Generasi yang Dijauhkan dari Sejarahnya: Refleksi Setelah Baca ‘Laut Bercerita’
Membaca novel ‘Laut Bercerita’ karya Leila S. Chudori bisa jadi jembatan buat generasi lebih muda untuk melihat sejarah kelam bangsa ini.
Buat seseorang yang dulu sempat dicap kutu buku karena gemar membaca, aku cukup kaget kegiatan membaca buku kini menjelma jadi tren keren yang digandrungi generasi muda. Tren ini melahirkan istilah seperti bookstagram, booktuber, booktwt, di mana generasi muda saling berbagi ulasan buku dan target bacaan mereka lewat platform digital.
Menariknya, tren ini juga menciptakan sebuah kultur baru. Kultur di mana para muda-mudi membaca satu buku yang sama dan saling berdiskusi di platform digital yang mereka punya setelah selesai membacanya. Melalui kultur ini tentu akan ada buku yang jadi everyone’s favorite. Jadi buku terlaris di toko buku online atau konvensional dan selalu bisa menggaet engagement yang tinggi di media sosial.
Salah satunya adalah Laut Bercerita karya Leila. S Chudori. Di berbagai platform digital yang kupunya, aku kerap melihat banyak generasi muda yang gandrung membaca dan mengulas buku ini.
Akun Twitter @literarybase, base Twitter khusus membahas seputar sastra misalnya berulang kali membahas buku ini dan kolom komentarnya selalu ramai dipenuhi pecinta buku. Teman-temanku sesama Gen Z juga banyak sekali yang merekomendasikan novel ini.
Buat seseorang yang awalnya tak pernah ikut tren membaca buku, aku jelas jadi kepo. Berbekal informasi sederhana bahwa novel ini berlatar tahun 1998, aku memutuskan untuk membacanya. Selama membaca, Laut Bercerita berhasil timbulkan gejolak emosi yang berbeda dari apa yang aku rasakan sebelumnya ketika membaca bahan bacaan terkait tragedi 1998.
Pasalnya, pengetahuan terkait tragedi 1998 yang kubaca semuanya berasal dari dokumen fakta sejarah. Mulai dari materi kuliah, reportase investigasi khusus dari Tempo, hingga buku non-fiksi yang kulahap semasa kuliah. Sehingga, ketika membaca Laut Bercerita, aku bisa lebih merasakan sisi humanis lewat narasi korban penghilangan paksa dan keluarga mereka. Narasi yang memang sengaja ditulis untuk menimbulkan rasa empati.
Dengan ramuan narasi ini, Laut Bercerita pun telak menjadi salah satu novel favoritku dan tanpa basa basi aku putuskan untuk “bergabung” dalam tren membaca buku. Aku mulai dengan mencari kata kunci Laut Bercerita di Twitter, berharap bisa bergabung dalam diskusi terkait buku ini yang masih saja ramai di platform digital. Tapi hal ini justru mengantarku pada sebuah temuan yang mengagetkan.
Baca Juga: Kamis ke-500: Menuntut Keadilan yang Masih Sebatas Janji
Generasi yang Diputus dari Sejarah Secara Struktural
Dalam sebuah unggahan @literarybase pada 20 Oktober, aku dikejutkan dengan banyaknya generasi muda yang baru mengetahui Tragedi 1998.
Melalui unggahan yang mencapai likes sebanyak 14.000 itu, aku melihat banyak pembaca muda sebelumnya tak tahu ada penghilangan paksa aktivis dan mahasiswa selama 1997-1998.
Mereka tak tahu apa itu Aksi Kamisan. Mereka tak tahu ada tragedi penembakan mahasiswa. Pun, mereka tak tahu ada puluhan buku yang dilarang beredar dan dibaca bebas oleh masyarakat karena konsekuensinya dipenjara.
Ketidaktahuan akan sejarah tragedi 1998 begitu mendominasi. Sampai-sampai dalam satu sapuan jari saja, aku bisa langsung mendapatkan berbagai komentar yang menuliskan rasa kaget mereka mengetahui detail kejadian yang dialami Biru Laut, kawan-kawannya, dan Asmara Jati (adik Laut) memang benar-benar terjadi.
Fakta yang kutemukan ini jujur saja mengiris hati. Aku sampai bingung sendiri. Bertanya-tanya kok bisa ya generasi muda yang seumuranku bisa sejauh ini dengan sejarah? Sejarah yang sebenarnya harus mereka ketahui agar tak terulang lagi di kemudian hari.
Kejadian ini membuka memori lamaku. Sebelum aku melihat ragam komentar generasi muda soal Laut Bercerita, aku pernah dibuat kaget oleh adik laki-lakiku sendiri yang jarak umurnya hanya terpaut empat tahun.
Sekitar tahun 2019, untuk pertama kalinya, aku bisa ikut Aksi Kamisan setelah sekian lama mendamba ikut aksi ini sejak masih duduk di bangku kuliah S1. Sebelum pergi Aksi Kamisan, aku tak memberi tahu Mama hendak ke mana. Aku hanya bilang, aku mau pergi bersama teman-teman setelah kelas selesai.
Sampai di rumah, Mama tentu kepo dengan rencana “dadakan” anak perempuannya. Aku lalu mengatakan kalau habis menghadiri Aksi Kamisan dan sepertinya aku berencana hadir lagi minggu depan. Raihan, adik laki-lakiku yang menguping pun bertanya “Apaan tuh, Mbak, Aksi Kamisan?”
Aku sontak melotot. Meninggikan intonasi berbicaraku dan bertanya, “Hah? Kamu enggak tau Aksi Kamisan dek?”
Adikku menjawab lewat gelengan. Karena kaget bukan main atas jawabannya itu, aku langsung menjelaskannya apa itu Aksi Kamisan. Aku menjelaskannya begitu berapi-api dan berujung pada ceramahanku padanya untuk sering-sering baca buku sejarah karena ternyata dia juga clueless dengan tragedi 1998.
Ia cuma tau pada tahun itu, Indonesia sedang mengalami krisis moneter dan ada demo besar-besaran. Tapi berbagai tragedi yang terjadi selama tragedi seperti penembakan mahasiswa Trisakti hingga pemerkosaan massal ia tak tahu sama sekali.
Mendengar reaksi Raihan dan generasi muda di kolom komentar @literarybase sempat membuatku sangat judgemental. Aku jadi seperti orang tua kolot yang merasa lebih tahu, lebih superior. Aku menyalahkan generasi muda secara sepihak tentang ketidaktahuan mereka pada sejarah.
Aku sampai berasumsi, mungkin generasi muda memang sebegitu ignorant sampai enggan membaca sejarahnya sendiri. Mereka cuma hidup dalam lingkarannya sendiri. Sibuk joget TikTok dan main game saja. Mau jadi apa negara ini kalau generasi mudanya begitu ahistoris?
Baca Juga: 4 Fase Gerakan Perempuan di Indonesia dan Apa yang Bisa Kita Pelajari Darinya
Akses Tak Setara
Untungnya, fase menjadi orang tua kolot ini tak berlangsung lama. Setelah cukup berefleksi dari dua kejadian itu, aku baru menyadari sebenarnya aku adalah orang yang mempunyai privilese. Privilese apa? Privilese dalam mengakses pengetahuan.
Berbeda dari Raihan atau generasi muda lain, aku punya akses pengetahuan sejarah yang bisa dibilang cukup luas. Pertama, aku dulu adalah jebolan anak IPS yang punya guru yang cukup progresif. Kami diberikan ruang untuk memahami sejarah dengan tidak bias dan lebih utuh. Guru sejarahku yang memang suka storytelling, menjelaskan tragedi 98 secara lebih komprehensif. Aku jadi tahu pada 1998, Indonesia tidak hanya mengalami gejolak ekonomi, tapi berbagai tragedi.
Kedua, aku adalah anak sastra yang semasa S1 pernah mengambil mata kuliah Sejarah Indonesia. Dalam ruang akademi tingkat universitas, kami diberikan modul atau materi sejarah yang lebih kaya lagi. Jika selama SMA aku hanya melihat lewat permukaanya saja, selama kuliah aku lebih menguliti tragedi-tragedi penting yang pernah terjadi di Indonesia. Tragedi-tragedi yang bahkan tak pernah masuk ke dalam buku cetak dulu karena buku cetak hanya menuliskan sejarah lewat pembabakannya saja.
Privilese yang aku punya inilah yang kemudian buatku sadar. Tak semua generasi muda seusiaku dan di bawahku punya akses yang sama. Banyak generasi muda seperti adikku yang belajar sejarah hanya lewat buku cetak yang mengakomodir ilmu sejarah yang tak mumpuni. Apalagi kalau mereka masuk kelas IPA sejak kelas 1 Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sudah jelas sekali mereka tak akan pernah lagi terpapar pelajaran sejarah secara resmi di bangku sekolah hingga kuliah. Pelajaran sejarah mereka mungkin terhenti pada pembabakan zaman saja tanpa tahu mendetail soal tragedi-tragedi sejarah penting yang terjadi di Indonesia.
Hal ini kemudian ditambah dengan tenaga pengajar yang juga kompeten. Sejarah tak jadi pelajaran favorit banyak murid karena masih banyak juga guru sejarah yang menyampaikan materi secara membosankan. Bayangkan saja gurumu hanya mengajarkan apa yang sudah tertulis di buku cetak. Kamu tidak diberikan ruang untuk berdiskusi secara terbuka dan tak dibuat tertarik untuk bertanya lebih jauh tentang materi yang mereka sampaikan.
Hasilnya? Banyak generasi muda yang tak tertarik pada sejarah. Untuk mencari tahu tentang sejarahnya sendiri saja tidak kepikiran. Pasalnya, rasa ingin tahu itu ada karena apa yang kita baca dan dengar berhasil menarik perhatian kita. Membuat kita bertanya-tanya dan ingin mengetahui jawabannya.
Baca juga: 3 Pelajaran dari Aksi Kamisan dalam Membangun Gerakan Sosial
Usaha Pengaburan Serta Penguburan Sejarah
Akes pengetahuan yang aku terima ini juga membuatku tersadar pada satu hal penting yang perlu kita ketahui sebagai faktor ketidaktahuan generasi muda pada sejarah, yakni: Penguburan dan pengaburan sejarah sistemik oleh penguasa.
Buku cetak yang dijadikan acuan proses belajar mengajar di sekolah kebanyakan hanya menuliskan sejarah lewat pembabakannya. Dengan cara ini, banyak tragedi-tragedi penting yang membentuk iklim sosial politik Indonesia tidak dijelaskan atau dicantumkan sama sekali.
Aku misalnya baru mengetahui tragedi 98 secara lebih dalam ketika guru sejarahku memberikan penjelasan soal penembakan mahasiswa Trisakti, persekusi etnis Tionghoa, penjarahan dan pembakaran massal yang sampai hari ini pelakunya tidak diketahui keberadaanya, hingga penghilangan paksa. Penjelasan penting tentang rangkaian tragedi ini tidak sama sekali ini dicantumkan dalam buku IPS terpadu yang aku punya.
Pengaburan dan penguburan sejarah pun terjadi ketika anak sekolah diajarkan tentang tragedi 65. Dari jamanku sampai sekarang (aku konfirmasi dari buku sejarah anak SD dan SMP murid mamaku), sejarah tahun 1965 yang ada di buku cetak selalu diceritakan dalam satu potongan tragedi lewat kacamata Order Baru.
Sejarah disederhanakan dan dikaburkan lewat pemberontakan PKI. Melalui ketua DN Aidit, PKI berusaha menggulingkan pemerintahan Sukarno dengan membantai enam jenderal. Hal ini pun diperparah dengan masih ditayangkannya film G30S.
Kepala RT-ku jadi saksinya. Sampai 1 Oktober lalu, pak RT di lingkungan rumahku masih menayangkan film propaganda Order Baru ini di rumahnya. Film ini ditayangkan di layar tancap agar warga termasuk anak-anak bisa ikut menonton.
Dari buku cetak sampai film propaganda yang sayangnya masih tayang ini, PKI selalu digambarkan sebagai partai komunis yang bengis, sehingga pembasmian antek-anteknya pasca-Tragedi 65 dijustifikasi. Hasilnya sudah jelas, generasi muda hanya tahu sejarah lewat satu kacamata saja. Lewat kacamata penguasa. Padahal di balik Tragedi 65, ada segudang tragedi berdarah yang mengikuti dan punya sangkut paut dengan kuasa politik kala itu.
Menariknya, yang terjadi di Indonesia juga terjadi di negara lain seperti Filipina dan Jepang.
Kedua negara ini juga punya permasalahan yang sama. Generasi mudanya dinilai ahistoris alias buta sejarah. Manila Bulletin misalnya pernah melakukan eksperimen untuk liputan mereka. Mereka menanyakan pada generasi muda milenial dan Gen Z tentang pemberlakuan darurat militer pada 1972 yang dilakukan diktator Ferdinand Marcos, Sr. Tetapi dari pertanyaan yang diberikan tim Manila Bulletin terkait darurat militer, hampir tak ada satu pun yang paham atau bahkan mengetahui sejarahnya.
Padahal berdasarkan dokumentasi Amnesty International, periode darurat militer telah memakan banyak korban jiwa, di antaranya 3.257 pembunuhan di luar proses hukum, 35.000 penyiksaan yang terdokumentasi, 77 penghilangan paksa, dan 70.000 penahanan.
Dilansir dari Union of Catholic Asian News, ketidaktahuan generasi muda Filipina terhadap sejarahnya ini diperparah juga dengan usaha pemerintah dalam mengaburkan sejarah dalam buku-buku cetak anak sekolah.
Asosiasi Sejarawan Katolik Filipina (CHAP) pada 24 Oktober mengkritik modul Departemen Pendidikan misalnya menyebut periode darurat militer di bawah mendiang diktator Ferdinand Marcos, Sr. sebagai “periode Masyarakat Baru.”
Nama yang diberikan oleh Marcos, Sr. kepada pemerintahannya yang dinilai para sejarawan sebagai usaha pemerintah untuk mengubah citra sejarah kelam Filipina dengan memberinya nama yang berbeda. Hal yang sayangnya juga sudah terjadi selama berdekade lamanya.
Jepang pun tak kalah berbeda, dalam laporan yang diterbitkan BBC Mariko Oi menjelaskan bagaimana banyak orang Jepang terutama generasi muda tak tau sama sekali dengan kejahatan perang Jepang. Kejahatan perang yang terjadi selama periode imperialisme Jepang, terutama selama Perang China-Jepang Kedua dan Perang Dunia II.
Ketidaktahuan generasi muda terhadap kejahatan perang Jepang muncul tak lain karena akses pengetahuan tentang sejarah abad 20 mereka hampir tak ada dan diperparah dengan penguburan sejarah oleh pemerintah Jepang sendiri.
Dalam pengalaman Mariko mencicipi kurikulum pendidikan Jepang, ia menemukan dari 357 halaman buku sejarahnya, hanya hanya 19 halaman yang membahas peristiwa antara tahun 1931 dan 1945.
Dalam 19 halaman ini pula, tragedi kemanusiaan seperti pembantaian Nanjing misalnya hanya ditulis dalam satu kalimat. Itu pun dalam footnote. Kejahatan perang Jepang lain seperti comfort women atau eksperimen manusia dan perang biologis tak dicantumkan sama sekali. Padahal kejahatan perang ini memakan korban begitu banyak dari negara-negara Asia seperti Cina, Korea, dan Indonesia.
Apa yang dialami Mariko ini pun membuatnya bertanya pada generasi-generasi muda di bawahnya. Ternyata apa yang mereka alami tak jauh berbeda darinya. Hal ini membuat para generasi muda Jepang tak mengetahui sama sekali soal kejahatan perang negaranya.
Lalu adakah dampak yang bisa terjadi jika generasi kita tak mengetahui sejarahnya? Jelas ada, kita bisa melihat level ekstremnya di Jepang. Usaha pemerintah untuk mengaburkan dan menguburkan kejahatan perang Jepang membuat sebagian orang Jepang menyangkal sejarahnya sendiri.
Terlihat dari aksi protes orang Jepang menolak kehadiran comfort women karena mereka dianggap mengada-ngada dan sengaja meminta kompensasi dari pemerintah Jepang hingga lagu band rok Jepang Scrabmble yang menyebut comfort women sebagai pelacur. Penyangkalan ini tentu berimbas pada sulitnya pemenuhan hak dan penegakan keadilan atas penyintas comfort women. Termasuk salah satunya perjanjian Jepang-Korea terkait Comfort Women yang berakhir gagal karena penyangkalan Shinzo Abe terkait keberadaan comfort women sendiri.
Di Indonesia sendiri dampak generasi muda tak mengetahui sejarah terlihat dari bagaimana mereka tak menyadari jajaran pemerintahan diduduki oleh tokoh-tokoh yang dinilai bertanggung jawab atas terjadinya tragedi kemanusian. Misalnya banyak pihak termasuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dilansir dari Media Indonesia menilai Prabowo Subianto dan Sjafrie Sjamsoeddin bertanggung jawab atas tragedi 98. Tapi kini masing-masing dari mereka menjabat sebagai Menteri Pertahanan Indonesia dan penasihat di Kementerian Pertahanan.
Fakta ini akhirnya menggarisbawahi permasalahan besar yang perlu jadi atensi kita bersama. Permasalahan di mana generasi muda dibiarkan buta agar mereka tak menuntut keadilan. Tak melawan.
Kita perlu solusinya agar kedepannya kita semua paham, kita butuh melawan. Menuntut pemenuhan dan restorasi keadilan yang telah terabaikan. Hal yang jika tak cepat diselesaikan bisa berdampak pada terulangnya kembali tragedi yang tak kita inginkan.