Saya Ngobrol dengan Perempuan Guru di Jabar Soal Wacana KDM Majukan Jam Sekolah
Gubernur Dedi Mulyadi enggak bosan bikin gebrakan di dunia pendidikan Jawa Barat. Teranyar, pria yang akrab disebut KDM ini baru saja berwacana untuk memajukan jam masuk sekolah ke pukul 6 pagi. Melansir Tempo, wacana ini tertuang dalam surat edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/Disdik. Pada surat tersebut disebutkan, kebijakan masuk lebih pagi ini akan dihadirkan sepaket dengan regulasi jam malam bagi pelajar Jawa Barat.
Setelah digaungkan, wacana ini pun panen kritik. Salah satunya dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Masih dari media yang sama, Ubaid bilang kebijakan ini terkesan terlalu memaksa dan punya potensi membahayakan kesehatan fisik serta mental peserta didik. Dengan jam masuk yang lebih pagi, anak-anak terancam akan hadir di sekolah dengan kondisi yang kurang prima.
“Itu terlalu dini untuk anak-anak,” katanya.
Senada dengan Ubaid, Imam Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) pun khawatir, jam masuk terlalu pagi bisa membuat anak kehilangan konsentrasi lantaran kekurangan jam tidur.
“Menurut berbagai riset, kurang tidur dapat membuat anak kesulitan berkonsentrasi, mengalami penurunan daya ingat, terganggunya kesehatan fisik dan mental, hingga merosotnya prestasi akademis,” kata Imam kepada Tempo.
Namun, selain bisa merugikan anak, kebijakan jam sekolah lebih pagi ala KDM ini punya pengaruh pada kehidupan guru di Jawa Barat. Buat beberapa guru perempuan, wacana tersebut dikhawatirkan bisa menambah jam kerja dan beban domestik mereka—pertambahan yang tak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan. Hal ini disampaikan oleh dua guru perempuan yang masing-masing bertugas di Depok dan Garut, Jawa Barat.
Baca juga: Pendidikan Perempuan dan Hal-hal yang Belum Selesai
Bangun Lebih Pagi dan Pekerjaan Domestik yang Kian Berat
Sebagai tenaga honorer di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) di Depok, Jawa Barat, “Dinar” awalnya tidak terlalu memikirkan dampak kebijakan baru KDM. Ia pikir, masuk jam 6 pagi tidak punya pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupannya.
“Ya udah paling tinggal bangun lebih pagi.”
Namun, setelah beritanya semakin ramai, Dinar baru sadar kebijakan itu praktis punya konsekuensi terhadap hidupnya. Terlebih sebagai ibu satu anak, Dinar dibebankan pekerjaan rumah yang tidak mungkin dialihkan apabila harus masuk sekolah lebih pagi.
“Setelah dipikir-pikir, ‘iya juga ya, gue harus bangun lebih pagi juga dong buat beberes rumah’. Belum lagi bikin bekal anak, sarapan mereka (anak dan suami), harus bangun jam berapa coba itu?” ungkap Dinar.
Senada dengan Dinar, Agis, 39, yang bertugas di salah satu sekolah dasar (SD) di Garut juga punya pendapat yang sama. Meskipun ia melihat kebijakan ini justru baik bagi anak-anak, Agis tidak menampik pekerjaan rumahnya praktis bertambah bahkan harus dilakukan dengan terburu-buru.
“Bagi saya sebagai guru dan juga ibu dari tiga orang anak pastinya berdampak sekali. Pasti jadi terburu-buru sekali dalam menyiapkan keperluan anak, mulai dari mengurus perlengkapan sekolah, berpakaian, sampai menyiapkan sarapannya. Semuanya lebih awal dari biasanya.”
Dari catatan United Nation Development Program (UNDP) sendiri, beban ganda memang masih jadi momok besar bagi perempuan pekerja. Terjadi di seluruh dunia, 70 persen perempuan yang bekerja, termasuk guru perempuan, tercatat masih melakukan kerja-kerja perawatan di rumah secara sendirian.
Senada dengan temuan tersebut, Dinar menambahkan, kebijakan KDM paling berdampak pada guru perempuan.
“Ya sebagai perempuan kita kan selalu disuruh urus ini itu. Siapa lagi gitu yang akan ngerjain itu (kerja domestik) semuanya? Pasti kita. Tapi kita juga harus cari uang,” jelas Dinar.
Baca juga: Pengalamanku Sebagai Perempuan yang ‘Ditempa’ Kurikulum Kita
Kesejahteraan Guru yang Masih Begitu-begitu Saja
Tidak hanya menyebut beban perawatan yang semakin berat, Dinar juga menyinggung bagaimana kebijakan ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan pendidik yang ia terima. Pasalnya, sebagai guru honorer di Jawa Barat, ia sendiri tidak mendapat tunjangan lebih selain gaji pokok dan uang transportasi.
Meskipun penggajian sendiri jadi tanggung jawab sekolah tempat ia bekerja, Dinar tetap merasa KDM cenderung luput terhadap hal ini. Pasalnya, dengan tuntutan kerja yang semakin tinggi dari kebijakan masuk lebih pagi ini, Dinar merasa tidak mendapat dukungan yang ia harapkan.
“Masalahnya juga kan, kami di Jawa Barat ini enggak dapat tunjangan yang pas gitu. Ya tahu, ini emang urusan sekolah tapi sekolah kan juga ikut standar yang ada aja. Gaji kami ini pas-pasan, gimana caranya bayar yang bantu-bantu di rumah (pekerja rumah tangga) kalau kerja harus lebih pagi lagi? Sudah enggak ada budget-nya,” ungkap Dinar.
Baca juga: Pendidikan Perempuan untuk Siapa?
Sebagai informasi, Dinar mendapat honor di bawah upah minimum kota (UMK) Depok, Jawa Barat. Dengan gaji yang menurutnya sangat ketat, pengalihan beban domestik pun tidak dapat dilakukan.
“Ujung-ujungnya, kita lagi yang harus nelen semuanya.”
















