Menelusuri Sejarah Judi ‘Online’ di Indonesia
Pernah ramai saat pandemi, ternyata, judi ‘online’ sudah muncul di Indonesia sejak 1994. Apa yang membuatnya eksis hingga sekarang?
Sudah genap tiga bulan, “Joni” berhasil melepaskan diri dari judi online (judol) slot. Kepada Magdalene, ia menyebut perjuangan memutus jerat judol sebagai perjalanan sulit. Terlebih, sebelumnya ia sudah di tahap kecanduan parah.
“Wah, itu susah banget sih. Masalahnya, punya uang RP10 ribu aja tuh udah cukup banget buat main slot. Tapi kan, Rp10 ribu kalau setiap hari juga udah Rp70 ribu sendiri buat seminggu. Duit yang harusnya buat makan, malah jadi buat slot. Kan enggak beres,” ungkap Joni, (29/6).
Ia mulai mengenal judi online slot sejak pandemi Covid-19. Saat itu, Joni mendapatkan informasi judol dari teman-teman rumahnya yang kebetulan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) buntut pandemi.
“Waktu itu sih kenal pas nongkrong. Karena teman-teman yang lain tuh di-lay-off, mereka jadi sering ngumpul di salah satu rumah teman. Ada lah di satu komplek sini. Mulai dari situ, kenalan deh gue sama slot. Seru banget sih awalnya. Untung dikit, buat beli rokok,” kisahnya.
Banyaknya waktu luang yang dimiliki saat pandemi, jadi salah satu alasan terbesar mengapa Joni terjerumus dalam judol. Karena sesekali menangguk untung, Joni pun mengaku ketagihan. Sekali transaksi, uang ratusan ribu ludes untuk main judi slot.
“Jujur, karena WFH (work from home), gue kan jadi lebih banyak di rumah ya. Bosen. Ngapain lagi ya abis kerja? Buka HP, langsung aja main slot. Isi token, 10 ribu, 20 ribu. Lama-lama nagih banget. Padahal pernah sampai rugi. Ada kali di awal itu rugi hampir sejuta,” ungkapnya.
Joni tentu tak sendiri. Judi online digandrungi sejumlah warga Indonesia tak pandang usia. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada peningkatan transaksi keuangan mencurigakan terkait perjudian (termasuk judi online) selama masa pandemi.
Pada tahun kedua pandemi, tulis Sindo, ada 3.446 transaksi keuangan mencurigakan di Indonesia. Angka ini pun terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Pada 2022, tren transaksi ilegal meningkat hingga berkali-kali lipat. Pada saat itu, angkanya menyentuh hingga 11.222 transaksi ilegal per tahun.
Meskipun ramai saat pandemi, judi online bukanlah metode perjudian baru. Jauh sebelum ponsel marak digunakan, judi online muncul dalam bentuk-bentuk lain, seperti taruhan siaran olahraga via internet, hingga permainan kartu lewat personal computer.
Lalu, sebenarnya, sejak kapankah judi online mulai marak? Dari mana muasalnya, dan bagaimana penanganan pemerintah Indonesia dalam memberantas fenomena judi online sejauh ini? Berikut Magdalene rangkum faktanya buatmu.
Baca juga: Yang Tak Dibicarakan dari Darurat Judi ‘Online’: Kekerasan hingga Nihilnya Perlindungan Korban
Bermula di Antigua, Menyebar ke Seluruh Dunia
Kemunculan judi online tak bisa dilepaskan dari momentum pengesahan Undang-Undang Perdagangan dan Pemrosesan bebas pada 1994, di Antigua dan Barbuda, Kepulauan Karibia. Robert Wood dalam “Internet Gambling: Past, Present and Future” (2007) menulis, pengesahan UU ini merupakan titik awal kemunculan perjudian di ruang maya.
Sejak UU disahkan, secara efektif, bandar taruhan Amerika Serikat yang berbasis di Antigua mulai menerima taruhan pacuan kuda melalui saluran telepon. Setelah itu, UU ini pun mendorong kemunculan software judi pertama yang diluncurkan oleh perusahaan gim Microgaming pada 1994.
Setahun berselang, situs perjudian online semakin marak bermunculan. Dengan metode yang berbeda-beda, situs judi online muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, permainan kasino daring, hingga taruhan bola online.
Mulanya, beberapa situs ini tidak menawarkan taruhan dengan uang sungguhan. Namun, di 1996, munculah InterCasino, yang berbasis di Antigua, Kepulauan Karibia, sebagai situs judi online pertama yang menerima uang asli untuk dipertaruhkan.
Hingga 2006, ujar Wood, setidaknya terdapat lebih dari 2.500 situs judi online yang dimiliki oleh 465 perusahaan berbeda. Semua situs ini hadir dalam satu lisensi, pada situs judi www.online.casinocity.com. Kemunculannya pun tersebar pada beberapa wilayah hukum di seluruh dunia. Paling banyak, situs judi online ditemukan berbasis di Kosta Rika, dengan jumlah 382 situs hingga 2006.
Karena beroperasi secara daring, judi online bisa dengan mudah ditembus oleh semua pengguna di seluruh dunia. Masih dari temuan Wood, meskipun bukan menjadi negara basis situs judi online terbesar, Britania Raya, menjadi wilayah hukum dengan transaksi judi online terbesar hingga 2006.
Ini berlaku pula di Indonesia yang masyarakatnya juga terpapar internet. Terlebih masyarakat kita sudah familier dengan judi bahkan sejak era penjajahan Belanda dan kerajaan. Kita mengenalnya dengan judi konvensional macam sabung ayam, permainan lempar dadu, dan sebagainya. Karena judi bertransformasi terus, maka judol pun tak terelakkan di Indonesia di mana pengguna cenderung bertaruh di internet.
Kini, metode judi online telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Dari Eropa hingga Asia, siapa pun bisa mengakses situs judi online dengan berbagai cara, sekali pun praktik ini merupakan tindakan yang ilegal. Jika ditotal, dilansir dari playtoday.co, ada 155,3 juta orang terlibat dalam berbagai taruhan online. Jumlah ini berkisar 9,6 persen dari total populasi perjudian di seluruh dunia.
Pendapatan yang didapat dari bisnis ini pun tidak main-main. Disadur dari statista.com, secara global, pendapatan di pasar perjudian online diproyeksikan akan mencapai US$100,90 miliar atau sekitar Rp1,6 triliun di akhir 2024.
Baca juga: Jerat UU ITE: 9 Pasal Karet yang Bisa Kirim Kita ke Penjara
Pemberantasan Judol di Indonesia, Upaya Setengah Hati?
Sebagai negara yang tidak melegalkan praktik perjudian, Indonesia sendiri berupaya memberantas praktik perjudian daring. Secara hukum, tindak perjudian online dilarang dalam Pasal 27 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pada aturan tersebut dijelaskan, siapa pun yang secara sengaja mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya judi online, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Selain itu, pidana tindak perjudian online juga diatur dalam Pasal 303 KUHP dengan aturan penjara paling lama 4 tahun, dan/atau denda pidana paling banyak Rp10 juta bagi para pemainnya.
Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pihaknya telah memutus akses terhadap 566.332 konten di ruang digital yang memiliki unsur perjudian. Upaya itu terus berlanjut setidaknya sampai 2023 lalu.
Adapun cara pemutusan dilakukan dengan mendeteksi 8.823 kontak dan rekening yang diduga terkait dengan situs perjudian online. Selanjutnya, Kominfo meminta pihak perbankan untuk melakukan pemblokiran terhadap 176 nomor rekening atau akun bank yang diduga terlibat dengan kegiatan perjudian di ruang maya.
Baca juga: Tok! Fatia-Haris Bebas tapi Kriminalisasi UU ITE Tetap Intai Kita
Selain upaya pemblokiran akses, Kominfo dalam laman resminya berjanji meningkatkan literasi digital masyarakat melalui program Gerakan Nasional Literasi Digital. Tujuannya untuk membentengi masyarakat dari berbagai konten negatif di ruang digital, termasuk perjudian online. Dari pengamatan Magdalene, kegiatan literasi digital ini dilakukan dengan berbagai cara, termasuk kampanye langsung di lapangan, dan kampanye digital melalui aplikasi media sosial Instagram.
Namun, tampaknya upaya ini saja belum cukup memberantas judol di Indonesia. Bagaimana menurutmu?
Ilustrasi oleh: Karina Tungari