‘Gaya Sa Pelikula’: Potret Kaya Kehidupan Gay dan Peliknya Persoalan Melela
Webseries Filipina ini memotret dinamika kehidupan para gay dan proses melela yang dilematis.
Gaya Sa Pelikula (judul bahasa Inggris: Like in the Movies) adalah sebuah webseries asal Filipina bergenre boy’s love (BL) yang tidak hanya populer di negara asalnya, tapi juga di kalangan pencinta genre BL di seluruh dunia. Dirilis tanggal 25 September 2020 melalui kanal YouTube dan berakhir tanggal 20 November 2020, serial yang ditulis oleh Juan Miguel Severo dan disutradarai oleh JP Habac ini sukses memikat warganet yang bosan terkungkung di rumah selama masa swakarantina di tengah pandemi.
Berkat alur cerita yang menyentuh, akting yang menawan, sinematografi andal, musik yang gampang dicerna dan mendukung alur cerita, Easter eggs dalam episode, serta fan service yang sangat menarik, Gaya Sa Pelikula dengan mudah mengumpulkan banyak penggemar. Basis penggemar yang dibangun Gaya Sa Pelikula begitu kuat hingga ketika angin topan Ulysses menerjang Filipina pada 11 November lalu, para penggemar GSP berhasil mengumpulkan dana bantuan hingga lebih dari PHP400.000 (hampir Rp120 juta).
Satu hal yang sangat memikat dari Gaya Sa Pelikula adalah bagaimana webseries ini secara realistis menggambarkan kisah hidup banyak orang gay tanpa mendramatisasi atau melankolis, terutama terkait topik sentral webseries ini: Melela.
Baca juga: 5 Serial ‘Boys Love’ yang Bikin Pipi Merona dan Mata Basah
Gaya Sa Pelikula: Kisah Mengenai Melela
Tema mengenai melela (coming out) dalam film ini sudah terungkap secara tersirat maupun tersurat sejak trailer-nya pada 18 September 2020 lalu.
Gaya Sa Pelikula berkisah mengenai perjalanan Karl menerima dirinya sebagai gay (coming in) ketika ia mengikuti tradisi keluarga untuk hidup sendiri di apartemen milik pamannya, yang juga adalah seorang gay. Karl yang pada saat itu belum menyadari (atau belum menerima) bahwa ia adalah gay bertemu dalam sebuah situasi komedi yang tragis dengan Vlad, seorang gay yang maskulin dan terbuka. Penonton diajak untuk tertawa, menangis, terinspirasi bersama dalam dinamika hubungan Karl dan Vlad yang terbangun perlahan tetapi kokoh di tiap episode, sembari menyaksikan pergumulan batin Karl untuk melela.
Banyaknya warganet yang menyatakan sangat terhubung dengan kisah Karl dan Vlad ini dalam mengungkap realitas kehidupan banyak orang gay. Tidak sedikit orang gay yang mulai mengeksplorasi seksualitasnya ketika ia tinggal sendiri jauh dari orang tua, misalnya ketika melanjutkan studi ke luar kota/pulau dan tinggal di kos.
Pribadi baru dewasa yang sedang mengonsolidasi jati diri dapat secara mandiri mengeksplorasi identitas seksualnya tanpa merasa begitu diawasi orang tua dan ketakutan akan penolakan. Masa kemandirian dan kebebasan ini juga kadang mempertemukan orang muda gay ini dengan orang muda gay lain, yang akhirnya berperan dalam konsolidasi identitas gay dan proses melela (baik coming out dan coming in). Proses melela ini sering kali penuh turbulensi dan jarang mulus, seperti yang dialami Karl.
Baca juga: Lampaui ‘Love, Simon’: 7 Film Queer Bertema ‘Coming of Age’
Potret pribadi Karl juga mengungkap dinamika kepribadian orang gay lainnya: konflik terkait identitas. Di satu sisi, Karl mulai menerima diri bahwa ia gay, tetapi di sisi lain ia takut akan penolakan dari orang tua, orang sekitar, atau sibuk memikirkan bagaimana persepsi orang terhadap dirinya. Karl merasa hanya bisa menjadi diri sendiri dalam unit apartemen pamannya, namun secara bersamaan, begitu tertekan dan takut bila orang lain menilai ia begitu kentara sebagai seorang gay.
Unit apartemen pamannya menjadi safe haven bagi Karl untuk mengekspresikan diri. Hal inilah yang beresonansi dengan pengalaman banyak orang gay lain yang bebas mengekspresikan diri ketika ia jauh dari keluarga atau tidak ada orang yang mengenal.
Perbedaan status melela Karl dan Vlad juga membawa petaka bagi hubungan mereka. Karl yang “baru meletek” menjadi defensif ketika Vlad menarik Karl untuk come out. Patah hati tak terhindarkan karena adanya tegangan antara going discreet atau being out and proud. Mungkin, teman-teman gay sudah tidak asing dengan deskripsi diri di dating apps yang menyatakan “discreet, looking for the same” atau tuntutan pasangan untuk tidak terlalu “tampak gay” ketika bertemu dengan orang-orang yang penting bagi pasangan.
Gaya Sa Pelikula menyediakan ruang bagi kita untuk terhibur, bergumul, dan merenung mengenai kehidupan orang gay yang penuh kontradiksi. Sebagaimana Karl katakan, “Aku tahu aku tidak berbuat suatu yang buruk, tetapi kenapa aku masih takut?”
Proyek Protes dan Tuntutan SOGIE Bill
Tidak hanya mengenai melela, Gaya Sa Pelikula juga menyinggung isu lain yang sudah tidak asing pada hidup orang gay: Penolakan keluarga, mikroagresi terhadap lelaki feminin atau ekspresi feminitas, kekerasan berbasis seksualitas, dan eufemisme terhadap individu gay yang justru merendahkan. Tema-tema ini secara eksplisit diungkap dalam episode demi episode Gaya Sa Pelikula.
Pada suatu sesi jumpa pers dengan para fans, kru Gaya Sa Pelikula mengungkapkan bahwa proyek ini memang merupakan suatu bentuk protes. Hal yang menjadi fenomena keseharian orang gay, yang mungkin beberapa derajatnya dianggap hal biasa dan tidak menyinggung lagi, diangkat kepada khalayak untuk mengingatkan bahwa hal ini genting dan perlu diubah.
Kru Gaya Sa Pelikula juga secara aktif mendorong diresmikannya Sexual Orientation, Gender Identity, and Expression (SOGIE) Bill di Filipina yang akan melindungi komunitas LGBTQ++ dari segala bentuk diskriminasi dan viktimisasi. Rancangan undang-undang ini mulai dibahas kembali pada September 2020, yang entah kebetulan atau disengaja bertepatan dengan rilisnya Gaya Sa Pelikula.
Sekalipun Filipina digadang sebagai negara Asia Tenggara yang religius tetapi tetap ramah terhadap komunitas LGBTQ++, masih banyak kasus diskriminasi dan viktimisasi pada anggota komunitas. Gaya Sa Pelikula mencetuskan diskusi mengenai pentingnya menghalau kekerasan berbasis seksualitas serta melindungi komunitas secara hukum. Hal ini mengungkap sisi lain yang menarik dari serial yang memikat ini.
Baca juga: ‘Diary of Tootsies’: Lawan Stigma terhadap HIV Lewat Drama Komedi
Renungan Bagi Komunitas LGBTQ++
Kehadiran Gaya Sa Pelikula begitu signifikan dan berpengaruh pada anggota komunitas LGBTQ++, terutama orang-orang gay. Ada beberapa contoh anekdotal mengenai bagaimana Gaya Sa Pelikula mendorong seorang gay untuk melela pada keluarga dan syukurnya mendapat penerimaan.
Gaya Sa Pelikula juga menggambarkan dinamika ally yang terus bertumbuh menjadi better ally, serta bagaimana ally yang bermaksud baik dapat melukai orang gay yang belum siap melela. Hal ini menjadi permenungan kita di komunitas, apakah kita terus-menerus belajar untuk menjadi ally yang lebih baik sekalipun tak sempurna? Apakah kita mau menjadi ally yang suportif tanpa syarat seperti tokoh Anna yang selalu mendukung Karl?
Gaya Sa Pelikula menyediakan potret nyata dan relatable mengenai proses melela yang kadang via dolorosa. Banyak orang gay yang harus hidup di dunia dunia bak amfibi karena melela bukanlah hal yang adaptif bagi mereka. Maka, apakah kita di komunitas memahami dinamika ini dan bisa mendampingi anggota komunitas yang masih bergumul?
Gaya Sa Pelikula menyediakan ruang bagi kita untuk terhibur, bergumul, dan merenung mengenai kehidupan orang gay yang penuh kontradiksi. Sebagaimana Karl katakan, “Aku tahu aku tidak berbuat suatu yang buruk, tetapi kenapa aku masih takut?”