Dukun Beranak: Dulu Jadi Tumpuan Ibu Melahirkan, Sekarang Tersisihkan
Kata dukun awalnya berarti orang yang memiliki keahlian medis, namun maknanya berubah menjadi peyoratif karena pemerintah kolonial.
Dukun sekarang ini identik dengan hal-hal yang berhubungan dengan hal-hal mistis dan ilmu hitam. Namun, baru-baru ini sejumlah dukun di Banyuwangi, Jawa Timur, ingin memaknai ulang profesi dukun dengan mendeklarasikan berdirinya Persatuan Dukun Nusantara (Perdanu).
Beranggotakan sejumlah tokoh agama, paranormal, dan ahli ilmu spiritual, Perdanu didirikan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat soal profesi dukun yang selama ini dianggap negatif, berbahaya, dan harus dijauhi. Padahal, dukun itu berarti seseorang dengan beragam keahlian.
“Kita segmentasikan keahlian dukun yang ada. Misalnya, pengobatan dari medis hingga nonmedis. Ada pula tentang psikologis, dari yang logis dan non-logis,” ujar salah seorang pendirinya seperti dikutip Detik.com.
Perdanu ramai dibicarakan di media sosial dan tak sedikit dari warganet yang mencemooh mereka dan menganggap mereka mau mempromosikan jasa santet gratis.
Makna Dukun Berubah Jadi Peyoratif
Meski banyak ditertawakan warganet, para anggota Perdanu tidak sepenuhnya keliru. Sejarawan dari Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Martina Safitry mengatakan, kata dukun sekarang ini memang mengalami penyempitan makna menjadi peyorasi. Hal itu, tidak terlepas dari pengaruh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berusaha untuk menggantikan hal-hal tradisional menjadi sesuatu yang berdasar pada ilmu pengetahuan, ujarnya.
“Dukun zaman dulu justru mengacu pada profesi yang dekat dengan masyarakat karena keahlian mereka di bidang kesehatan,” ujarnya kepada Magdalene.
Asal-usul kata dukun sendiri pernah ditulis oleh peneliti Inggris Jennifer Nourse, yang menemukan bahwa kata itu berasal dari bahasa Persia děhqn atau dukkan, yang memiliki kemampuan untuk mengobati.
“Jadi terminologi dukun itu justru disematkan untuk orang yang punya keahlian khusus atau pengobatan bukan berhubungan dengan magis,” ujarnya.
Baca juga: Pandemi Zaman Kolonial Hingga Kini, Kesehatan Ibu dan Anak Tetap Rentan
Istilah dukun di Nusantara mencakup beragam profesi, mulai dari dukun pijat, dukun jamu, dukun sunat, dukun kampung, dukun jiwa, sampai dengan dukun beranak. Seiring dengan masuknya pengobatan modern dari Barat, profesi dukun dipandang negatif oleh pemerintah kolonial yang menganggapnya tidak higienis dan tidak berdasar pada ilmu pengetahuan, kata Martina.
“Mereka menganggap dukun itu tidak ilmiah. Padahal, waktu mereka pertama kali ke Nusantara, mereka sebetulnya pakai pengobatan lokal kayak jamu-jamuan. Terus, mereka juga pakai dukun pijat karena belum banyak dokter yang datang. Dan dokternya terbatas kalangan Eropa dan pribumi yang kaya,” ujarnya.
Pandangan negatif pemerintah kolonial itu kemudian membuat dukun tak lagi dilihat dari segi keahliannya tapi dari aspek mistisnya semata. Hal ini, menurut Martina, terlihat dari kamus Inggris-Melayu Bowrey pada 1701 yang mendeskripsikan dukun sebagai ahli pengobatan dan sains. Setelah pemerintah kolonial masuk, dalam kamus Nederlandsch van Indie (1917), kata dukun hanya dideskripsikan sebagai orang yang punya kekuatan magis, bukan ahli kesehatan.
Kata dukun yang semakin peyoratif juga ditemukan dalam kamus Jawa (1934) sampai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang mengasosiasikan dukun dengan hal-hal magis saja, tambahnya.
“Jadi kata dukun di awal abad 19 itu maknanya sudah berbeda dengan dukun di awal abad 20. Bahkan, penyempitan makna itu juga terlihat dari karya sastra yang hanya menggambarkan unsur magisnya saja,” ujar Martina.
Dukun beranak punya kedekatan emosional yang dalam dengan masyarakat, karena tidak hanya membantu persalinan, tapi juga membantu ibu saat hamil serta merawat anaknya. Selain itu, dukun beranak juga tidak mematok tarif yang mahal sehingga bisa diakses semua kalangan.
Dukun Beranak Tumpuan Hidup Ibu Melahirkan
Salah satu jenis dukun yang punya peran lebih krusial di masyarakat dan kemudian dikerdilkan oleh pemerintah kolonial adalah dukun beranak.
Martina mengatakan, dukun beranak punya kedekatan emosional yang dalam dengan masyarakat karena tidak hanya membantu persalinan, tapi juga membantu ibu saat hamil serta merawat anaknya. Selain itu, dukun beranak juga tidak mematok tarif yang mahal sehingga bisa diakses semua kalangan.
Ilmu yang didapat oleh para dukun beranak tersebut berasal dari pengetahuan turun-temurun. Perlu waktu bertahun-tahun bagi mereka untuk belajar tentang proses melahirkan, sehingga sebagian besar dukun beranak sudah berusia lanjut. Pengalaman mereka yang sudah puluhan tahun membantu persalinan membuat banyak pihak tidak meragukan kapasitas mereka.
“Dulu memang dokter masih terbatas, dan enggak semua orang Belanda di Nusantara itu kaya. Jadinya, banyak juga yang pakai jasa dukun beranak, termasuk perempuan Eropa dan Indo,” ujar Martina.
Kecaman Dokter Belanda pada Dukun Beranak dan Pendirian Sekolah Bidan
Persepsi negatif pemerintah kolonial terhadap praktik dukun beranak terlihat dari salah satu catatan dokter Belanda bernama Van Buuren, yang meneliti praktik dukun beranak di Kediri, Jawa Tengah, pada akhir abad 19.
Buuren menulis bahwa semua proses persalinan yang dilakukan oleh dukun beranak sebagai sesuatu yang sangat berbahaya karena tidak didukung dengan alat-alat yang steril. Buuren bahkan meyebut para dukun beranak sebagai malaikat kematian yang tidak kompeten. Ia mengkritik kepercayaan dukun beranak yang menyebut bahwa saat melahirkan, sang ibu dilarang menjerit karena hamil adalah hasil dari berhubungan seksual yang dilakukan diam-diam.
Baca juga: Pelajaran dari Kehamilan Berisiko dan Depresi Pasca-Melahirkan
“Hasil penelitian Buuren ini sangat lekat dengan kacamata kolonial. Perspektifnya Barat banget yang memandang kalau pribumi itu jauh dari ilmu pengetahuan. Padahal, pengalaman dukun beranak itu sudah banyak sekali dan secara emosional membantu masyarakat,” ujar Martina.
Pada 1851, bersamaan dengan didirikannya School Tot Opleiding Van Inlands Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran, pemerintah kolonial juga mendirikan sekolah bidan di Jawa, dengan para pengajarnya yang dikirimkan langsung dari sekolah bidan di Amsterdam. Namun, menurut Martina, tidak banyak masyarakat yang mau menggunakan bidan karena pengalamannya yang tidak sebanding dengan dukun beranak, ujarnya.
“Sampai akhirnya tahun 1870an sekolah bidan ditutup karena muridnya sedikit dan lulusannya tidak banyak dipakai orang,” kata Martina.
Seiring dengan kampanye higienitas yang terus digalakkan pemerintah kolonial serta ilmu pengetahuan yang semakin maju, bidan mulai banyak diterima. Namun, pemerintah kolonial mulai sadar bahwa dukun beranak ini punya peran penting dalam masyarakat sehingga dilakukan pelatihan bagi dukun beranak. Pada 28 September 1930, diadakan konferensi dukun bayi pertama di Jawa.
“Walaupun ada upaya untuk pelatihan, dukunnya enggak banyak yang ikut, karena merasa pengalaman para bidan belum banyak. Lalu pemerintah Hindia-Belanda menugaskan dukun beranak menjadi asisten bidan,” ujar Martina.
Dukun Beranak Bantu Sosialisasi KB pada Masa Orde Baru
Saat Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKAI) dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) didirikan pada tahun 1950-an, masih banyak orang yang masih menggunakan jasa dukun beranak.
Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, Eka Ningtyas dalam artikel jurnal berjudul “Rationalization of Health in Java: A Historical Portrait of Dukun Bayi in Java to the Present” (2020), menulis bahwa kedekatan dukun beranak dengan masyarakat kelas bawah membuat mereka direkrut menjadi agen pemerintah untuk membantu program Keluarga Berencana (KB) pada masa Orde Baru.
Dukun beranak yang secara emosional punya hubungan erat dengan masyarakat seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai agen sosialisasi COVID-19, jika pemerintah mau menjangkau mereka.
Pelibatan mereka dalam program tersebut diharapkan akan membuat masyarakat lebih mudah mengerti dan mau menjadi akseptor KB. Tapi di sisi lain, banyak dukun beranak yang sadar bahwa KB akan memengaruhi pendapatan mereka karena menurunnya angka kelahiran.
Meski demikian, jumlah dukun beranak semakin banyak, menurut catatan Eka. Pada 1973, ada 62.570 dukun beranak di Indonesia. Puncaknya, pada 1979, hampir 80 persen kelahiran dibantu oleh dukun beranak. Jumlah dukun beranak terus bertambah sampai ke angka 200.000 pada 1989, tulisnya.
Angka itu kemudian merosot setelah era Reformasi, seiring dengan makin pesatnya ilmu pengetahuan dan sekolah dokter serta adanya klinik bidan di mana-mana.
Dukun Beranak Saat Kini Bisa Diperbantukan Atasi Pandemi
Bidan dari puskesmas Siliwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Ria Rafika Oktviani, mengatakan bahwa peraturan kemitraan paraji (dukun beranak) dengan bidan sebetulnya sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 828/2008 tentang petunjuk teknis standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten/kota.
Namun, hambatan terbesar puskesmas adalah sulitnya pendekatan kepada paraji di daerahnya yang masih resistan terhadap bidan.
Ria sendiri mengakui pentingnya peran dukun beranak dalam masyarakat karena penanganan persalinan yang dilakukan secara humanis.
“Kebanyakan memang ibu yang memilih ke paraji karena mereka ini merasa disayang ya. Kalau lagi kontraksi biasanya dipijat dulu, didoakan, atau dipakein apa gitu. Makanya suka ada anggapan kalau bidan ini judes pas lagi membantu melahirkan. Padahal, ya, namanya bidan harus nyatet sana sini gimana perkembangan si ibu dan bayi,” kata Ria.
Baca juga: ‘Pieces of a Woman’ dan Agensi Perempuan Usai Persalinan
Dokter umum dari layanan telekonsultasi Good Doctor, Sandra Suryadana mengatakan, keberadaan dukun beranak tetap penting, terutama bagi perempuan di daerah yang tidak bisa dijangkau oleh pemerintah.
“Kalau ada anggapan dukun beranak ini berbahaya, saya rasa itu tidak benar, karena obat-obat herbal yang mereka buat itu juga bisa diuji secara ilmiah. Mereka juga bisa membantu ibu secara psikologis atau spiritual,” ujar Sandra, yang juga penggagas kolektif Dokter Tanpa Stigma.
“Sekarang ini obat-obatan dan dokter itu mahal dan hanya bisa diakses oleh orang menengah ke atas. Kalau dukun beranak itu penduduk asli, misalnya, mereka punya perspektif kearifan lokal,” ia menambahkan.
Sandra merekomendasikan adanya kolaborasi antara tenaga kesehatan daerah seperti puskesmas dan dukun beranak di tingkat daerah, agar mereka punya relasi yang erat dan tidak seolah sedang berkompetisi antara tradisional dan ilmiah.
Selain itu, menurutnya, dukun beranak yang secara emosional punya hubungan erat dengan masyarakat harusnya bisa dimanfaatkan sebagai agen sosialisasi COVID-19, jika pemerintah mau menjangkau mereka.
“Sayang kalau peran mereka mau disingkirkan karena dianggap ketinggalan zaman atau apa. Mereka itu sangat dihormati di masyarakatnya sendiri, terutama di daerah terpencil. Mereka bisa menjadi senjata untuk memberi informasi kepada masyarakat yang tidak terjangkau arus informasi utama seperti berita dan sosial media,” ujar Sandra.
Ilustrasi header: Sarah Arifin