Berita-berita mengenai mahasiswa yang bunuh diri dan riset mengenai masalah psikologis yang kerap menghinggapi kalangan ini terus bermunculan. Salah satu berita terbaru datang dari Samarinda, Kalimantan Timur Juli lalu. Dilansir Kompas.com, seorang mahasiswa gantung diri, diduga karena depresi akibat kuliahnya yang telah berlangsung tujuh tahun tidak kunjung selesai.
Dalam sebuah penelitian yang disebutkan di situs Higher Education Today yang dikelola American Council on Education, dinyatakan bahwa tiga dari lima mahasiswa mengalami kecemasan berlebihan, dan dua dari lima mahasiswa merasakan depresi sehingga sulit beraktivitas sehari-hari. Kendati demikian, hanya sedikit (sekitar 10-15 persen secara rata-rata) mahasiswa yang mencari pertolongan ke biro konseling di tempat mereka.
Kurangnya kesadaran mahasiswa untuk mencari bantuan ke profesional psikologi bisa dipengaruhi salah satunya oleh pandangan miring seputar isu kesehatan mental di masyarakat dan keterbatasan informasi untuk mencari bantuan.
“Ini sebenarnya cerminan pandangan masyarakat secara umum karena mahasiswa bagian dari masyarakat juga. Mereka sering kali lebih menganggap penting masalah kesehatan fisik, sementara masalah kesehatan mental bisa diselesaikan sendiri. Lalu, kalau kita bicara isu kesehatan mental yang serius, masih ada pemahaman yang salah dan stigma,” kata Dicky Pelupessy, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Padahal menurut Dicky, isu kesehatan mental tidak boleh luput dari perhatian karena mempengaruhi performa mahasiswa dalam perkuliahan sehari-hari. Seperti halnya saat bermasalah secara fisik, masalah psikologis mahasiswa akan membuat pengalaman belajar mahasiswa kurang optimal.
Inisiatif di lingkungan kampus
Adanya berita dan data mengenai masalah kesehatan mental mahasiswa mendorong sejumlah kelompok mahasiswa untuk menginisiasi gerakan yang mengampanyekan kesadaran akan isu tersebut. Salah satunya adalah UI Sehat Mental yang dijalankan Departemen Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Gerakan ini dilakukan baik secara daring melalui media sosial maupun lewat penyelenggaraan acara seperti seminar dan pelatihan, acara kreatif, serta roadshow ke fakultas-fakultas.
Baca juga: Saat Curhat, Pedulikan Juga Kesehatan Mental Lawan Bicara
Menurut Hanun Thalia, Project Officer UI Sehat Mental, inisiatif membentuk gerakan ini muncul pada tahun 2018, menyusul hasil penelitian BEM Psikologi yang menunjukkan bahwa dua dari tiga mahasiswa UI mengalami psychological distress tinggi. Hal itu diperparah dengan kurangnya pengetahuan mahasiswa akan pentingnya kesehatan mental dan minimnya psikoedukasi di lingkungan kampus. Meski UI memiliki layanan konseling yang disediakan pihak universitas, masih banyak mahasiswa yang belum mengetahuinya.
Permasalahan ini ditemukan pula di kampus lain seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), yang terlebih lagi tidak memiliki Fakultas Psikologi sehingga kesadaran soal kesehatan mental juga kurang.
“Di lain sisi, kami merasa makin lama isu kesehatan mental makin merebak di mana-mana. Akhirnya kami membuat wadah supaya orang bisa merasa secure dan mulai sadar akan isu ini,” ujar ujar Dyah Annisa Putri, Wakil Menteri Kementerian Edukasi dan Pendampingan Kesehatan Mental Keluarga Mahasiswa ITB.
Mahasiswi jurusan Teknik Kelautan ini mengatakan, baru tahun ini kementerian edukasi dibentuk, dan salah satu programnya adalah Ganesha Mental Care, yang lewat akunnya memberikan edukasi seputar isu kesehatan mental, tidak hanya yang terkait gangguan mental berat, tetapi juga masalah keseharian seperti kecemasan.
Edukasi seputar kesehatan mental di lingkungan kampus juga dilakukan oleh Gerakan Sehat Mental Undip (GSM Undip) yang dijalankan oleh BEM Psikologi Universitas Diponegoro. Menurut Yanuarisca, inisiator GSM Undip, aktivisme ini didorong oleh ketiadaan kegiatan penyadaran isu kesehatan mental di kampusnya, sementara aktivisme serupa telah lebih dulu dijalankan sejak 2016 dengan sasaran masyarakat umum.
“Sejak 2016, BEM Psikologi telah memberikan psikoedukasi kepada masyarakat. Lalu kami sadar, kami ngasih edukasi ke publik, tapi Undip sendiri enggak kita perhatikan,” ujar mahasiswi Psikologi angkatan 2018 ini.
Yanuarisca menambahkan, di akun media sosial lain yang terafiliasi dengan Undip, mulai banyak mahasiswa yang mengaku pernah mau bunuh diri, menyakiti diri, sedang dirundung atau terjebak dalam toxic relationship. Adanya pengakuan-pengakuan ini menambah urgensi untuk membuat aktivisme di lingkungan kampusnya sehingga pada 2019, GSM Undip dibentuk.
Baca juga: Jangan Tekan Kecemasan: Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Krisis Corona
“Tahun itu juga, ada kasus pelecehan mahasiswa oleh dosen di salah satu fakultas di Undip. Jadi, itu sih titik puncaknya, kami harus banget gerak, bikin platform dan keliling fakultas untuk isu kesehatan mental di Undip,” kata Yanuarisca.
Dicky Pelupessy menilai, munculnya gerakan-gerakan mahasiswa semacam ini merupakan hal yang positif karena menjadi langkah awal untuk membuat mahasiswa terbuka dan membicarakan masalah kesehatan mentalnya dan mencari pertolongan.
“Dalam kasus ekstrem, orang sekitar penderita bilang ‘Saya enggak pernah lihat, enggak pernah menyadari kalau dia butuh bantuan’ karena dia enggak pernah bilang I need help,” kata Dicky.
Konseling dengan teman sebaya
Baik UI Sehat Mental maupun GSM Undip memfasilitasi mahasiswa kampus masing-masing untuk mengakses layanan peer counseling atau konsultasi dengan teman sebaya. Layanan peer counseling tidak dilakukan oleh sembarang orang. Di Undip, layanan ini diberikan oleh mahasiswa-mahasiswa Psikologi tingkat akhir yang telah melalui mata kuliah Psikologi Konseling dan telah diberi pelatihan oleh dosen-dosen Psikologi secara langsung. Tahun lalu dalam seminggu, rata-rata ada lima sampai enam mahasiswa yang melakukan peer counseling dengan mahasiswa Psikologi Undip.
“Sekarang jumlah konselornya bertambah jadi 10, sementara tahun lalu tujuh. Ini karena kebutuhan dari mahasiswa macam-macam fakultas bertambah,” kata Yanuarisca.
Kendati sekarang belum membuka layanan peer counseling, Kementerian Edukasi dan Pendampingan Kesehatan Mental ITB berencana untuk membuat fasilitas ini, bekerja sama dengan Bimbingan Konseling ITB dan psikiater dari Rumah Sakit Melinda 2, Bandung.
Bagi Dicky, peer counseling dalam aktivisme mahasiswa dapat dipandang sebagai semacam pertolongan pertama ketika seseorang mengalami masalah mental.
“Masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental ada tingkatan-tingkatannya. Peer counselor ini nanti yang menilai level keseriusan masalah mental mahasiswa, apakah cukup ditangani oleh teman bicara atau harus mengakses layanan yang lebih profesional. Yang jelas mereka harus paham mekanisme rujukan dalam penanganan masalah kesehatan mental,” kata Dicky.
Baca juga: 5 Akun Instagram Bermanfaat Soal Kesehatan Mental
Tantangan dan strategi
Dalam aktivisimenya, UI Sehat Mental bekerja sama dengan beberapa pihak seperti psikiater, GSM Undip, dan akun Instagram @satupersenofficial yang juga melakukan aktivisme kesehatan mental. Mereka juga mendukung gerakan lain yang berhubungan dengan aktivisme mereka seperti UI Gerak Bersama, sebuah gerakan promotif melawan kekerasan seksual di mana mereka berkontribusi dengan membuat unggahan dampak psikologis yang dialami korban kekerasan seksual.
Sedangkan Ganesha Mental Care pernah bekerja sama dengan akun @kitaberkisah dalam menyelenggarakan peer counseling per grup kecil. Dalam grup itulah orang-orang bisa melakukan curhat sebagai langkah awal pencarian bantuan psikis mereka.
Walaupun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental telah mengemuka dan respons positif sebagian mahasiswa berdatangan, gerakan-gerakan ini masih menghadapi sejumlah kendala dalam melakukan aktivismenya.
Dyah mengatakan selama pandemi, ekskalasi penyadaran kesehatan mental menjadi lebih terbatas.
“Orang-orang megang handphone, tapi enggak semuanya memperhatikan kampanye kami. Kegiatan kami juga terbatas pada webinar atau games di Instagram,” kata dia.
Hanun dari UI menyatakan bahwa mereka dituntut untuk lebih adaptif dan inovatif dalam menyampaikan pesan kampanye dengan segala keterbatasan yang ada, dengan cara yang mudah dipahami.
Sementara menurut Yanuarisca, terbatasnya pertemuan tatap muka berpengaruh terhadap proses konseling.
“Untuk aktivitas seperti ini kan kita harus melibatkan beberapa aspek: Aspek kognisi, dari materinya; Aspek afeksi, cara penyampaiannya (heart to heart); dan body language yang membuat mereka nyaman dan cerita. Nah, di sini komunikasi nonverbalnya enggak ada,” kata Yanuarisca.
Selain itu, sebagai mahasiswa, mereka juga masih kesulitan dalam mengatur jadwal aktivisme dan kuliah. Ada juga resistensi dari mahasiswa saat mereka bermaksud menyebarkan edukasi.
“Yang bisa kami lakukan adalah memberi kartu yang isinya akun Instagram GSM Undip dan ID Line peer counselor. Kalau butuh konseling, bisa secara online dan anonim. Semuanya dilindungi dan dirahasiakan sesuai kode etik psikologi,” ujar Yanuarisca.