Bau Misoginis dan Citra Buruk Perempuan dalam Slogan KPK “Cegah Nyokap dari Suap”
KPK punya slogan “Cegah Nyokap dari Suap”, dari mana sikap misoginis ini muncul? Kenapa fokus kampanye justru menyasar perempuan?
Menjelang Pemilu 2024, politik uang menjadi isu mutakhir yang menarik diperbincangkan. Tagline “Hajar Serangan Fajar” menjadi fokus Pusat Edukasi Antikorupsi di bawah naungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Narasi “Hajar Serangan Fajar” ini jadi ikon utama dalam website KPK yang diilustrasikan dengan gambar tiga perempuan berdaster yang diiming-imingi uang, kemudian ditarik oleh dua laki-laki dan dua perempuan. Tiga perempuan berdaster yang ditarik tersebut menjadi simbol yang ingin disampaikan negara melalui KPK bahwa perempuan kerap kali menjadi korban praktik politik uang jelang pencoblosan atau disebut dengan serangan fajar. Slogan tersebut dapat diakses pada Serangan Fajar Adalah Praktik Politik Uang, Wajib Dihajar!
Sejak beberapa tahun terakhir, perempuan memang kerap menjadi sasaran praktik politik uang. Hal tersebut sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Democracy and Electoral Empowerment Partership (DEEP) Indonesia pada 2023. Perempuan masuk kelompok rentan terhadap suap sebagai pengganti dukungan baik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres).
Baca juga: Magdalene Primer: Perbedaan Misogini dan Seksisme
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingginya kasus perempuan menerima suap dipengaruhi minimnya literasi mengenai regulasi kepemiluan dan edukasi politik.
Banyak perempuan pemilih paham bahwa uang atau barang untuk membeli suara itu dilarang, tetapi mereka tetap menerimanya. Namun yang akan menjadi fokus pada tulisan ini adalah mengkritisi gambar yang menjadi slogan KPK dalam memerangi “Serangan Fajar”.
Bagi sebagian orang mungkin gambar tersebut tampak biasa-biasa saja. Namun jika kita amati lebih jeli, ia menggambarkan dua citra perempuan yang berbeda yakni perempuan berdaster dan perempuan tidak berdaster. Perempuan berdaster dianggap sebagai keterwakilan ibu rumah tangga yang dalam konteks ini dianggap paling rentan menerima suap. Sementara dua gambar perempuan di belakang dengan baju yang lebih rapi digambarkan sebagai perempuan yang turut serta dalam memerangi hal tersebut.
Gambar tersebut seolah mendeskripsikan kesenjangan perempuan berpendidikan dan tidak. Dalam konteks ini ilmu pegetahuan dinilai bersifat andosentris, karena ilmu pengetahuan pada umumnya menyusun konsep atau teori dengan cara mengasumsikan perempuan sebagai objek yang pasif, membuat perempuan “tidak kelihatan” atau menjadi misoginis (sikap tidak menyukai perempuan).
Politik misoginis digambarkan secara jelas ketika perempuan yang dianggap lebih berpendidikan menarik perempuan berdaster.
Misoginis dalam bahasa inggris adalah misogynism secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yakni misogynia. Miso berarti benci dan gyne diartikan sebagai perempuan. Istilah ini berkembang menjadi ideologi yang disebut misoginisme (misogynism).
Baca juga: ‘Blame the Woman’ Ala Mahfud MD Bukan Pertama Kali Terjadi
Kamus ilmiah populer menyebutkan terdapat tiga ungkapan berkaitan dengan istilah tersebut, yaitu misogin artinya benci akan perempuan, misogini perasaan benci akan perempuan, dan misogini yang berarti laki-laki yang benci pada perempuan.
Mengapa hanya perempuan yang menjadi fokus dan objek dalam slogan tersebut? Jika ada perempuan berdaster yang menjadi legitimasi penerima suap mengapa tidak ada gambar laki-laki bersarung atau berkopiah yang menjadi objek, bukankah keduanya sama-sama rentan menerima suap.
Mengapa hanya perempuan yang digambarkan seolah-olah ia yang paling membutuhkan uang?
Secara konsep gambar tersebut ingin mengedukasi masyarakat mengenai politik uang. Namun bukankah gambar tersebut justru membentuk interpretasi dan melanggengkan stereotip terhadap perempuan bahwa perempuan suka bersenang-senang dan menghabiskan banyak uang, baik untuk belanja dan berfoya-foya.
Selanjutnya, posisi laki-laki yang menarik perempuan justru semakin melangengkan budaya patriarki yang ada di Indonesia dan menempatkan posisi perempuan pada posisi inferior dan subordinat. Dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam slogan tersebut berkenaan dengan kekuasan (power) yakni perbedaan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan menjadi penyebab utama variasi wacana tersebut dihasilkan.
Perempuan menjadi sasaran politik uang juga dipengaruhi oleh stigma dan anggapan dalam masyarakat yang menganggap perempuan cenderung menggunakan gaya tutur yang kooperatif, berbeda dengan laki-laki yang cenderung menggunakan gaya kompetitif. Pembedaan secara gender inilah yang berperan secara signifikan terhadap marginalisasi perempuan yang tidak hanya pada wilayah publik tetapi juga pada wilayah domestik. Anggapan perempuan yang selalu kooperatif inilah yang pada akhirnya melanggengkan praktik-praktik tersebut.
Hemat saya, posisi perempuan dalam slogan tersebut seharusnya tidak hanya sekadar menjadi objek meski gambar tersebut berdasarkan hasil penelitian. Menjadi objek akademisi dalam membuat kebijakan, atau untuk membagi kepedulian kepada masyarakat tentang nasib perempuan. Tetapi lebih dari itu, perempuan harus dipandang sebagai manusia secara utuh. setara secara persamaan hak. Perempuan tidak boleh hanya menjadi objek, dalam hal ini, untuk memerangi politik uang yang menyasar perempuan kita perlu menyentuh kehidupan perempuan, terlebih “mendengar suara perempuan”, dan mengakomodir aspirasi perempuan, maka kita sebenarnya sedang berbicara “sesuatu untuk perempuan”.
Mendengar suara perempuan adalah hal wajib ketika akan menuju sebuah perubahan karena perempuan selain secara kuantitas lebih banyak dari laki-laki, ternyata suara perempuan sungguh luar biasa kalau didengar.
Baca Juga: Misogini dalam Politik Iriana Jokowi dalang Pemilu 2024
Untuk itu, berbagai pihak yang telibat dalam penciptaan demokrasi yang jujur dan adil di negeri ini, hendaknya juga mendengar definisi, pemahaman, dan sikap perempuan terhadap politik uang, sebab apa pun strategi yang digunakan untuk memberantas politik uang akan sia-sia jika tidak berbasis pada pendapat masyarakat secara seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Uswah Sahal, mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga.