Inggris, alias The British Royal Family (BRF), memiliki peran kontrol psikologis terhadap rakyatnya. Di tengah keruhnya perang dan kondisi ekonomi yang berantakan, figur-figur elegan dari dalam Kerajaan mampu melunakkan emosi rakyat Inggris dan sejenak mengesampingkan segala persoalan negara.
Mereka adalah kisah dongeng dalam kehidupan nyata yang mampu memberikan harapan bahwa kehidupan yang sempurna bisa menjadi nyata. Hal ini disadari oleh media yang kerap meracik isu-isu tentang anggota keluarga kerajaan untuk meningkatkan penjualan mereka. Dan layaknya fenomena yang terjadi hampir di mana-mana, perempuan menjadi korban yang lebih rentan dari kekejaman media.
Perempuan pendatang yang mengganggu
Isu yang sangat menjual dan mengancam ketenangan rakyat Inggris adalah para “pendatang” yang bergabung dengan BRF. Berawal dari Wallis Simpson, janda asal Amerika yang menikahi paman dari Ratu Elizabeth II, Edward VIII. Pernikahan mereka mengharuskan sang raja turun takhta karena aturan kerajaan di tahun 1936 tidak mengizinkan pemimpin monarki menikahi perempuan dengan latar belakang seperti Simpson. Rakyat Inggris menganggap Simpson sumber gangguan bagi tatanan kerajaan. Media tentu saja dengan senang hati memperkeruh situasi ini. Sayangnya, tekanan terhadap perempuan pendatang di kalangan BRF tidak berhenti di Simpson saja.
Baca juga: ‘The Queen’s Gambit’: Beth Harmon dan Bias terhadap Kemenangan Perempuan
Hingga kematiannya pada 1997, Lady Di adalah orang yang paling banyak difoto di seluruh dunia. Ketika pernikahannya goyah, wajahnya juga lebih sering tampil di media daripada mantan suaminya. Maklum, tabloid akan lebih laris jika menampilkan wajah Diana daripada Charles. Media tentunya juga tidak peduli dengan kondisi mental Diana. Mulai dari bulimia yang dideritanya hingga isu perselingkuhan yang dilakukannya, sorotan terhadap Diana melebihi Charles yang juga memegang andil dalam tekanan yang dialami sang England’s Rose.
Selain Lady Diana, Sarah “Fergie” Ferguson, Duchess of York adalah “pendatang” lain yang juga menjadi korban media. Fergie yang menikahi putra Ratu yang ketiga, Andrew, dilabeli Duchess of Pork dan Fat Fergie karena badannya yang dianggap gemuk. Rakyat Inggris tahun 90an tentu mengharapkan tampilan fisik keluarga kerajaan yang sempurna. Sayangnya media tidak mengampanyekan empati dan mengabaikan kondisi pernikahan Fergie yang terguncang, gangguan makan, hingga proses melahirkan yang membuat kondisi tubuhnya berbeda. Fergie pun semakin diolok-olok media dan publik yang tidak peduli akan kesehatannya.
Kekejaman media terhadap perempuan dialami kembali oleh Catherine “Kate” Middleton, The Duchess of Cambridge. Selama delapan tahun berpacaran dengan William, cucu ketiga Ratu Elizabeth II, kabar tentang Kate selalu dinanti publik. Paparazzi sering kali mengintai Kate yang sedang bersenang-senang dengan teman-temannya. Bahkan mereka berani mengejar Kate dari depan apartemennya hingga masuk ke dalam mobil sebelum berangkat kerja.
Pelanggaran privasi ini seperti mengulang kejadian serupa yang dialami oleh Lady Di di awal hubungannya dengan Charles. Selain itu, Kate juga sempat dilabeli Waity Katie karena hubungannya dengan William tidak menunjukkan tanda-tanda berlangsungnya pernikahan di antara mereka. Hobi berolahraga Kate juga disorot secara negatif karena klub mendayung yang pernah diikutinya diisukan memiliki anggota lesbian dan pemilik klub “esek-esek”.
Serangan media berikutnya diarahkan pada Meghan Markle, The Duchess of Sussex. Meghan adalah mantan aktris yang juga seorang janda asal AS. Ditambah lagi, ibu Meghan adalah seorang kulit hitam. Isu rasialisme sempat mewarnai pernikahan Meghan dengan cucu Ratu yang keempat, Harry. Namun, publik Inggris sepertinya lupa akan Emma Thynn, Marchioness of Bath yang menjadi bangsawan Inggris perempuan berkulit hitam pertama setelah menikahi Ceawlin Thynn, 8th Marquess of Bath pada tahun 2013. Sehingga, yang patut ditunjuk atas beban yang dialami oleh Meghan adalah sorotan media yang pilih kasih.
Baca juga: Merebut Takdir bersama Elsa, Maleficent, dan Merida
Kondisi ini diperburuk oleh warganet yang lebih gesit dalam membagikan berbagai macam kabar simpang siur tentang Meghan. Akun-akun media sosial provokatif juga tidak segan muncul berulang kali di kolom komentar ketika Meghan membawakan acara “Time 100 Conversation” secara virtual bulan Oktober lalu. Sayangnya, masih banyak pengguna media sosial yang terprovokasi dan tanpa sadar turut meningkatkan algoritme dari akun-akun “bodong” tersebut.
Jika hadirnya para menantu mengancam ketenangan rakyat Inggris, kenapa media tidak menyorot suami Ratu, Phillip, The Duke of Edinburgh, yang keluarganya memiliki koneksi dengan Nazi? Atau hadirnya Edoardo Mozzi, ayah dari anak yang lahir di luar ikatan pernikahan, yang menikahi Putri Beatrice bulan Mei lalu?
Atau, daripada mengusik kehidupan pribadi para menantu perempuan, publik dan media seharusnya bisa menekan Kerajaan untuk menginvestigasi Pangeran Andrew terkait hubungannya yang akrab dengan predator seksual dan terpidana perdagangan anak di bawah umur, Jeffrey Epstein, daripada membiarkannya bersembunyi dari mata publik.
Bagi kita, konsumen media, sebenarnya kita bisa menuntut informasi yang lebih adil daripada yang disajikan oleh media. Istana Buckingham memang tidak bisa mengklarifikasi semua isu dan gosip yang ditujukan kepada BRF. Media juga tidak pernah dapat diandalkan untuk mengubah sudut pandang yang seksis. Maka, kita sebagai pengguna media harus lebih kritis dalam menyaring informasi yang disajikan. Sehingga kita tidak akan terpancing untuk membuang waktu dan tenaga ketika menikmati tayangan di televisi, membaca artikel, maupun meladeni akun-akun media sosial yang hanya bisa menyerang perempuan.