Safe Space

Kebijakan Anti-LGBT di FT UGM: Teror Baru Rasa Orba

Penerbitan surat edaran di FT UGM tentang LGBT adalah pelanggaran HAM yang serius.

Avatar
  • December 22, 2023
  • 5 min read
  • 1333 Views
Kebijakan Anti-LGBT di FT UGM: Teror Baru Rasa Orba

Pada (1/12), Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM) menerbitkan Surat Edaran Nomor 2480112/UN1/FTK/I/KM/2023. Isinya melarang aktivitas dan ekspresi LGBT di lingkungan fakultas itu. Mereka yang melanggar karena berperilaku atau menyebarkan paham, pemikiran, sikap, atau perilaku mendukung LGBT bakal dikenai sanksi. Ini berlaku buat seluruh warga kampus, baik dosen, karyawan, atau mahasiswa.

Sontak publik bergejolak. Sejumlah aktivis termasuk yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS) menyebut, surat edaran ini adalah ancaman serius. Dalam rilis resmi yang diterima Magdalene, edaran tersebut adalah wujud pelanggaran hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan berekspresi yang dijamin di Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945, terkhusus yang tercermin di dalam Pasal 27, 28, dan 31.

 

 

“Kondisi ini mengecewakan, terutama melihat kampus harusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk mengenyam pendidikan. Ini juga turut menggambarkan kegagalan negara dalam merespons praktik diskriminatif oleh institusi pendidikan,” ujar KOMPAKS.

Dalam konteks pendidikan, imbuh KOMPAKS, kebebasan berekspresi penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran dan perkembangan pribadi serta profesional. “Ketika institusi pendidikan membatasi kebebasan ini, mereka tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menghambat perkembangan intelektual dan emosional mahasiswa, dan oleh karenanya juga inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD RI 1945.”

Baca juga: Akademisi Anti-LGBT Tebar Prasangka dan Kebencian di Pendidikan Tinggi

Terjadi Berulang

Sebenarnya edaran di FT UGM ini bukan kali pertama kelompok LGBT direpresi. Pada Agustus 2021, webinar tentang LGBT yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair dibatalkan saat hari-H. Dalihnya, karena satu dan lain hal.

Jauh sebelum itu, di UGM, diskusi yang menghadirkan feminis LGBT sekaligus penulis buku “Allah, Liberty and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan”, Irshad Manji juga harus balik kanan pada 2012.

Di UNDIP Semarang, dilansir dari Tempo, Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan Fakultas Hukum juga gagal menggelar diskusi dengan tema LGBT pada 2015. Kegagalan itu akibat pelarangan yang dilakukan dekanat karena mendapat tekanan dari ormas tertentu. Di tahun yang sama, BEM Fisip Universitas Brawijaya Malang juga terpaksa membatalkan diskusi tentang LGBT. Alasannya lebih ngeri-ngeri sedap: Mereka diteror lewat pesan pendek anonim. Di Jakarta pada 2016, UI juga meminta diskusi oleh Support Group & Resource Center on Sexuality (SGRC) dibatalkan.

Baca juga: Ruang Aman Internet adalah Hak Semua Bangsa, Kecuali LGBTQIA+

Pembungkaman Wacana Kritis Rasa Orba

Dilansir dari The Conversation, pembungkaman kritisisme dan inklusifitas di lingkungan kampus sebenarnya enggak baru-baru amat. Di era Orde Baru, Presiden Soeharto acap kali membatasi segala diskusi tentang demokrasi dan hak asasi manusia, Marxisme-Leninisme dan pikiran-pikiran Soekarno, golongan etnis Tionghoa, dan Partai Komunis Indonesia.

Topik semacam itu dianggap terlalu tabu dibicarakan karena “kritis” dan “sensitif”. Bahkan di era itu, pembungkaman dilakukan secara sistematis lewat berbagai kebijakan negara termasuk Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/ BKK). Penabuan topik tertentu terus berlanjut di era kiwari.

Hal ini terjadi karena kampus dari dulu memang tak punya tradisi kebebasan akademik. Dalam konteks pembungkaman wacana kritis tentang LGBT, tak sekadar diskusi yang dibungkam tapi juga larangan mahasiswa untuk mengangkat topik ini di dalam karya skripsi mereka, tulis The Conversation.

Baca juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu

Ramai-ramai Menuntut

Berangkat dari sini, KOMPAKS melihat diperlukan komitmen politik humanis yang kuat dari pemerintah untuk menjamin hak-hak warga negaranya atas pendidikan, pekerjaan, dan perlindungan, termasuk di dalamnya bagi individu LGBT yang sedang mengenyam pendidikan tinggi. Kebijakan dan praktik diskriminatif di lingkungan pendidikan harus diidentifikasi dan dihilangkan, sehingga tidak menyebabkan kekerasan-kekerasan lainnya, ataupun melanggengkan kekerasan yang sedang berlangsung.

Elsa, anggota KOMPAKS yang berfokus di isu SOGIESC bilang, “Kampus harus menjadi tempat di mana semua individu, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender mereka, dapat merasa aman, dihormati, dan memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil. Pendekatan ini tidak hanya tentang menghilangkan diskriminasi, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang positif dan mendukung, di mana keberagaman dan perbedaan dihargai sebagai kekuatan.”

Senada, Ellen Kusuma, Koordinator KOMPAKS menuturkan, “Pendekatan humanis harus diutamakan daripada penerbitan kebijakan yang diskriminatif dan hanya akan menciptakan dan melanggengkan kekerasan pada kelompok yang sudah rentan. Apalagi ini di ranah pendidikan tinggi yang sudah seharusnya berfokus pada mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia berpegang pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menyuarakan persatuan dalam keberagaman.”

Menyikapi itu, KOMPAKS mendorong:

  1. Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada untuk mencabut Surat Edaran Nomor 2480112/UN1/FTK/I/KM/2023 yang diskriminatif tersebut;
  2. Tiap pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di segala level Perguruan Tinggi untuk membangun kebijakan yang inklusif dan non-diskriminatif, dalam hal ini termasuk kebijakan yang berfokus pada keilmuan akademis di ranah pendidikan; 
  3. Tiap-tiap pihak dalam Perguruan Tinggi bisa saling menghargai, menghormati, dan menjaga kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi setiap sivitas akademika untuk menuntut ilmu apapun identitasnya; 
  4. Perguruan tinggi untuk menjadi ruang aman dari sikap diskriminasi, kekerasan, perundungan, dan intoleransi; 
  5. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk memastikan terjaminnya hak atas pendidikan dan pekerjaan setiap orang di lingkungan pendidikan tinggi dengan melakukan upaya pencegahan, penanganan, dan pemantauan kasus diskriminasi dan kekerasan berbasis gender dan seksual; dan
  6. Pemerintah dan DPR untuk segera menyusun hukum dan kebijakan anti diskriminasi yang komprehensif yang dapat melindungi semua kelompok rentan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Magdalene