Antara Penghargaan dan Validitas: Perlukah Anak TK Wisuda Bertoga?

Setiap Juni, anak-anak mengenakan toga, membawa buket bunga, dan difoto dengan latar belakang bertuliskan “Wisuda TK” atau “Graduation” menjadi pemandangan yang lumrah di Indonesia. Tradisi ini terus berkembang dan bahkan menjalar hingga Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/K).
Sepintas, fenomena wisuda ini tampak sebagai bentuk penghargaan terhadap pencapaian anak. Namun, dalam praktiknya, aktivitas ini juga menunjukkan budaya simbolis yang membentuk persepsi kesuksesan semu dibandingkan perayaan terhadap capaian pendidikan yang substansial.
Pasalnya, yang dirayakan bukanlah proses belajar atau capaian intelektual yang mendalam—semisal dalam bentuk pameran kreasi anak atau presentasi tugas anak ke orang tua—namun keberhasilan tampil dalam seremoni dengan toga, piagam, dan panggung. Ini menciptakan persepsi bahwa keberhasilan cukup ditandai dengan seremoni visual dan simbolik, bukan dengan perkembangan karakter, keterampilan, atau pemikiran.
Baca Juga: Prabowo Minta Anak TK Diajari Matematika, Mungkinkah?
Wisuda sebagai Simbol
Secara historis, wisuda berasal dari tradisi akademis di perguruan tinggi yang menandai keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan satu tahap pendidikan.
Dalam konteks ini, wisuda bukan sekadar seremoni, akan tetapi pengakuan atas pencapaian akademis yang nyata. Makna ini mengalami pergeseran.
Ketika siswa TK yang baru belajar menulis atau siswa SD yang baru mengenal perkalian ikut merayakan wisuda, maka yang sedang dipertontonkan bukanlah pencapaian akademis substansial, melainkan simbol kesuksesan yang dikonstruksi secara sosial.
Seolah-olah, mengenakan toga sudah cukup menjadi bukti sukses, meskipun belum ada proses belajar yang bermakna. Padahal, toga secara historis merupakan lambang kelulusan dari proses intelektual yang panjang dan kompleks, bukan sekadar seragam.
Ketika simbol yang terlalu besar disematkan pada capaian yang belum matang, kita mengaburkan makna pendidikan itu sendiri, dan tanpa sadar menanamkan pada anak bahwa yang penting adalah tampil sukses, bukan menjadi pribadi yang berkembang.
Dalam masyarakat kontemporer, yang terpenting bukan lagi apakah benar-benar berprestasi, melainkan apakah mereka “tampak” berprestasi. Toga, foto studio, dan pesta menjadi alat produksi simbolis yang menandai bahwa seorang anak telah “sukses” walaupun kesuksesan itu sendiri sering tidak didefinisikan secara konkret.
Wisuda siswa TK hingga SMA/K bukanlah representasi dari capaian pendidikan yang substansial, ini justru hasil dari penciptaan realitas baru tentang keberhasilan yang semata-mata visual dan seremonial. Simbol telah melampaui realitas dan bahkan menggantikannya.
Baca Juga: Riset: Mayoritas Anak Sekolah Tak Bisa Kelola Keuangan Sendiri
Validasi Sosial lewat Wisuda
Wisuda juga menjadi ajang validasi sosial dalam masyarakat yang semakin visual dan konsumtif. Masyarakat visual cenderung menilai segala sesuatu dari apa yang tampak, seperti foto, video, atau tampilan luar di media.
Sementara itu, konsumtif berarti masyarakat yang semakin terdorong untuk mengonsumsi sesuatu bukan karena kebutuhan, namun demi pencitraan atau status. Contohnya, orang tua rela mengeluarkan jutaan rupiah untuk sewa baju toga dan paket foto profesional, hanya agar bisa diunggah di media sosial dan dianggap “sukses” sebagai orang tua.
Orang tua merasa terdorong untuk mengikuti tren ini bukan karena benar-benar yakin bahwa anak mereka telah mencapai sesuatu yang monumental, melainkan karena telah terlanjur mengeluarkan biaya yang mahal.
Dengan investasi untuk sewa toga, dokumentasi profesional, hingga pesta perayaan, wisuda berubah menjadi ajang pembuktian status dan pencitraan, bukan lagi bagian dari proses pendidikan yang bermakna. Dalam konteks ini, nilai edukatif tergeser oleh logika konsumsi, di mana keberhasilan ditampilkan lewat simbol, bukan melalui substansi pembelajaran.
Ketika sebuah simbol kesuksesan menjadi konsumsi publik, maka yang terbangun adalah pencitraan massal yang mereproduksi standar kesuksesan secara dangkal dan seragam.
Lebih jauh lagi, praktik ini menuntut partisipasi ekonomi yang tidak kecil. Biaya toga, dokumentasi, dekorasi, dan konsumsi memaksa keluarga dari berbagai lapisan ekonomi untuk turut serta demi menghindari rasa malu sosial.
Wisuda menjadi instrumen reproduksi ketimpangan sosial dalam konteks ini. Mereka yang mampu secara finansial akan tampil lebih menonjol, sementara yang tidak mampu akan dipinggirkan. Bahkan dalam ruang yang semestinya egaliter seperti pendidikan, simbol-simbol kesuksesan justru memperkuat stratifikasi.
Kompensasi Budaya dalam Wisuda
Fenomena ini juga dapat dilihat sebagai bentuk kompensasi budaya. Dalam sistem pendidikan yang sering kali belum mampu menjamin kualitas dan keadilan, simbol-simbol semu ini menawarkan kenyamanan psikologis bahwa setidaknya ada sesuatu yang bisa dirayakan.
Walau proses belajarnya masih awal, orang tua dan murid tetap merasa ada yang bisa dibanggakan. Wisuda menjadi momen untuk menciptakan ilusi keberhasilan. Mengenakan toga, naik panggung, dan difoto memberi rasa lega dan bangga.
Ketika pencapaian nyata sulit diraih karena sistem yang timpang, maka simbolisasi kesuksesan menjadi alat pengganti yang menenangkan. Wisuda TK hingga SMA/K menjadi ritual yang memberi ilusi bahwa semua anak mendapat kesempatan yang sama untuk berhasil.
Baca Juga: Dirikan 3 PAUD Gratis, Hera Handayani: ‘Cara Lain Cintai BTS’
Memaknai Ulang Kesuksesan
Apakah “sukses” itu lulus SMP dengan toga dan pesta? ataukah “sukses” itu ketika anak bisa berpikir kritis, memahami empati, dan tumbuh dalam keingintahuan?
Redefinisi ini bukan ajakan untuk menghapus perayaan, akan tetapi untuk menegosiasikan seremoni dari sekadar fokus pada simbol menjadi fokus pada proses. Daripada sekadar perayaan megah, bagaimana jika yang dirayakan adalah portofolio karya siswa, proyek pembelajaran, atau refleksi bersama guru dan orang tua tentang perkembangan anak?
Ilusi kesuksesan dalam praktik wisuda dari TK hingga SMA/K adalah cerminan bagaimana masyarakat mempersepsikan kesuksesan.
Namun, pendidikan yang sejati tidak bisa dibangun di atas panggung pencitraan. Ia membutuhkan kejujuran, proses yang mendalam, dan keberanian untuk melawan arus budaya yang berfokus pada praktik seremonial. Hanya dengan begitu, pendidikan dapat kembali ditempatkan sebagai alat pembebasan, bukan sekadar pementasan.
Jordy Satria Widodo, Dosen Kajian Sastra dan Budaya, Universitas Pakuan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
