Issues

Dear KPI, Dahlah Bubar Saja Sekarang!

Sejak 2019, desakan agar Komisi Penyiaran Informasi (KPI) bubar jalan, sudah mengemuka. Penyebabnya adalah rapor merah yang tak pernah ada habisnya.

Avatar
  • September 10, 2021
  • 5 min read
  • 1052 Views
Dear KPI, Dahlah Bubar Saja Sekarang!

Yang terhormat Komisi Penyiaran Indonesia yang sedang WFH,

Pagi ini saya membuka Insta Story demi berburu meme receh untuk doping semangat seperti biasa. Alih-alih dapat lelucon bapack-bapack yang bikin grrr, saya justru menemukan tangkapan layar artikel bertajuk Ketua KPI: Saipul Jamil Boleh Tampil di Televisi untuk Edukasi Bahaya Predator. Batin saya, lucu sekali akun-akun satir mengkritik KPI. Saat seorang teman bilang, ini bukan sekadar lelucon tapi fakta betulan, saya langsung ingin jedotin kepala.

 

 

Sumpah, Pak, Bu, dari sekian banyak tindakan nyeleneh KPI, seperti menyensor baju renang Shizuka di kartun Doraemon sampai menutup bikini Sandy si tupai di Spongebob Squarepants karena mengundang syahwat, pernyataan soal Saipul Jamil yang baru saja keluar penjara gara-gara melakukan kekerasan seksual ini bikin saya istighfar berulang kali.

“Dia (Saipul Jamil) bisa tampil untuk kepentingan edukasi. Misal, dia hadir (mensosialisasikan) bahaya predator. Kalau untuk hiburan, belum bisa (jika mengacu) surat yang kami kirim ke lembaga penyiaran,” ucap Ketua KPI Agung Suprio, dalam perbincangannya di Podcast Om Deddy Corbuzier.  

Baca juga: Tak Ada yang Lebih Sia-sia daripada Pembatasan Lagu KPI

Enggak kaleng-kaleng, alih-alih berbicara di media nasional atau enggak ngacir saat diundang Najwa Shihab ngobrol bareng kuasa hukum korban kekerasan dan perundungan KPI, MS, Pak Agung malah curhat dengan Om Deddy. Kami paham, Pak, mungkin ini soal kenyamanan berbicara ya, Pak. Sebagai Podcast yang ajek menerima klarifikasi, bantahan, dan afirmasi dari para pesohor, Bapak pasti sudah menghitung dengan cermat risiko bicara di Podcast Om Deddy. Tenang saja, Pak, tentu saja sebagai warga negara yang baik, saya masih akan berbaik sangka pada KPI.

Saya juga akan berbaik sangka, barangkali Bapak dan Ibu KPI cuma ingin membuat citra baru usai diberondong tagar #BubarkanKPI pada 2019. Saya ingat, waktu itu Bapak dan Ibu KPI memang lagi getol-getolnya menyensor banyak konten, dari promo film Gundala punya Joko Anwar hingga sensor payudara Sandy si tupai. Masalahnya, saya enggak menyangka jika imej baru hasil “KPI Reborn” kok jadi lembaga pemaaf dan anti-kekerasan seksual.

Saya membayangkan, setelah mengizinkan Saipul Jamil untuk tampil di TV kembali, mungkin jika pembuat konten membuat reality show perjalanan taubat sang predator, ada baiknya Bapak dan Ibu menjadikan konten itu sebagai tontonan edukasi karyawan baru di KPI. Ini mengingat Bapak dan Ibu KPI kan belum memiliki peraturan atau SOP tentang kekerasan seksual. Karena itulah, setelah terjadi kekerasan seksual di kandang sendiri, alih-alih memprosesnya lewat investigasi transparan, Bapak dan Ibu lebih senang bermanuver meminta korban, MS untuk berdamai dan memaafkan. Di titik ini, saya makin percaya, Bapak dan Ibu KPI memang serius mencitrakan diri sebagai Komisi Pemaaf Indonesia.

Daftar Dosa KPI

Saya paham mimpi KPI yang ingin mengubah citranya sebagai Komisi Pemaaf Indonesia, tapi saran saya, jangan, Pak! Sebaiknya, fokus saja menjaga mutu tontonan masyarakat Indonesia. Saya yakin kolom aduan KPI terkait tontonan bermasalah sudah banyak yang ditindaklanjuti. Di sini saya optimis KPI sudah memberikan teguran langsung pada media penyiaran bermasalah. Memang dasar, mereka saja yang bebal tak mengindahkan imbauan itu. Saya tahu Bapak dan Ibu sudah bersungguh-sungguh memperingatkan, meskipun sampai sekarang tak ada efeknya. Konten komedi slaptick dan sinetron toksik yang bertaburan adegan kekerasan masih tayang, tuh, Pak, Bu di televisi.

Baca juga: Kekerasan Seksual di KPI, Jangan Pakai Alasan Basi ‘Nama Baik Instansi’

Saya yakin cuma orang-orang terpilih saja yang sanggup berbesar hati dan bersabar menghadapi surat-surat teguran tanpa balas dari televisi Indonesia. Saya ingat dulu di 2019, saat seleksi Komisioner KPI oleh Komisi I DPR, Bapak dan Ibu Komisioner diberkati sebagai orang-orang terpilih yang tak perlu mengikuti seleksi berdasarkan sistem merit (standar kelayakan). Makanya, periode penerimaan masukan masyarakat yang diumumkan pada 19 Juni-10 Juli enggak sinkron dengan proses fit and proper test pada 8-10 Juli. Artinya, masukan masyarakat hanya sebatas formalitas, tak perlu klarifikasi, tak perlu verifikasi. Tak heran pula, para kandidat petahana bisa melenggang masuk tahap final tanpa perlu seleksi lebih lanjut.

Selain diisi oleh orang-orang yang dapat karomah, Bapak dan Ibu tampaknya super serius menegakkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), ya. Buktinya rajin sekali direvisi meski minim esensi. Aturan ini tetap saja tak memberi jaminan perlindungan untuk perempuan dan kelompok-kelompok marjinal. Ah, maaf saya lupa, mungkin Bapak dan Ibu sudah sibuk melindungi kepentingan ekonomi dan politik kelompok terkait. Eh!

Tak cukup sampai di sana, KPI tampaknya makin rajin memantau kuota iklan, kuota tayangan dari luar negeri, politisasi televisi, hingga sistem siaran jaringan, meskipun pelaksanaannya cuma sebatas niat masing-masing. Tenang saja, Pak, niat baik sudah dicatat oleh malaikat.

Lepas dari segala puja dan puji saya untuk KPI, pada akhirnya siapa, sih saya? Hanya masyarakat yang acap kali dianggap sebagai penonton pasif yang manggut-manggut saja waktu TV cuma menyiarkan tayangan resepsi pernikahan artis berhari-hari. Pun, sinetron yang memberi ruang buat normalisasi pernikahan muda.

Saya enggak berdaya, Pak, Bu, enggak punya kuasa. Kalau pun saya beruntung surat ini dibaca, saya khawatir, Bapak dan Ibu cuma membalas dengan konfirmasi lagi di Podcast Om Deddy. Sebenarnya saya ingin sekali bisa pindah ke layanan streaming yang acaranya lebih beragam dan enggak bikin saya naik darah, tapi mau bagaimana, uang saya cuma cukup untuk beli baterai remot TV untuk Mamak yang masih demen menonton acara TV nasional. 

Salam,

Elma, pekerja media yang masih pengen menuntut hak siaran publik yang berbobot dan anti kekerasan seksual, karena masih rebutan remot dengan Mamak.



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *