Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, saat saya melirik jam di ponsel. Artinya, sudah tujuh jam sejak saya berkencan dengan “Alex”, laki-laki yang ditemui di aplikasi kencan. Dari siang bolong sampai kafe mau tutup, Alex cuma cerita tentang dirinya: Relasi dengan kakak dan adik, orang tuanya yang bercerai, dan kesukaannya pada budaya populer.
Meski lebih banyak mendengarkan, saya lega karena Alex mendominasi obrolan. Setidaknya enggak bingung atau canggung nyari topik obrolan. Sebagai orang yang belum pernah nge-date, hal ini di luar ekspektasi saya. Ditambah kami bisa klik dengan mudah, dan punya ketertarikan serupa. “Mungkin akan ada date selanjutnya,” pikir saya.
Sampai artikel ini ditulis, saya dan Alex sudah nge-date sebanyak lima kali. Komunikasi kami kelihatan sehat dan lancar: Bisa menyampaikan perasaan masing-masing, saling mengoreksi, dan mendengarkan. Namun, lama-lama saya sadar, sebenarnya kencan kami enggak sebaik itu. Relasi kami jalan di tempat.
Kira-kira dua bulan lalu, ketika saya sadar komunikasi kami bersifat searah. Alex banyak bercerita, sedangkan saya mendengarkan—tiap kencan maupun chatting. Awalnya, saya merasa kurang terbuka dengannya. Begitu menyadari, ternyata Alex sering kali enggak bisa menanggapi, atau menunjukkan rasa ingin tahu tentang saya.
Sampai akhirnya di kencan kelima, saya mengajak Alex main 10 questions—masing-masing memberikan lima pertanyaan supaya lebih tahu tentang satu sama lain. Namun, upaya saya masih belum menggugah keingintahuan Alex. Sepulang kencan, ia bilang, “Sorry ya, tadi enggak banyak nanya. Enggak tahu mau nanya apa.”
Dari situ, saya googling kenapa seseorang kebanyakan membicarakan dirinya, dan sedikit bertanya pada lawan bicara. Lalu, menemukan penjelasan tentang conversational narcissism.
Istilah tersebut dipopulerkan oleh sosiolog asal AS, Charles Derber, dalam The Pursuit of Attention: Power and Ego in Everyday Life (1979). Mulanya, Derber mengamati lemahnya sistem dukungan sosial di AS, sehingga orang-orang bersaing untuk mendapatkan perhatian. Caranya dengan mengalihkan pembicaraan dari orang lain, ke diri mereka sendiri.
Ada dua strategi conversational narcissism yang disampaikan Derber. Pertama, respons aktif: pembicara yang narsis secara halus mengubah topik obrolan ke arah dirinya sendiri. Walau enggak secara langsung mengubah fokus obrolan, setidaknya pembicara langsung menimpali dengan sesuatu yang relevan dengannya.
Kedua, respons pasif. Artinya mereka memberikan tanggapan yang minim, dan enggak berupaya fokus pada topik lawan bicara. Misalnya, merespons sebagai berikut: “Hmm atau oh iya?”
Jika salah satu pihak dalam hubungan kebanyakan membicarakan dirinya, bagaimana conversational narcissism berpengaruh pada relasi romantis?
Baca Juga: Pasangan Narsistik, Apa Saja Tandanya dan Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Conversational Narcissism dalam Hubungan Romantis
Selama tujuh bulan pacaran, “Inara”, 23, mengaku “Kale”, sang pacar, terdengar enggak antusias mendengarkan ceritanya. Hal itu ia sadari kurang lebih dua bulan terakhir.
“Rasanya tuh gue harus dengerin ceritanya terus. Sebaliknya enggak, malah sambil scroll LinkedIn,” kata Inara. “Kalau dia cerita tapi gue enggak dengerin, bisa ngambek dua sampai tiga hari. Atau kalau gue cerita, dibalikin ke posisi dia.”
Inara mengatakan, Kale bersikap demikian terutama jika membahas urusan kantor. Kebetulan keduanya bekerja di satu perusahaan, dengan divisi berbeda. Sering kali, Kale memberi tahu apa yang harus Inara lakukan dalam pekerjaan.
Misalnya ketika Inara ingin membicarakan perkembangan karier bersama atasannya. Kale mendikte Inara perihal apa yang harus diucapkan. Menurut Inara, saran Kale belum tentu bisa diterapkan, lantaran cara komunikasi dan kepribadian atasan mereka berbeda. Maka itu, Inara cukup mendengarkan dan mengapresiasi saran Kale—tanpa protes karena akan menjadi masalah.
“Kalau tahu enggak dilakuin, dia bakal nyalahin seandainya memang cara dia yang benar,” ujar Inara. “Kalau urusan kerjaan, dia merasa know it all. Soalnya posisinya lebih keren.”
Dalam tulisannya di Psychology Today, penulis Preston Ni menyebutkan, salah satu ciri seorang narcissistic conversationalist adalah bersikap tahu segalanya, dan memberikan saran meski enggak diminta. Ini lantaran pembicara yang narsis merasa dirinya lebih tahu, sehingga memaksakan opininya, demi memuaskan ego dan perasaan insecure.
Sebenarnya ada tiga ciri conversational narcissism: kecenderungan gangguan kepribadian narsistik, histrionik, dan kurangnya empati serta kemampuan berkomunikasi. Hal itu disampaikan oleh psikolog klinis Pingkan Rumondor, dalam wawancara bersama Magdalene.
Pada orang dengan gangguan kepribadian narsistik, Pingkan mengatakan, umumnya disebabkan oleh kurangnya empati dan kebutuhan jadi pusat perhatian. Karena itu, awalnya obrolan terkesan nyaman dan menyenangkan. Lama-lama, yang jadi fokus dalam percakapan adalah dirinya sendiri, sehingga melelahkan bagi yang mendengarkan. Belum lagi, pembicara yang narsis berusaha mencapai keinginannya dengan memanipulasi, menuntut, atau menyalahkan.
Sementara pembicara yang narsis dalam ciri histrionik cenderung dramatis, emosional, dan mudah dipengaruhi. Pingkan menjelaskan, mereka lebih melihat harga dirinya berdasarkan yang dikatakan orang lain tentangnya. Lalu senang jadi pusat perhatian, gaya berpakaiannya provokatif, dan peduli dengan penampilan fisik. Selain itu juga mencari persetujuan orang lain, serta sensitif terhadap kritik.
Baca Juga: Tingkah Laku Polri-TNI: Dari Flexing sampai Narsistik
“Kedua ciri itu inti masalahnya sama, punya konsep diri yang enggak jelas dan self-esteem-nya rendah,” tutur Pingkan. “Tapi ditutupin dengan berperilaku seolah lebih hebat, ngomongin keberhasilannya, dan enggak mikirin tentang lawan bicaranya. Padahal insecure banget.”
Walau terlihat serupa, kecenderungan gangguan narsistik dan histrionik cukup berbeda dengan narcissistic conversationalist. Ciri kepribadian ini kurang kemampuan komunikasi dan empati, sehingga enggak selalu mengalihkan pembicaraan pada dirinya. Biasanya, mereka bersikap demikian jika dalam situasi baru, lalu bingung dalam berperilaku.
“Daripada enggak ada topik, jadi ngomongin dirinya aja, atau kalau nge-date merasa gugup,” terang Pingkan.
Meski demikian, Pingkan menggarisbawahi akibat seseorang enggak bisa berempati dan berkomunikasi. Mereka enggak tahu cara melibatkan orang lain dalam percakapan, dan enggak bisa bertanya ataupun mendengarkan.
Terlepas dari ketiga ciri conversational narcissism, sikap tersebut berdampak pada kepuasan hubungan—sebagaimana dijelaskan penulis dan pakar psikologi Lisa Leit dalam Conversational Narcissism in Marriage: Effects on Partner Mental Health and Marital Quality Over the Transition to Parenthood (2008).
Penelitian tersebut membahas pengaruhnya dalam pernikahan. Namun, dapat menggambarkan relasi romantis lainnya. Sebab, seorang narcissist conversationalist dapat membuat pasangan merasa kehadirannya enggak penting, mendorong komunikasi tak sehat, cekcok terus-menerus hingga mengarah ke perpisahan.
Hal itu karena dalam hubungan romantis terdapat social exchange. Pasangan bukan hanya memberi, tetapi memberi dan menerima dengan seimbang—agar mengetahui relasinya menguntungkan dan bermakna. Maka itu, dalam jangka panjang, hubungan enggak bisa berjalan jika hanya salah satu pihak yang memberi dan mendengarkan, tanpa merasa sebaliknya.
Lalu, bagaimana solusinya jika menjalin relasi romantis dengan seorang narcissistic conversationalist?
Baca Juga: Cari Pacar Berdasarkan Zodiak, Perlu Enggak Ya?
Mempertimbangkan Keluar dari Relasi
Ibarat pekerjaan, tiap mengobrol dengan Alex, rasanya seperti jurnalis mewawancarai narasumber. Beberapa hari setelah kencan kelima, akhirnya saya mengutarakan pada Alex, selama ini obrolan kami kebanyakan membicarakan dirinya. Waktu itu, Alex mengaku enggak sadar, percakapan kami enggak cukup komunikatif. Lalu akan belajar mendengar, menanggapi, dan memberi ruang untuk saya berbicara.
Menurut Pingkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, jika ciri kepribadian conversational narcissism disebabkan oleh kurangnya kemampuan komunikasi dan empati. Pertama, mengomunikasikannya—seperti yang saya lakukan pada Alex. Sampaikan bahwa kita punya kebutuhan didengarkan.
“Bilang kalau kamu enggak nyaman, dan butuh dikasih kesempatan ngomong,” ucap Pingkan.
Kedua, menetapkan batasan. Jika pasanganmu ingin membicarakan dirinya, sedangkan kamu enggak punya kapasitas untuk mendengarkan, katakan yang sebenarnya. Sebab, kamu membutuhkan energi untuk melakukannya.
Ketiga, berikan contoh mendengarkan dan percakapan dua arah. Pingkan menjelaskan, beberapa orang akan berusaha mengikuti saat diberikan contoh. Namun, hal ini belum tentu berlaku jika seseorang mengalami gangguan kepribadian narsistik.
“Orang yang mengalami gangguan kepribadian narsistik penanganannya beda, mereka butuh terapi dan pemeriksaan,” terang Pingkan. “Seenggaknya ketiga hal tadi yang bisa dilakukan. Yang penting kamu terima kondisinya, jaga jarak, dan jaga kesehatan mental.”
Di samping itu, Pingkan menekankan untuk mempertimbangkan relasi yang dijalin. Sebab, dalam komunikasi yang sehat diperlukan berbicara, mendengarkan, serta berbicara dan mendengarkan. Pun yang dibicarakan bukan hanya tentang dirimu dan pasangan, melainkan hubungan.
Karena itu, penting untuk menanyakan pada dirimu, apakah sosok narcissistic conversationalist yang diinginkan sebagai pasangan? Kemudian, pastikan kamu dapat menjalani hubungan di mana lebih banyak mendengarkan, dibandingkan punya ruang bercerita.
“Kalau merasa bisa handle, enggak masalah. Namun, dalam jangka panjang enggak sehat. Ukur diri sendiri, apakah hubungan seperti itu yang diinginkan? Soalnya, hubungan romantis itu membangun komitmen dan yang seperti itu (narcissistic conversationalist) menunjukkan komitmen yang rendah,” imbuh Pingkan.