Ibu Bumi dan Domestifikasi Perempuan di Tengah Melambungnya Harga Beras
Di mana para lelaki saat perempuan sibuk antre beras hingga pingsan di tengah kelangkaan pangan?
Hari Ketiga Ramadan, sejumlah harga komoditas pangan masih terus mengalami kenaikan. Khususnya komoditi beras yang harganya mencapai Rp18.000 per kg. Tempo menulis, harga pangan ramai melambung karena Presiden Jokowi gencar membagikan bantuan sosial (bansos) di akhir masa kampanye Pemilu 2024.
Selain kebijakan bansos Jokowi, ahli pertanian dari Universitas Lampung Bustanul Arifin yang diwawancarai BBC Indonesia menuturkan, harga beras terkerek karena produksi padi mengerut satu juta ton tahun lalu buntut El Nino. Di saat bersamaan, ada faktor ekonomi beras global yang dipicu larangan ekspor Perdana Menteri Narendra Modi yang tengah menghadapi Pemilu pada 2024.
Baca juga: Yang Terjadi Jika Harga Kebutuhan Sehari-hari Naik
Lepas dari penyebab kenaikan harga beras dan sembako lainnya, kenaikan harga beras yang terjadi hampir di semua wilayah Indonesia mengakibatkan banyak perempuan rela antre dan berdesak-desakan. Di Pasuruan, Jawa Timur, beberapa minggu lalu, sejumah anak terpisah dari ibunya saat melakukan antre beras murah. Kejadian serupa juga terjadi di Bandung dan Sumedang, Jawa Barat di mana ibu dan nenek-nenek pingsan karena kelelahan saat antre.
Pertanyaannya, kenapa mayoritas cuma perempuan yang sibuk mengantre? Di mana para lelaki dalam rumah tangga? Hal ini semakin menjustifikasi bahwa perempuan memang dikonstruksikan memegang peranan domestik, yang lekat dengan urusan dapur termasuk menjaga ketersediaan pangan.
Buktinya setiap kali terjadi krisis kelangkaan pangan, kerap kali perempuan yang harus berpikir keras untuk berburu alternatif. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan dan program-program pemerintah yang tak berperspektif gender. Selain tak memikirkan nasib para perempuan, mereka juga sering dikecualikan dari proses pengambilan keputusan. Bahkan saat bicara urusan perut di rumah tangga sekali pun.
Baca juga: Dear Megawati, Ibu-ibu Tak Cuma Menggoreng tapi juga Turun ke Jalan
Metafora Ibu Bumi
Bicara pangan dan perempuan, kita sering kali mendengar metafora Ibu bumi. Maksudnya, Bumi telah memberikan banyak hal kepada manusia, dari papan, sandang, pangan dengan ikhlas. Hal itu mirip seperti sosok ibu yang rela berkorban demi melahirkan, merawat anak, dan membesarkannya.
Aurora Ponda menjelaskan ini dalam buku “Asal-usul Ekofeminisme: Budaya Patriarki dan Sejarah Feminisasi Alam” (2021). Ia bilang ada pemandangan unik pada rumah adat di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende. Bagi warga setempat, rumah adalah rahim ibu yang membuat penghuninya merasakan hangat dan terlindungi. Dalam artikel “Metafora Ibu Bumi dalam Perspektif Ekofeminisme” (2021) diuraikan, di setiap kanan kiri pintu utama rumah adat di sana, terdapat lambang sepasang payudara perempuan. Hal ini semakin menguatkan kesan bahwa cuma perempuan yang bertanggung jawab menjaga rumah.
Dalam artikel yang sama, penulis Bintu Assyantthie menerangkan, Bumi juga diidentikkan dengan perempuan yang dianggap sebagai objek lemah dan tertindas. Dalam konteks kenaikan harga beras, perempuan ibarat alam yang menjadi objek yang lemah dan menjadi korban atas kebijakan yang tidak ramah gender.
Baca juga: Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan
Lantas, mengapa perempuan dibebankan tugas sebagai pemelihara alam tunggal? Jawabannya adalah konstruksi sosial yang memang menciptakan peran gender itu. Dalam artikel Magdalene ini disebutkan, perempuan dalam kultur dan struktur masyarakat patriarki mendapatkan beban utama pada pekerjaan rumah tangga. Perempuan dinaturalisasikan dengan tugas memasak, mencuci, mengasuh anak, dan mengurus rumah. Alhasil, secara tidak langsung perempuan berada pada posisi penyedia kebutuhan.
Lebih lanjut, artikel itu juga menjelaskan, perempuan dalam struktur kehidupan masyarakat patriarki, terutama dalam lembaga keluarga, juga berperan sebagai poros. Perempuan dituntut untuk menyediakan segala kebutuhan, menopang keluarga dan menopang kehidupan. Perempuan tidak hanya mengumpulkan apa yang tumbuh di alam, tetapi membuat segala sesuatu menjadi tumbuh. Entah bagaimana caranya.
Karena itulah dari perspektif ekofeminisme, kenaikan harga pangan hampir selalu menekan perempuan sedemikian rupa. Pertanyaannya, apakah pemerintah akan melakukan sesuatu atau seperti biasa, diam dan tidak hadir?