Dear Menteri Fadli Zon, Empati Bukan Opsional bagi Korban Kekerasan Seksual
(Peringatan pemicu: Memuat peristiwa kekerasan seksual)
Saya gelisah saat membaca kabar dari kanal aktivis perempuan tentang sebuah cuplikan video—hanya 1 menit 10 detik—wawancara Uni Lubis dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon di kanal YouTube IDN Times. Dalam video berjudul “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah”, pada menit ke-15.20, Fadli Zon menyatakan:
“Ada pemerkosaan massal? Betul enggak, ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada. Nah, rumor-rumor seperti itu, menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan.”
Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, segera menyanggah dengan menyebut keberadaan tim pencari fakta tragedi Mei 1998. Namun, Fadli Zon tetap menegaskan bahwa sejarah harus “mempersatukan bangsa” dan tidak dibangun atas dasar “rumor”. Ujaran yang terasa begitu dingin, seakan kerja tim pencari fakta adalah mengumpulkan rumor dan cerita-cerita belaka, bukan fakta sejarah.
Sebagai pendamping korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan penyintas kekerasan seksual, pernyataan seperti ini memicu trauma sekunder dan menggores luka lama. Narasi “tidak ada bukti maka tidak terjadi” adalah bentuk nyata dari budaya menyalahkan korban.
Baca juga: Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM
Ketiadaan bukti bukan berarti tidak terjadi
Pandangan bahwa kekerasan seksual hanya sah diakui jika ada “fakta keras” atau “proof” memperlihatkan betapa sistem hukum kita masih menyandarkan keadilan pada standar yang menyulitkan korban. Tubuh korban menjadi satu-satunya “Tempat Kejadian Perkara (TKP)”, namun kerap tak dianggap cukup. Proses hukum pun menuntut korban membuka kembali luka dengan narasi yang sahih, bahkan ketika institusi hukum sendiri belum tentu berpihak.
Kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Mereka dipaksa hidup dalam tubuh yang menjadi TKP dari tindakan itu. Tidak mudah bagi korban untuk “menyerahkan” tubuhnya sebagai barang bukti demi melalui proses hukum yang panjang, rumit, dan kerap tidak berpihak. Di pengadilan, tubuh dan pengalaman korban kembali “dibedah” lewat pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan, memaksa mereka menghidupkan ulang peristiwa traumatis itu dalam ingatan. Itu pun jika laporan mereka ditanggapi dengan serius oleh aparat penegak hukum.
Belum lagi jika kasusnya masuk ke ruang digital, diperiksa oleh warganet layaknya pemangsa yang mencari celah untuk menyerang, dengan dalih moralitas dan tuntutan pada korban untuk menjadi “the perfect victim”.
Saya teringat salah satu sesi pelatihan bersama pihak kepolisian pada akhir 2021, saat mewakili organisasi saya sebelumnya yang bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Seorang anggota polisi dari Jawa Barat menceritakan penanganan kasus begal payudara: tidak ada bekas luka, tidak ada CCTV, tidak ada saksi, dan korban tidak ingat pelat nomor pelaku. Akibatnya, laporan tersebut tidak bisa diproses. Namun jelas, ketiadaan barang bukti tidak serta-merta berarti kejadian itu tidak terjadi.
Kisah ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita belum siap mengakomodasi kerentanan korban kekerasan seksual, apalagi menghadirkan keadilan yang sesungguhnya.
Baca juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional
Cerita bukan antitesis dari fakta
Saya sendiri mengalami kekerasan seksual fisik di awal 2010-an. Bukan pemerkosaan, tapi penggerayangan yang saat itu belum saya kenali sebagai kekerasan. Saya memberikan gestur penolakan, tapi tak tahu harus menyebutnya apa. Butuh waktu bertahun-tahun sampai saya menyadari: saya adalah korban sekaligus penyintas.
Apa saya punya bukti? Tidak. Yang saya punya adalah cerita. Tapi cerita itu nyata, dan ingatan saya jelas. Kalau mengikuti logika Fadli Zon, kejadian itu tak akan pernah sah diakui. Padahal, banyak perempuan lain menyimpan cerita yang sama dan menyimpannya dalam diam karena takut ditolak, dipertanyakan, atau dianggap “hanya cerita”.
Mungkin jika tulisan ini sampai ke Fadli Zon, ia akan berdalih, “Itu pengalaman pribadi, sedangkan saya bicara sejarah.” Tapi sejarah tidak dibentuk dari arsip formal semata. Sejarah dibentuk dari suara-suara kolektif, termasuk kesaksian korban yang tak terdokumentasi secara resmi, tapi hidup dalam ingatan masyarakat.
Fadli Zon, sebagai alumni Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, seharusnya paham bahwa budaya tidak dibangun oleh negara saja. Kebudayaan adalah milik masyarakat, dan sejarah adalah bagian dari narasi bersama, bukan milik negara, apalagi satu kementerian.
Kerusuhan Mei 1998 dan pemerkosaan massal adalah bagian dari sejarah Indonesia. Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah menerbitkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta yang memuat bukti dan kesaksian. Menyangkalnya adalah bentuk penghapusan sejarah dan penyingkiran korban dari ruang publik.
Baca juga: Proyek Revisi Sejarah Indonesia: Percuma Jika Masih Ditulis Penguasa
Mungkin Fadli Zon memang belum memahami kompleksitas kekerasan seksual, sehingga opininya terdengar nir-empati. Di negara ini, memang masih banyak yang belum tahu bagaimana seharusnya merespons kekerasan seksual, baik pada level individu maupun kebijakan negara. Kalau memang belum paham soal kekerasan seksual, akuilah. Belajarlah. Dan sebagai pejabat publik, mohon maaflah kepada korban pemerkosaan massal 1998 dan seluruh korban kekerasan seksual yang selama ini disangkal kisahnya oleh negara.
Memangnya, bangsa besar seperti apa yang dibayangkan Presiden Prabowo Subianto jika Menteri Kebudayaannya justru menyingkirkan sejarah penting demi menyusun narasi resmi yang katanya bertujuan “mempersatukan bangsa”? Bangsa besar bukan bangsa yang menghapus cerita warganya, tapi bangsa yang memberi tempat bagi luka kolektif agar bisa dikenang dan dipulihkan bersama.
Ellen Kusuma merespons perihal gender dan teknologi, serta hal-hal lain di antaranya. Online di @digitallytante.
















