Culture Screen Raves

Enola Holmes, Judith Shakespeare, dan Petualangan Perempuan

Enola Holmes, seperti Judih Shakespeare, adalah karakter perempuan pintar yang sulit berkembang meski sebrilian abang-abangnya.

Avatar
  • October 2, 2020
  • 4 min read
  • 1343 Views
Enola Holmes, Judith Shakespeare, dan Petualangan Perempuan

Karakter Enola Holmes dalam film Netflix berjudul sama mengingatkan saya pada Judith Shakespeare, tokoh imajiner dalam buku Virginia Woolf bertajuk A Room of One’s Own. Keduanya berotak brilian, pemberani, dengan rasa ingin tahu yang tinggi, dan suka petualangan. Dan keduanya ada dalam bayang-bayang kakak laki-laki yang merupakan tokoh besar. Judith adalah adik penyair legendaris William Shakespeare, sementara abang Enola adalah detektif kondang di Inggris, Sherlock Holmes.

Karakter Judith dibuat oleh Woolf pada abad ke-19 sebagai sebuah kritik satir untuk menunjukkan jika perempuan dengan bakat menulis seperti William, mereka akan sulit mencapai kesuksesan yang sama di tengah masyarakat patriarkal. Saat William bisa fokus berkarya dan kemudian terkenal, Judith mendapat tekanan untuk menikah dari keluarganya. Ia harus kabur ke London untuk menggapai cita-citanya.

 

 

Enola Holmes (Millie Bobby Brown) juga melarikan diri ke London dan menjadi detektif versinya sendiri untuk mencari sang ibu, Eudoria (Helena Bonham Carter), yang menghilang. Kaburnya Enola adalah bentuk pemberontakan terhadap kakak lelaki tertuanya, Mycroft Holmes (Sam Claflin), yang memaksanya masuk ke Finishing School—sekolah khusus perempuan muda agar mengerti adab kelas menengah atas sebagai seorang “lady”.

Baca juga: ‘Anne with an E’, Serial Berlatar Abad 19 dengan Isu yang Masih Relevan

Meski mirip, kisah Enola Holmes tidak dibuat berakhir tragis seperti Judith Shakespeare, yang pada akhirnya bunuh diri karena cita-citanya yang tidak terwujud. Enola punya kehidupan yang mungkin diimpikan Judith. Ia paling tidak tumbuh menjadi pribadi yang bebas karena dibesarkan oleh seorang ibu feminis yang intelek.

Diadaptasi dari novel Enola Holmes Mysteries karya Nancy Springer, cerita Enola Holmes yang disutradarai Harry Bradbeer diawali dengan kehidupan Enola berdua Eudoria, menyusul kematian sang ayah dan kepergian dua abangnya, Mycroft dan Sherlock (Henry Cavill).

Eudoria membekali Enola dengan berbagai macam pengetahuan, dari mulai sastra dan permainan kata, sampai sains, sejarah, feminisme, dan bela diri. Sang ibu bahkan memberi nama Enola, alias “Alone” jika dieja dari belakang, supaya ia tumbuh menjadi perempuan yang independen dan tidak terjebak dalam aturan normatif masyarakat. Ibunya selalu menekankan bahwa Enola bisa menjadi apa saja.

Dua abang beda karakter

Hidup Enola berubah tepat di hari ulang tahunnya yang ke-16, saat ia mendapati Eudoria menghilang tanpa jejak. Ia meminta tolong kedua abangnya untuk membantu menemukan ibu mereka itu. Namun, alih-alih membantu Enola, Mycroft justru berambisi “mendisiplinkan” adiknya yang dianggapnya tidak berpendidikan, berpakaian serampangan, dan tidak sopan karena tidak mendapatkan pendidikan formal.

Baca juga: ‘The Half of It’: Bukan Kisah Cinta yang Diidamkan Semua Orang

Enola kemudian bertemu dengan bangsawan muda The Viscount Tewkesbury, Marquess of Basilwether, yang juga tengah berada dalam pelarian dari keluarganya karena tidak mau masuk militer. Sosok Tewkesbury menjadi krusial karena ia diplot untuk mewarisi gelar dan kursi ayahnya di parlemen. Namun paman dan neneknya yang serakah menyabotase itu dan mengirimkan pembunuh bayaran untuk Tewkesbury. Petualangan Enola yang ingin melindungi teman barunya itu menjadi plot yang lebih seru dan menantang dibandingkan dengan perjalanan mencari ibunya.

Sementara itu, Sherlock terus mengamati Enola dari jauh. Menarik melihat penggambaran karakter Sherlock di film ini, yang menampilkan sisi emosionalnya, bukan hanya detektif jenius berhati dingin dan cuek. Ia membela adik perempuannya itu di hadapan Mycroft, karena melihat bakat dan kepintaran adiknya itu. Meski tidak pernah secara gamblang memperlihatkan dukungannya pada Enola, Sherlock selalu memberikan perhatian dan perlindungan.

Baca juga: ‘Miss Americana’ Tampilkan Sisi Gelap Kehidupan Taylor Swift

Sayangnya, penggambaran karakter Sherlock yang lebih berempati itu malah ditentang habis oleh ahli waris penulis cerita Sherlock Holmes, Conan Doyle Estate. Juni lalu, pihak ahli waris mengajukan gugatan di AS terhadap Netflix dan Nancy Springer, yang dianggap menyalahi hak cipta karakter Sherlock Holmes karena menampilkan sisinya yang emosional.

Ini memang bukan tipikal film Sherlock Holmes yang tegang dan serius, tapi seru dan jenaka, sehingga lebih mudah menjangkau penonton yang lebih luas. Konflik yang terjadi pun lebih kontekstual, seperti Eudoria yang ternyata terlibat dalam gerakan politik untuk menuntut hak perempuan untuk memilih. Latar film di tahun 1880an memang merupakan periode kebangkitan gerakan feminisme di Inggris yang menuntut hak politiknya.

Meski temanya “berat”, film ini lebih mudah dicerna, terutama karena Enola kerap kali bermonolog sambil menanyakan pendapat penonton (breaking the fourth wall). Salah satu monolognya yang paling berkesan adalah sebagai berikut, yang akan saya sampaikan jika punya anak perempuan nanti:

 “..but I now see that being alone doesn’t mean I have to be lonely. Mother never wanted that. She wanted me to find my freedom, my future, my purpose. My life is my own, and the future is up to us.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Siti Parhani

Hani adalah seorang storyteller dan digital marketer. Terlepas dari pekerjaannya, Hani sebetulnya punya love-hate relationship dengan media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *