#TanahAirKrisisAir: Proyek ‘Beach Club’ Raffi Ahmad, Bukti Abainya Pemerintah pada Lingkungan
Proyek ‘beach club’ Raffi Ahmad menunjukkan absennya kepedulian Pemkab Gunungkidul terhadap kerusakan lingkungan. Padahal, wilayah tersebut rawan kekeringan.
Pertengahan Desember lalu, aktor Raffi Ahmad bersama Arbi Leo, meletakkan batu pertama untuk pembangunan beach club dan resor Bekizart di Pantai Krakal, Kapanewon Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Proyek yang berada di bawah PT Agung Rans Bersahaja (ARBI) itu berencana membangun 300 vila dan tiga restoran.
Lewat postingan Instagram, Raffi bilang, selain terbuka untuk wisatawan, Bekizart akan menerima warga lokal untuk bekerja. Ia berharap, proyek ini dapat memajukan pariwisata dan ekonomi Indonesia. “Majukan terus pariwisata dan ekonomi bangsa,” tulis Raffi.
Melihat rencana tersebut, Wahyu—warga yang tinggal di wilayah Kapanewon Tanjungsari—menyambut baik pembangunan beach club. Menurutnya, proyek tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengurangi angka pengangguran lewat sektor pariwisata—yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2023 berjumlah 2,09 persen, paling kecil di DIY.
“Saya dengar, menu restorannya akan ada bebek dan ayam kampung. Secara langsung, warga akan ikut menyuplai bahan-bahan yang dibutuhkan,” tutur Wahyu pada Magdalene.
Seremoni peletakan batu pertama turut dihadiri Bupati Gunungkidul Sunaryanta. Ia mengatakan, setidaknya ada tiga tempat wisata yang dibangun para investor sepanjang 2023.
Masalahnya, pembangunan Bekizart yang direncanakan seluas 10 hektar itu, dibangun di wilayah Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang seharusnya dilindungi. Merujuk Peraturan Menteri (Permen) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan KBAK pun disebutkan, KBAK merupakan kawasan lindung geologi dan bagian dari kawasan lindung nasional.
Dengan kata lain, pemanfaatan wilayah KBAK seharusnya menghindari potensi kerusakan. Lalu, apa dampak pembangunan beach club Bekizart bagi lingkungan?
Baca Juga: Profil Fitri Nasichudin Kebun Kali Code Atasi Krisis Air
Wilayah Gunungkidul Rawan Kekeringan
Selain terdapat sungai dan mata air bawah tanah, lanskap karst seperti wilayah Kapanewon Tanjungsari mampu menyerap air yang bisa dimanfaatkan warga. Namun, letak air tanah yang berada di bawah permukaan batu gamping, membuat air susah diakses. Hal itu menyebabkan Kapanewon Tanjungsari rawan kekeringan.
Pada 2021, misalnya. Warga Kapanewon Tanjungsari mengalami kekeringan dan mengajukan bantuan air bersih—yang kemudian disalurkan lewat anggaran milik kapanewon. Sementara menurut Wahyu, belakangan ini area tempat tinggalnya tak lagi bergantung pada air hujan akibat kekeringan. Ia mengaku terbantu dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
Namun, kekeringan tak hanya terjadi di Kapanewon Tanjungsari. Pada Oktober lalu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gunungkidul menyatakan, 16 kapanewon—sebutan untuk kecamatan di tingkat kabupaten yang berada di wilayah DIY—darurat kekeringan sampai akhir November 2023. Kekeringan berawal sejak musim kemarau, sehingga warga membutuhkan dropping air bersih. Melansir Kompas.com, jika ditotal ada sekitar 2.700 tangki air bersih yang disalurkan ke warga.
Tak hanya dropping, warga melakukan berbagai upaya demi mendapatkan air. Seperti berjalan kaki sejauh satu kilometer menuju sumur, karena akses jalan tak bisa dilalui kendaraan bermotor. Situasi ini dihadapi warga Ngipik Gedangsari. Dalam wawancara bersama Harian Jogja, Hariyanti, salah seorang warga mengatakan, air sumur pun keruh dan bau tanah. Karenanya, air harus didiamkan semalaman supaya mengendap dan lebih jernih, meski baunya tak hilang.
Sementara warga di Pedukuhan Tungu, Gunungkidul harus membeli air bersih dari mobil tangki keliling. Nilainya seharga Rp200 ribu per tangki, untuk kebutuhan selama dua minggu. Lain lagi di Dusun Karangpilang. Harga air per tangki tembus Rp300 ribu.
Sebenarnya, di Gunungkidul terdapat PDAM yang menyalurkan air bersih. Namun, di sebagian tempat layanannya belum optimal, karena instalasi yang baru sedikit. Pemakaian pun harus bergantian dan aliran air tidak lancar.
Berkaca dari kemarau panjang dan krisis air bersih, dikhawatirkan pembangunan beach club Bekizart memperburuk kekeringan di Kapanewon Tanjungsari. Bahkan menyebabkan banjir dan longsor, akibat hilangnya daya dukung dan tampung air karena rusaknya batuan karst.
Hal tersebut dikonfirmasi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta Gandar Mahojwala, saat diwawancara Magdalene. Setelah meninjau ke lokasi bersama tim WALHI, Gandar menyatakan pembangunan di KBAK dapat menimbulkan risiko besar.
“Enggak tepat kalau Gunungkidul memfokuskan diri pada eksploitasi pariwisata yang masif, mengubah bentang lahan, dan berisiko atas air,” jelasnya.
Perlu digarisbawahi, yang WALHI tekankan dari pembangunan beach club bukan soal Raffi Ahmad selaku investor di baliknya, melainkan komitmen Kabupaten Gunungkidul untuk melindungi KBAK. Sebab, proyek tersebut belum mengajukan berkas perizinan ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Gunungkidul melalui sistem Online Single Submission (OSS). Padahal, pembangunannya rencana dimulai pada awal 2024.
Baca Juga: Perubahan Iklim Bisa Rugikan Indonesia Ratusan Triliun
Masalah Izin dan Investasi di Gunungkidul yang Memenuhi Target
Untuk mengonfirmasi masalah perizinan, Magdalene telah menghubungi Kepala Dinas Penanaman Modal Agung Danarto. Namun, belum ada tanggapan sampai artikel ini ditulis.
Urusan perizinan pembangunan semakin dipertanyakan, lantaran Sunaryanta menghadiri peletakan batu pertama pembangunan Bekizart. Menurut Gandar, mendahulukan seremoni justru menimbulkan asumsi proyek tersebut sudah berizin. Selain itu juga mengesankan, izin hanya syarat administratif—bukan uji kelayakan yang idealnya dilakukan.
“Proses kajian lingkungan dan risikonya nggak pernah dihitung serius sebagai bagian dari proses bisnis, padahal dampaknya masif,” kata Gandar.
Sebab, pembangunan prasarana mesti memperhitungkan dampaknya dalam jangka panjang—apakah bisnis yang bersangkutan berisiko untuk masyarakat. Bukan hanya perekrutan jumlah pekerja.
Berkaca dari kemarau panjang dan krisis air bersih, dikhawatirkan pembangunan beach club Bekizart memperburuk kekeringan di Kapanewon Tanjungsari. Bahkan menyebabkan banjir dan longsor, akibat hilangnya daya dukung dan tampung air karena rusaknya batuan karst.
Karena itu, proses perizinannya perlu menyertakan masyarakat dan ahli lingkungan, guna mengetahui potensi kerugian negara atas berbagai kerusakan. Misalnya kehilangan air, lepasnya karbon dioksida ke udara, dan hilangnya karbon dioksida yang bisa diserap dari kawasan karst. Hal ini menjadi bagian dari sistem holistik karst, yang tak terpisahkan dari segi ekonomi maupun estetika.
Sebagai pejabat negara, seharusnya Sunaryanta melindungi dan mengutamakan keselamatan lingkungan lewat penegakkan izin. Apalagi Agustus tahun lalu, ia menandatangani Surat Keputusan (SK) Bupati Gunungkidul Nomor 76/KPTS/2023 tentang status siaga darurat kekeringan.
Jika pembangunan beach club menjadi cara mewujudkan investasi, sebenarnya Kabupaten Gunungkidul telah melampaui targetnya pada 2023. DPMPTSP mencatat, jumlah investasi per pertengahan November mencapai Rp451,4 miliar, dari target Rp447 miliar. Pencapaian itu tak luput dari oleh komitmen Pemerintah Kabupaten (Pemkab), untuk memudahkan investasi demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebanyakan investor pun menanamkan modal di sektor pariwisata, terutama pantai.
Artinya, Pemkab Gunungkidul sejauh ini masih memfokuskan pembangunan pada pariwisata dan ekonomi. Mengingat pada 2022, Pemkab Gunungkidul berencana mengajukan permohonan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), untuk mengurangi luas KBAK Gunung Sewu. Yakni sekitar 51 persen dari luasnya, yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 3045 K/40/Men/2014 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu. Usulan itu diajukan untuk mengeksploitasi pariwisata, dengan dalih meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
“Komitmen Bupati terhadap KBAK dari segi lingkungan itu perlu dipertanyakan. Padahal kenikmatan atas air itu ya untuk masyarakat rentan di kawasan Gunungkidul,” tegas Gandar.
Ia pun menyinggung keseimbangan tanah di Gunungkidul untuk pembangunan bisnis, yang berisiko tidak stabil jika terdapat aliran sungai bawah tanah.
Baca Juga: Tak Ada Tanah dan Air untuk Perempuan
Pentingnya Aspek Lingkungan dalam Pembangunan
Melihat rentannya kerusakan alam yang disebabkan pembangunan, Pemkab Gunungkidul seharusnya fokus pada pengangkatan air tanah untuk mengurangi kekeringan. Berdasarkan pengamatan WALHI, selama ini pengangkatan air dari sungai bawah tanah masih sangat kecil. Kebanyakan melibatkan kontribusi komunitas.
Di samping itu, WALHI memberikan catatan untuk pembangunan prasarana pendukung pariwisata. Pertama, perlunya pengkajian secara ekologis, terkait tempat usaha didirikan. Apabila di kawasan karst, misalnya, perlu dipahami bentuk, klasifikasi, dan bagaimana karst menyerap karbon. Sebab, fungsi karst akan hilang apabila permukaannya diubah, yang menyebabkan degradasi. Terlebih proyek vila yang dibangun Raffi Ahmad berjumlah 300 unit.
Kedua, WALHI menyarankan agar pembangunan prasarana melibatkan sisi budaya. Sedangkan beach club bertentangan dengan sistem masyarakat Yogyakarta—yang juga bisa dilihat dari respons netizen di media sosial.
“Sebenarnya enggak ada rumus utuh soal pariwisata ramah lingkungan. Yang harus dilakukan itu pengkajian lingkungan dan risiko yang timbul dari kerusakan lingkungan,” ujar Gandar. “Itu perlu didahulukan, sebelum mengasumsikan operasional bisnis.”
Kalau pun ingin memperluas pariwisata dan lingkungan, Pemkab Gunungkidul dapat mendorong pariwisata berbasis komunitas, sehingga berfokus pada masyarakat. Contohnya dengan memiliki akses lebih besar ke pantai, dan melibatkan mereka sebagai pengelola. Dengan demikian, masyarakat akan lebih berdaya, dibandingkan bekerja di sistem usaha milik investor.
Ilustrasi oleh Jeje Bahri