Hari-hari ini, kita dihadapkan pada tantangan wabah baru bernama hepatitis akut. Penyakit yang menyerang anak-anak tersebut hingga kini belum diketahui penyebabnya (acute hepatitis of unknown aetiology).
Secara global, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 1 Mei, sedikitnya ada 228 kasus hepatitis akut dari 20 negara. Ini belum termasuk laporan tambahan dari 50 kasus yang masih diselidiki. Kasus ini masih akan terus bertambah seiring dengan laporan yang masuk tiap negara ke WHO. WHO telah menyatakan penyakit ini sebagai wabah.
Di Indonesia, kasus dengan gejala serupa kasus tersebut ditemukan pada tiga pasien anak yang meninggal pada akhir April lalu. Per 9 Mei, angkanya meningkat jadi 15 kasus.
Kita perlu mengetahui gejalanya agar segera bisa mengambil tindakan. Di tengah kasus penyakit yang masih diinvestigasi penyebabnya ini, pemerintah pusat dan daerah, asosiasi profesi medis, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan masyarakat perlu bersiap mengantisipasi datangnya penyakit ini.
Baca juga: Cukup dan Bahagia: Fragmen Cerita di Tengah Pandemi
Gejala-gejala
Organisasi Kesehatan dunia (WHO) pada 5 April 2022 menyatakan ada 10 kasus hepatitis akut yang tidak diketahui (acute hepatitis of unknown aetiology) yang menimpa anak usia kurang dari 10 tahun di seluruh Skotlandia Tengah.
Sebutan acute hepatitis of unknown aetiology dilatari hasil identifikasi laboratorium yang menunjukkan penyakit ini tidak berhubungan ke arah penyakit akibat virus hepatitis A,B,C,D dan E yang umum terjadi.
Sejak itu timbul kasus kasus lainnya yang serupa.
Pada 8 April 2022, Inggris mengidentifikasi-kan 74 kasus hepatitis akut serupa. Penyakit hepatitis akut ini mempunyai gejala diare, muntah, sakit perut, dan kuning (jaundice) dengan peningkatan enzim aspartate transaminase (AST) dan Alanine transaminase (ALT) di atas 500 mikro per liter (u/L) (normal < 32 u/L).
Laporan WHO juga menyatakan proses mencari penyebab hepatitis akut ini dilakukan di luar penyebab hepatitis A,B,C,D dan E. Pengujian laboratorium terhadap virus SARS-CoV-2 dan adenovirus telah terdeteksi dalam beberapa kasus hepatitis akut ini.
Sementara itu Inggris baru-baru ini mengamati peningkatan aktivitas adenovirus, yang bersirkulasi bersama dengan SARS-CoV-2, meski peran virus ini dalam patogenesis penyakit hepatitis ini belum jelas. Tidak ada faktor risiko epidemiologis lain yang telah diidentifikasi hingga saat ini, termasuk perjalanan internasional baru-baru ini.
Secara keseluruhan, penyebab dan asal-usul kasus hepatitis akut ini masih dianggap belum diketahui dan masih dalam proses penyelidikan.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
Adenovirus: Kecurigaan Virus Penyebab Hepatitis Akut
Hepatitis merupakan peradangan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, penggunaan alkohol, racun, obat-obatan, dan kondisi medis tertentu lainnya.
Di Amerika Serikat, penyebab paling umum dari virus hepatitis adalah virus hepatitis A, hepatitis B, dan hepatitis C.
Dalam kasus hepatitis akut yang terjadi pada anak-anak di Inggris, telah dites laboratorium dengan pendeteksi virus hepatitis A, B, C, D, dan E , hasilnya negatif.
Sementara, dalam beberapa kasus hepatitis akut ditemukan adenovirus. Adenovirus adalah virus DNA untai ganda yang menyebar melalui individu kontak dekat, cairan tetesan pernapasan, dan benda-benda yang terkontaminasi virus.
Ada lebih 50 jenis adenovirus dan dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Adenovirus paling sering menyebabkan penyakit pernapasan, tergantung jenisnya.
Adenovirus juga dapat menyebabkan penyakit lain seperti gastroenteritis (radang lambung dan usus), konjungtivitis (radang selaput lendir pada kelopak mata), sistitis (radang kandung kemih) dan penyakit neurologis, yang jarang terjadi. Tidak ada pengobatan khusus untuk infeksi adenovirus.
Ada laporan kasus hepatitis pada anak dengan gangguan sistem imun dengan infeksi adenovirus tipe 41. Adenovirus tipe ini umumnya menyebabkan gastroenteritis akut pada anak, yang biasanya muncul sebagai diare, muntah, dan demam; sering disertai dengan gejala pernapasan.
Namun, belum diketahui apakah adenovirus tipe 41 menjadi penyebab hepatitis akut pada anak yang sehat.
Beberapa virus lainnya selain adenovirus, seperti Epstein Barr Virus, Enterovirus, dan penyebab lainnya juga diperiksa sebagai bagian investigasi pada kasus hepatitis akut ini. Hingga saat ini, para dokter dan peneliti masih terus menyelidiki penyebab pasti dari hepatitis akut misterius ini.
Baca juga: Apa Bedanya Pandemi, Epidemi, dan Wabah?
Masih Misteri di Indonesia
Kasus hepatitis akut misterius di Indonesia paling awal telah ditemukan pada tiga pasien anak yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan gejala yang mirip seperti yang disampaikan WHO. Ketiga pasien tersebut meninggal dalam kurun waktu yang berbeda dengan rentang dua minggu terakhir hingga 30 April 2022.
Kemunculan penyakit hepatitis akut ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Sebab, kasus tersebut dikaitkan dengan kemungkinan akibat vaksinasi COVID-19 yang berkontribusi terhadap peradangan hati.
Namun demikian dalam perkembangannya belum ada kaitannya yang benar benar terbukti dari kejadian kasus hepatitis akut ini karena pemberian vaksin COVID- 19.
Kasus yang terjadi di Inggris menyebutkan 75 persen kasus hepatitis akut ini terdeteksi adanya adenovirus 41 yang menunjukkan kemungkinan virus tersebut merupakan penyebab patogen. Kendati begitu, saat ini penyelidikan masih berlangsung. Pengujian laboratorium lainnya untuk deteksi infeksi lain, deteksi bahan kimia, dan racun yang menyebabkan peradangan hati juga sedang dilakukan.
Bersiap Hadapi Penyakit Baru
Dalam mengantisipasi wabah penyakit hepatitis akut ini, Indonesia sudah mempunyai pengalaman dalam menangani wabah COVID-19. Belajar dari pengalaman pandemi COVID-19, pemerintah harus melakukan langkah–langkah berikut:
Pertama, pemerintah pusat, daerah, fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan perlu meningkatkan kewaspadaan dan koordinasi dalam menghadapi kasus hepatitis akut ini, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan terbaru terbitan 28 April lalu.
Kedua, pemerintah daerah perlu memaksimalkan sistem kewaspadaan dini dan respons (SKDR) untuk memantau dan melaporkan kasus sindrom penyakit kuning akut.
Ketiga, pemerintah perlu menentukan rumah sakit rujukan di setiap provinsi sebagai antisipasi penyebaran kasus hepatitis akut. Saat ini pemerintah baru menunjuk Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso dan Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai laboratorium rujukan untuk pemeriksaan spesimen hepatitis akut dengan gejala berat.
Keempat, pemerintah perlu menentukan kebijakan deteksi prioritas virus di laboratorium pada kasus hepatitis akut dan pembiayaannya ditanggung pemerintah.
Kelima, pemerintah perlu memaksimalkan jejaring laboratorium COVID-19 untuk mengantisipasi lonjakan kasus penyakit ini. Laboratorium jejaring COVID-19 pasti mampu memeriksa jenis virus penyebab hepatitis akut seperti adenovirus.
Keenam, pemerintah perlu membuat sistem informasi publik tentang segala yang berhubungan dengan penyakit ini yang mudah diakses dan dihubungi secara cepat dan mudah oleh media, organisasi profesi medis, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat.
Tantangan wabah penyakit baru ini memang tidak mudah. Karena itu, kita perlu mempersiapkan langkah-langkah yang lebih baik dibanding saat menangani awal pandemi COVID-19 pada awal 2020 lalu.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh Karina Tungari