July 14, 2025
History Issues People We Love Politics & Society

Mengenang Rachel Corrie, Aktvis Pembela Hak Palestina yang Tewas Dilindas Buldoser Israel

Hingga napas terakhir, Rachel Corrie mendedikasikan diri untuk memperjuangkan tanah Palestina yang direbut paksa Israel

  • June 13, 2025
  • 6 min read
  • 482 Views
Mengenang Rachel Corrie, Aktvis Pembela Hak Palestina yang Tewas Dilindas Buldoser Israel

Sore itu, 16 Maret 2003, dua buldoser militer Israel menggeram di sepanjang Rafah, Jalur Gaza. Di balik tubuh besarnya yang berlapis baja, masing-masing membawa seorang operator dan komandan kendaraan. Dengan kekuatan tanpa kompromi, mereka menggusur rumah-rumah warga Palestina, meninggalkan reruntuhan, kepanikan, dan kehilangan. 

Di tengah deru mesin dan dentuman logam, perempuan muda Amerika berdiri tegak mengenakan rompi oranye terang. Ia memegang pengeras suara, tubuhnya kecil dibandingkan alat berat di hadapannya. Namanya Rachel Corrie. 

Menjelang pukul lima sore, salah satu rumah yang menjadi target penghancuran adalah milik keluarga Nasrallah—dua bersaudara yang tinggal bersama istri dan lima anak mereka. Corrie mengenal mereka dengan baik. Ia sering bertamu, bahkan tidur bersama anak-anak di lantai rumah itu, berbagi selimut dengan si bungsu, Iman. Rumah itu sudah setengah hancur. Dua kamar depannya tak bisa dipakai setelah peluru-peluru menembus dinding. Kini mereka semua tidur berhimpitan di satu kamar yang tersisa. 

Saat buldoser mulai mendekat, Corrie memanjat gundukan tanah, tepat di jalur alat berat yang mengarah ke rumah keluarga Nasrallah. Ia berdiri di sana, mencoba bicara kepada operator di dalam kabin. Para aktivis dari International Solidarity Movement (ISM) berteriak histeris, melambaikan tangan, mencoba menghentikan laju mesin. Namun buldoser itu terus maju. Tanah berguncang, dan tubuh Corrie tergelincir, terseret ke bawah pisau besi besar di bagian depan. Dalam hitungan detik, tubuhnya digulung habis. 

Teman-temannya berlari panik menghampiri. Tubuh Corrie remuk. Di tengah hiruk-pikuk, ia masih sempat berbisik lemah, “Saya rasa punggung saya patah.” 

Sopir ambulans Palestina yang tiba beberapa menit kemudian hanya bisa menggeleng. Di rumah sakit Rafah, Rachel Corrie dinyatakan meninggal dunia. 

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel   

Kematian yang Tak Diberi Keadilan 

Kisah di atas adalah detik-detik terakhir Rachel Corrie, dituturkan kembali oleh ayahnya, Craig Corrie, dalam buku Let Me Stand Alone (2008). Buku ini memuat surat-surat pribadi, catatan harian, dan tulisan-tulisan Rachel. Di dalamnya, suara Corrie terdengar paling jujur—sebuah warisan yang kemudian menjadi landasan perjuangan keluarganya menuntut keadilan. 

Setelah kematiannya, militer Israel menggelar investigasi internal. Hasilnya, mereka menyatakan tentara dalam buldoser tidak melihat Corrie, dan Corrie sendiri bertanggung jawab atas kematiannya karena tidak menyingkir dari jalur alat berat. 

Keluarga Corrie menolak kesimpulan ini. “Tidak masuk akal,” kata Craig dan Cindy Corrie, orang tuanya. 

Mereka meyakini Rachel sengaja dilindas, dan sejak saat itu mereka memulai perjalanan panjang yang melelahkan—melawan sistem hukum dan politik yang terasa tidak berpihak. 

Dalam wawancara dengan NPR, pasangan Corrie mengisahkan bagaimana mereka mengajukan gugatan perdata terhadap pemerintah Israel pada 2010. Tuntutannya hanya satu dolar Amerika—tuntutan simbolik. 

“Bukan soal uang,” kata mereka, “tapi pengakuan bahwa militer Israel bertanggung jawab atas kematian anak kami.” 

Namun, di pengadilan, mereka dihantam tembok tebal sistem. Mereka tak diberi akses pada kesaksian prajurit yang mengoperasikan buldoser. Rekaman video pengawasan tak bisa mereka lihat. Akhirnya, pada 2012, Pengadilan Distrik Haifa menolak gugatan mereka. 

Hakim Oded Gershon menyebut Corrie “melindungi teroris” dan menyatakan para tentara telah melakukan yang terbaik untuk menghalau warga dari zona operasi militer. Banding ke Mahkamah Agung Israel pun kandas pada 2015. Pengadilan menolak argumen bahwa hukum internasional berlaku di wilayah Gaza dalam konteks operasi militer. 

Padahal di Amerika Serikat, lebih dari 70 anggota Kongres menandatangani resolusi mendesak penyelidikan independen dari pihak AS. Tapi resolusi itu, ironisnya, tak pernah ditindaklanjuti. 

Baca Juga: Boikot Produk hingga Unggah ‘Story’, 5 Hal untuk Bantu Palestina  

Lebih dari Martir: Corrie adalah Simbol Perlawanan Sipil 

Rachel Corrie masih berusia 23 tahun saat ia memilih berdiri di barisan paling depan dalam menghadapi penjajahan. Perjalanannya ke Palestina bukan kebetulan. Ia sudah lama aktif di berbagai gerakan perdamaian di kota kelahirannya, Olympia, Washington: Olympia Movement for Justice and Peace (OMJP), Olympians for Peace in the Middle East (OPME), SESAME, dan lainnya. 

Minat Corrie terhadap Palestina muncul seiring keterlibatannya di komunitas ini. Ia mendengar kisah perempuan Yahudi penyintas Holocaust yang menolak pendudukan. Ia mendengar cerita dari para aktivis yang pernah ke Tepi Barat dan relawan ISM yang kembali dari Gaza. Cerita-cerita ini memanggilnya untuk hadir, menyaksikan, dan ikut berjuang. 

Setelah peristiwa 11 September 2001 dan bangkitnya kebijakan militeristik AS, Corrie makin gelisah. Ia belajar Bahasa Arab, bekerja paruh waktu, dan menabung agar bisa berangkat ke Palestina. Ketika ibunya menyuruhnya untuk tidak memaksakan diri, Corrie menjawab, “Saya harus pergi.” 

Sesampainya di Rafah awal 2003, ia langsung disambut kekerasan: Rumah-rumah rata dengan tanah, tank dan pos penjagaan, sumur dihancurkan, dan kebun-kebun zaitun dibuldozer. Namun Corrie juga menemukan kekuatan—warga Palestina yang tetap bertahan di tengah reruntuhan, anak-anak yang tetap belajar, perempuan yang tetap menanak nasi meski dikepung ketakutan. 

Ia pun tinggal bersama keluarga Palestina yang rumahnya diincar untuk dihancurkan. Ia menjadi tameng hidup saat para pekerja kota memperbaiki sumur. Ia tidur di atas sumur untuk mencegah penggusuran. Ia mengajarkan anak-anak bahasa Inggris, bahkan bermimpi membuat program pertukaran antara anak-anak Rafah dan Olympia. 

Corrie tidak sendirian. Ia berjuang bersama aktivis Israel, relawan internasional, dan warga Rafah. Ia belajar frasa bahasa Ibrani dari mantan tentara Israel agar bisa berteriak ke operator tank. Ia dirawat oleh ibu-ibu Muslim saat sakit. Ia tahu betul risikonya. Tapi ia percaya: aksi damai bisa mengubah sejarah. 

Human Rights Watch menyatakan pembongkaran rumah-rumah di Rafah ilegal dan tanpa alasan militer. Namun Israel tetap maju, seperti buldoser yang merenggut nyawa Corrie. Di hari terakhirnya, Corrie berdiri bersama tujuh aktivis dari Amerika dan Inggris. Mereka hanya ingin mencegah satu rumah lagi hancur. Dan untuk itu, ia harus membayar dengan hidupnya. 

Baca juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina

Warisan Abadi 

Rachel Corrie tak pernah benar-benar pergi. Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di Ramallah, Tepi Barat. Di Gaza, warga menggelar turnamen sepak bola dua tahunan dengan namanya, disponsori oleh Rachel Corrie Foundation—bentuk penghormatan atas keberanian dan cinta yang ia tinggalkan. 

Bagi warga Palestina, Corrie bukan orang luar. Ia adalah bagian dari mereka. Seorang sahabat yang datang dari seberang samudra hanya untuk menyuarakan satu hal. Bahwa kemanusiaan adalah tanggung jawab bersama. Bahwa keadilan bukan hak eksklusif warga negara tertentu. Bahwa solidaritas, meski tak bisa membalikkan sejarah hari ini, setidaknya bisa menyalakan bara kecil yang memberi harapan untuk esok hari. 



#waveforequality
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.