December 5, 2025
Environment Issues Lifestyle

Kondangan Akademik Tak Harus Bawa Banner, ini Alternatif yang Lebih Ramah Lingkungan

Rayakan momen kelulusan dengan cara yang lebih personal dan berkesan. Beberapa mahasiswa berbagi ide unik, tidak selalu banner mereka membawa tanaman, buah, hingga kumpul sederhana.

  • July 11, 2025
  • 5 min read
  • 2165 Views
Kondangan Akademik Tak Harus Bawa Banner, ini Alternatif yang Lebih Ramah Lingkungan

Di kalangan mahasiswa sekarang, sedang ramai tren “kondangan akademik”. Istilah tersebut mengacu pada mahasiswa yang mendatangi seminar, sidang skripsi, atau wisuda teman dengan membawa bingkisan, buket bunga, atau banner kelulusan.  

Fenomena ini marak dibagikan di media sosial, terutama Instagram dan TikTok. Sejumlah mahasiswa merekam suasana kampus yang dipenuhi banner, papan bunga, dan momen perayaan teman-teman mereka yang lulus.

Semakin luas lingkaran pertemanan seseorang, semakin sering pula ia menghadiri kondangan akademik. Banner atau papan ucapan yang terpajang biasanya dibuat atas nama kelompok pertemanan tertentu. Itu menjadi semacam simbol kolektif dalam merayakan pencapaian akademik.

Baca juga: Wisuda: Perayaan Jerih Payah yang Dikapitalisasi

“Karena punya tiga kelompok pertemanan yang deket, jadi bikin tiga banner: Kelompok saat praktik mengajar, kelompok main di perkuliahan, dan kelompok pertemanan saat masih SMA,” ujar Linda Dwi Aryani, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang mengikuti tren membuat banner kelulusan, (4/7). 

Kepada Magdalene Linda bercerita, perencanaan pembuatan banner biasanya dimulai beberapa minggu sebelum sidang berlangsung. Umumnya, satu atau dua orang dari kelompok pertemanan akan menginisiasi dan mengajak anggota lainnya untuk iuran membayar biaya pembuatan banner.

Alasan Linda membuat banner kelulusan karena ingin merayakan momen tersebut dengan lebih meriah. Saat lulus SMA, ia tak sempat merasakan perayaan akibat pandemi Covid-19. Biasanya, kata Linda, perayaan kelulusan cukup dengan makan bersama. Namun kali ini ia sengaja ingin membuatnya lebih spesial.

Menurut Linda, perayaan kelulusan adalah hal penting karena menjadi bentuk penghargaan atas proses panjang menyelesaikan skripsi. Selebrasi itu bukan semata-mata pesta, tetapi juga ekspresi syukur telah melewati masa perkuliahan yang enggak mudah.

“Biasanya kalau lulus, kita enggak tahu abis ini bakal lanjut bareng atau jalan masing-masing. Belum tentu bisa lanjut S2 bareng atau kerja di tempat yang sama, jadi ngerayain sekarang tuh juga sebagai bentuk penutup yang manis,” ujar Linda.

Ia menyadari tren kondangan akademik tak lepas dari masifnya penggunaan media sosial. Bahkan, Linda mengakui, postingan kondangan akademik orang lain di Instagram dan TikTo-lah yang menumbuhkan keinginannya untuk ikut terlibat.

Meski begitu, Linda juga mempertimbangkan dampak lingkungan dari tren ini. Apalagi bahan banner yang digunakan tidak ramah lingkungan. Ia lantas mencoba menyiasatinya dengan memanfaatkan kembali banner yang sudah dibuat.

Gue pernah mikir juga, ini nanti jadi sampah, tapi kalau bisa dipakai lagi, ya dipakai. Misalnya belakang banner kan biasanya polos, bisa banget tuh dijadikan alas buat piknik atau taplak meja,” kata Linda.

Menurutnya, selama perayaan dilakukan dengan cara yang tidak merugikan orang lain dan tetap mempertimbangkan kenyamanan sekitar, tren ini sah-sah saja dijalani. Ia juga mengungkapkan, tidak ada tekanan sosial untuk mengikuti tren tersebut. Bagi Linda, setiap orang berhak memilih cara merayakan kelulusannya sendiri.

“Selama bannernya enggak ganggu akses orang, kayak nutup pintu masuk, ya menurut gue enggak masalah. Karena kan bentuk bahagia orang beda-beda,” tuturnya.

Baca juga: Antara Penghargaan dan Validitas: Perlukah Anak TK Wisuda Bertoga?

Tak Harus Cetak Banner

Meskipun banner kelulusan jadi elemen populer dalam kondangan akademik, beberapa mahasiswa memilih jalan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Seperti dilakukan mahasiswa Universitas Indonesia, Feymi Angelina. 

“Setiap kondangan akademik aku selalu bawa pohon, tanaman, atau buah-buahan. Misalnya aku pernah kasih temanku pohon cemara karena dia bilang pengen punya keluarga cemara setelah lulus. Ada juga yang aku kasih bunga vinca tegak karena mau jadi hakim, ceritanya biar menegakkan keadilan,” cerita Feymi ketika diwawancarai, (6/7). 

Ia mengaku mulai merencanakan perayaan sejak memasuki semester akhir, sekitar Maret 2025. Meski beberapa ide selebrasi baru muncul menjelang jadwal sidang, seluruh rangkaian perayaan tetap disiapkan dengan penuh antusiasme.

“Mungkin sejak masuk semester skripsian ya, semester 8. Namun, beberapa rencana juga baru muncul H-1 bulan sebelum sidang,” ujarnya.

Bagi Feymi, perayaan kelulusan adalah bentuk apresiasi atas pencapaian besar setelah menuntaskan beban akademik selama kuliah. Selain itu, momen ini menjadi kesempatan untuk bersilaturahmi, terutama dengan teman-teman yang selama masa kuliah jarang bertemu.

Ia menyadari tren membuat banner sebagai bagian dari perayaan banyak dilakukan mahasiswa. Menurutnya, setiap orang punya cara sendiri untuk merayakan keberhasilan, tapi ia mengajak agar perayaan dilakukan dengan lebih bijak.

“Menurutku enggak apa-apa sih, tiap orang punya cara. Tapi agak sayang aja kalau bannernya kebanyakan. Harapannya setelah dipakai, bannernya bisa dikembalikan ke percetakan buat di-recycle. Jadi jangan dibuang sembarangan,” tambahnya.

Jika ada alternatif perayaan yang lebih ramah lingkungan seperti photobooth kolektif atau sistem pinjam pakai banner, Feymi menyebut dirinya cukup tertarik. Baginya, tren ini bukan kewajiban sosial. Ia merasa baik ikut maupun tidak ikut, keduanya sah-sah saja. 

Ia melanjutkan, perayaan kelulusan ideal baginya adalah dengan sederhana, cukup kumpul bersama orang terdekat. “Aku bahkan sudah request pohon dan tanaman bunga ke teman-teman. Biar enggak mubazir. Mungkin aku juga pengen ngasih warning lebih banyak soal itu,” ungkapnya. 

Ia juga mengusulkan agar karangan bunga sekali pakai bisa diganti dengan pot tanaman besar yang dapat ditinggalkan di fakultas. Baginya, cara ini bukan hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga bisa menjadi bentuk warisan kecil yang bermakna alih-alih meninggalkan sampah setelah perayaan. 

Baca juga: Foto Pernikahan yang Diminta Ibu, Bukan Foto Wisuda

Perayaan Sederhana: Ramah Lingkungan tapi Tetap Berkesan 

Sementara itu, mahasiswa Universitas Indonesia Gloria Saragih memilih merayakan kelulusannya dengan sederhana. Ia merayakan dengan foto bersama teman dan keluarga di sekitar kampus lalu makan di kantin. 

Ia bilang, beberapa teman sempat mengajaknya bikin banner, tapi Gloria menolak. Baginya, banner hanya akan berujung menjadi sampah.  

“Aku merasa Bumi sudah cukup penuh oleh sampah, dan sebisa mungkin tidak ingin ikut menambahnya,” ungkapnya, (4/7) 

Melihat tren banner yang semakin marak justru membuatnya miris. Menurut dia, orang-orang yang punya akses pendidikan seharusnya sudah lebih sadar terhadap isu lingkungan

Ia juga mempertanyakan minimnya kesadaran akan keberlanjutan dalam perayaan pencapaian akademik. Menurut Gloria, bentuk selebrasi seharusnya bisa dipilih dengan lebih bijak, tanpa meninggalkan jejak sampah.

Sebagai bentuk perayaan yang lebih bermakna, Gloria justru mengapresiasi hadiah-hadiah yang fungsional. Ia masih ingat momen ketika seorang teman datang membawakan buket berisi selada setelah sidang.

“Pengalaman manisku, ada temanku yang datang dan kasih aku selada. Aku senang banget, seladanya bisa aku makan di rumah,” kenangnya.

Ia berharap lebih banyak mahasiswa merayakan momen penting dengan cara yang lebih sadar lingkungan. Menurutnya, sekecil apa pun upaya menjaga lingkungan tetap berarti.

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.