Wisuda: Perayaan Jerih Payah yang Dikapitalisasi

“Kamu ikut wisuda lah. Biar kita bisa foto. Lagian sudah kuliah capek-capek masak enggak wisuda?” rayu ibu kepada saya yang telah lama memutuskan untuk tidak mengikuti acara itu.
“Enggak usah, ambil ijazah saja. Wisuda mahal tahu, Rp2 juta lebih,” saya membantah.
“Oh… Bayar segitu. Iya lah ya, enggak usah, kita foto di studio saja sambil megang ijazahmu.”
Percakapan singkat itu terjadi beberapa hari setelah saya menanyakan sejumlah hal teknis, seperti tanggal pengambilan ijazah dan wisuda, ke bagian kemahasiswaan, September 2024. Saya duduk dengan santai di meja konsultasi, hingga nominal tersebut keluar dari mulut pegawai kemahasiswaan di depan saya.
“Tapi kalau enggak ikut wisuda, tetap bisa ambil ijazah kan, Mas?” tanya saya yang masih terbelalak.
“Bisa kok. Kami ngerti enggak semua mahasiswa punya uang untuk ikut wisuda,” jawabnya. Dia benar. Keluarga saya enggak susah-susah amat secara finansial. Namun, kami tidak punya uang sebanyak itu untuk sebuah ritual.
Baca juga: Antara Penghargaan dan Validitas: Perlukah Anak TK Wisuda Bertoga?
Biaya yang Tak Masuk Akal
Karena itu, setiap mendengar dosen berkata, “Nanti kita ketemu di wisuda ya!” Saya hanya tersenyum dan menjawab sekenanya. Begitu pula ketika foto wajah tersenyum dengan kepala bertoga berserakan di lini masa sosial media pada Desember 2024, saya mengucapkan selamat dan menyampaikan ikut berbahagia atas kelulusan rekan-rekan saya.
Meski dalam hati ada perasaan menginginkan hal yang sama, saya berhasil meredamnya dengan cukup mudah. Saya membayangkan harus datang ke acara wisuda di BSD, Tangerang Selatan bersama keluarga saya yang terdiri dari lima orang. Kami tentu mengeluarkan uang untuk transportasi yang lumayan, mengingat rumah saya dan BSD berjarak 55 Km.
Belum lagi, biaya wisuda yang lebih dari Rp2 juta itu hanya memberi akses masuk untuk tiga orang: Saya, ibu, dan kakak saya. Itu artinya, dua adik saya tidak bisa ikut masuk dan harus menunggu di luar sampai acaranya selesai.
Namun, Della sempat menemukan hal yang janggal. Saat membuka sistem akademik kampus untuk mengecek pembayaran, dia melihat ada opsi membayar biaya wisuda dengan metode paylater. Ia pun sempat mempertimbangkan untuk menggunakan fasilitas itu sebelum benar-benar memutuskan ikut wisuda. Untungnya, pilihan itu tidak jadi ia ambil.
Menambah jumlah keluarga yang ikut masuk sebenarnya bisa saja, tapi biayanya sangat mahal, Rp750 ribu per orang. Kalau ingin dua adik saya ikut masuk, ibu harus membayar tambahan Rp1,5 juta. Jadi, total pengeluaran dalam satu hari itu bisa mencapai sekitar Rp4 juta, hanya untuk biaya wisuda, tambahan anggota keluarga, dan ongkos bensin.
Angka itu berhasil membuat saya ngeri dan merelakan wisuda dengan cepat. Namun tentu saja cara ini tak bisa dipakai oleh semua orang. Perjalanan akademiknya beberapa mahasiswa bisa jadi dipenuhi jerih payah dan tantangan, sehingga merayakan pengorbanan itu menjadi sesuatu yang sangat penting dan sentimentil.
Baca juga: Foto Pernikahan yang Diminta Ibu, Bukan Foto Wisuda
Merayakan Pengorbanan
Saya tidak sendiri dalam hal mengeluhkan biaya wisuda yang mahal. Di kantor, saya ngobrol dengan seorang senior, Della N.P, yang tak lama lagi akan melaksanakan wisuda. Dia juga memiliki kebimbangan yang sama dalam memutuskan kehadirannya di wisuda.
Dia ragu untuk mengikuti wisuda. Wisuda di kampusnya memakan biaya hampir Rp2 juta. Namun, berbeda dengan saya, dia tetap mengikuti acara itu. Suaminya mengupayakan supaya Della bisa merayakan jerih payah yang dikeluarkannya semasa kuliah.
Dari awal memilih jurusan, dia sudah mengalami tantangan. Orang tuanya tidak menyetujui jurusan yang diminatinya. Dia pun harus membiayai sendiri kehidupan akademiknya. Empat tahun kuliah sambil bekerja merupakan waktu yang berat untuk Della. Karena itu, wisuda menjadi momen untuk mengapresiasi diri sendiri.
“Bagi aku wisuda bukan untuk celebrate biasa ya, dan bukan untuk validasi ke orang lain juga. tapi untuk mengapresiasi bahwa aku bisa sampai di titik ini,” katanya pada (30/6), di Palmerah Barat, Jakarta Barat.
Namun, Della sempat menemukan hal yang janggal. Saat membuka sistem akademik kampus untuk mengecek pembayaran, dia melihat ada opsi membayar biaya wisuda dengan metode paylater. Ia pun sempat mempertimbangkan untuk menggunakan fasilitas itu sebelum benar-benar memutuskan ikut wisuda. Untungnya, pilihan itu tidak jadi ia ambil.
Pun demikian, ada sebagaian orang yang menggunakannya. Apalagi di grup kampus, kebijakan itu diposisikan sebagai ‘solusi’ untuk bisa mengikuti wisuda. “Kasian juga untuk orang-orang yang enggak punya uang enggak bisa ikut wisuda, dan akhirnya bayar pakai paylater kan ujung-ujungnya menjerat mereka,” tutur Della.
Baca juga: #SetopLiberalisasiKampus: Kuliah adalah Hak Semua Bangsa Kecuali Orang Miskin
Benarkah Kita Cuma Bisa Pasrah?
Masalahnya bukan pada perayaan kelulusan melainkan bagaimana kampus turut membiarkan komersialisasi merasuk, termasuk dalam ritual akademik seperti wisuda.
Dalam konteks neoliberalisme, pendidikan tinggi secara global memang telah bergeser dari fungsi sosialnya menuju logika pasar. Pakar pedagogi AS Henry A. Giroux menyebut gejala ini sebagai bagian dari transformasi neoliberal university. Maksudnya, universitas tak lagi menjadi ruang demokratis, melainkan mesin reproduksi kapital dan budaya korporat.
Dalam artikelnya, “Neoliberalism, Corporate Culture, and the Promise of Higher Education: The University as a Democratic Public Sphere” (2002), Giroux menjelaskan mahasiswa kini diperlakukan sebagai konsumen alih-alih warga intelektual yang kritis dan aktif. Gejalanya terbaca dari biaya kuliah mahal hingga ongkos seremoni wisuda.
Pada 2020, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) bahkan sengaja mematok kocek wisuda hingga Rp3,7 juta. Angka ini belum termasuk dengan printilan biaya lain, seperti makeup, kebaya, karangan bunga, foto studio, transportasi, dan sebagainya.
Pada 2024, Muhadjir Effendy yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) juga pernah menyarankan agar kampus swasta menaikkan harga wisuda. Tujuannya adalah untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya.
Jika kampus serius mau berbenah jadi lebih inklusif, mereka bisa menyediakan subsidi biaya wisuda, opsi dokumentasi gratis bagi yang tidak hadir, atau menyelenggarakan seremoni alternatif yang setara secara simbolik tapi lebih terjangkau. Lagipula bukankah kuliah di kampus sederhana saja, yang berat cuma tafsir (wisudanya)?
