‘Sowan’: Film Pendek sebagai Perawat Ingatan Tragedi 65
Sowan, film pendek arahan Bobby Prasetyo, dibuka dengan shot kaca mobil yang buram, memantulkan langit dan pepohonan. Sederet teks muncul menimpali shot ini, bunyinya:
Indonesia 1965. Semua orang yang dicurigai berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai dan diasingkan. Salah satu penyebabnya adalah tuduhan melakukan kudeta terhadap presiden. Sebagian dari korban adalah simpatisan yang tidak tahu menahu mengenai kegiatan partai, termasuk para seniman.
Teks menghilang, lalu kaca mobil dijatuhi kotoran burung. Imaji ini bekerja sebagai metafora visual tentang memori tragedi 65: buram, samar-samar, dan menyisakan bau menyengat bagi mereka yang pernah mengalaminya.
Di Indonesia, seperti di banyak tempat, sejarah tidak selalu dituturkan secara jujur melalui buku pelajaran. Momen-momen kelam yang diciptakan rezim penguasa, sering kali hanya bisa diceritakan dari generasi ke generasi melalui obrolan keluarga. Kehadiran karya seni, dengan demikian, turut berfungsi dalam merawat ingatan kolektif kita sebagai warga negara.
Sowan adalah salah satu karya seni itu.
Dengan durasi 14 menit, film ini mampu membuka percakapan tentang tragedi 1965—salah satu episode paling kelam dan penuh represi dalam sejarah Indonesia—dengan cara yang universal dan mudah dipahami.
Seperti halnya film pendek yang baik lainnya, Sowan berangkat dari premis yang sederhana. Mien (Titi Dibyo), seorang perempuan paruh baya, ingin menyambangi sahabat remajanya, Murti (Joanna Dyah), yang ia kira tewas dalam tragedi 65. Dari sebuah artikel media, Mien mengetahui bahwa Murti ternyata masih hidup dan sehat wal afiat. Konflik muncul saat suami Mien, enggan menemaninya untuk menemui Murti di Solo. Dalam adegan kilas balik, terkuak bahwa suaminya punya andil sebagai salah satu algojo yang turut menghilangkan keluarga Murti karena keterlibatannya sebagai penyanyi dalam acara yang diselenggarakan PKI.
Baca juga: Arti Ingatan dan Kematian Penyintas 1965 dalam Dokumenter ‘Eksil’
Ingatan yang Dikontrol Negara
Sowan membangun kisahnya di titik pertemuan antara politik besar dan ruang domestik. Film ini mengilustrasikan bagaimana tragedi nasional mampu membelah tidak hanya bangsa, tetapi juga lingkaran paling intim: keluarga dan pertemanan. Inilah titik awal yang penting, karena sejarah 65 selama puluhan tahun dikelola oleh narasi resmi negara yang menekankan pengkhianatan dan penghapusan.
Ingatan kolektif secara sistematis dibentuk oleh militer Orde Baru lewat kurikulum, film, dan monumen. Suara para penyintas pun secara sistemik diredam. Dibuat di dekade 2010-an, Sowan hadir sebagai antitesis dan menyuarakan luka-luka personal yang tidak tercatat secara formal.
Lebih jauh, film ini memperlihatkan bagaimana tubuh yang menua juga memengaruhi cara seseorang mengingat. Ingatan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan proses yang cair, bisa berubah seiring waktu. Kesadaran Mien bahwa sahabatnya masih hidup menimbulkan benturan emosional yang intens, terlebih saat suaminya menolak mengakui dosanya dari masa lalu itu. Cara film ini memotret suami Mien menarik untuk ditilik; tentang kompleksitas respons emosional orang-orang yang mengalami langsung tragedi 65, baik sebagai penyintas maupun perpanjangan tangan kelas penguasa.
Saat usia sudah bertambah banyak dan jarak dengan kejadian sejarah sudah semakin jauh, ternyata refleksi dan penilaian ulang terhadap tindakan di masa lalu, bisa memunculkan perasaan yang saling tumpang tindih.
Melalui karakter suami Mien, film ini mengeksplor tema tentang bersalah, malu, dan gengsi yang dialami secara bersamaan. James Siegel dalam bukunya, menulis bahwa pasca-65 lahir “tipe kriminal baru” di Jakarta: mereka-mereka yang tidak hanya melakukan kekerasan, tapi juga berusaha menutupi jejak moralnya melalui sikap batu.
Dalam Sowan, sosok suami itu mempersonifikasi beban moral yang selama ini jarang dieksplorasi: bagaimana para pelaku kekerasan, bukan hanya korban, hidup dengan trauma dan rasa bersalah yang terpendam.
Baca juga: #MenolakLupa: September Hitam dan Pola Kekerasan Negara yang Terus Berulang
Perempuan, Korban Ganda, dan Fungsi Film Pendek yang Merawat Ingatan
Namun, film ini juga memuat implikasi gender yang subtil. Keputusan Mien untuk tetap bertahan dalam pernikahan, meski mengetahui perbuatan suaminya, mengilustrasikan posisi perempuan yang sering kali terjebak dalam struktur patriarki. Utamanya sebagai orang Jawa dan diposisikan dalam konteks politik, perempuan kerap berakhir menjadi korban ganda. Tak hanya jadi korban represi negara, tapi sekaligus subordinasi domestik.
Dalam film ini, Mien bukan hanya menyaksikan sahabatnya menderita akibat negara, tapi juga harus berkompromi dengan kenyataan pahit bahwa ia hidup bersama seorang pelaku.
Film, terutama film pendek yang independen dan tidak terikat sensor ketat, efektif menjadi arsip alternatif yang keberadaannya bisa digunakan sebagai pemantik diskusi dalam forum-forum kecil. Ia tidak hanya bisa menyampaikan fakta sejarah, tapi juga merepresentasikan emosi, rasa, dan dilema moral yang jarang hadir dalam catatan sejarah formal.
Menonton Sowan berarti membuka ruang dialog antar-generasi. Bagi generasi Z yang mungkin tidak pernah mendengar cerita 65 langsung dari keluarga, film ini bisa menjadi pintu masuk yang humanis. Bagi generasi di atasnya, film ini menjadi cermin untuk menegosiasikan ulang posisi mereka terhadap sejarah.
Baca juga: Kasus Munir: Misteri, Fakta, dan Tuntutan Keadilan yang Belum Usai
Tragedi 65, seperti kita tahu, menyisakan banyak masalah yang belum terselesaikan, dan film semacam ini membantu kita mengkonfrontasi fakta-fakta yang tidak nyaman, meski dengan cara yang sederhana. Sowan mengingatkan kembali akan adanya keberanian dalam tindakan mengingat. Dan dalam mengingat, kita tidak hanya menoleh ke belakang, tapi juga berupaya merancang masa depan yang lebih adil dan manusiawi.
















