December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

‘AI Bukan Ancaman’ tapi Papua juga Bukan Bahan Konten

Wapres Gibran ditugaskan menangani Papua. Tapi konflik kemanusiaan dan ketimpangan struktural tak bisa diselesaikan dengan ‘gimmick’ atau video meme.

  • July 25, 2025
  • 5 min read
  • 903 Views
‘AI Bukan Ancaman’ tapi Papua juga Bukan Bahan Konten

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang belakangan lebih dikenal sebagai duta kecerdasan buatan dan konten viral, kini dihadapkan pada tugas yang jauh dari dunia digital: menangani isu hak asasi manusia dan pembangunan di Papua.

Tugas ini diumumkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Yusril Ihza Mahendra, dalam peluncuran Laporan Tahunan Komnas HAM 2024 (2/7). Ia menyebut penugasan khusus dari Presiden kepada Wapres demi mempercepat pembangunan Papua. Bahasa resminya: bentuk komitmen terhadap isu kemanusiaan. Bahasa tidak resminya barangkali “lempar tanggung jawab ke yang lebih muda.”

“Dan concern pemerintah dalam menangani Papua ini dalam beberapa hari terakhir ini sedang mendiskusikan untuk memberikan satu penugasan khusus dari presiden kepada wakil presiden untuk percepatan pembangunan Papua,” ujar Yusril.

Penanganan konflik dan percepatan pembangunan Papua akan dilakukan oleh sebuah Badan Eksekutif khusus yang berpusat di Papua dengan dasar pembentukan berdasar amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Gibran, dalam posisinya sebagai Wakil Presiden, akan berada pada tataran koordinasi kebijakan, dan bukan pelaksana teknis harian.

Kita tentu ingat, dalam beberapa bulan terakhir, Gibran tampil di berbagai forum dengan agenda tetap: menyebut “AI itu bukan ancaman”, menyapa anak-anak sekolah sambil bertanya “Apa menu makanan bergizi gratis hari ini?”, dan sesekali mengunggah video meme kontroversial. Tapi kini, ia harus turun ke salah satu wilayah paling kompleks secara politik, sosial, dan historis di Indonesia. Dan yang lebih menarik, ia bilang sudah siap.

“Kalau misalnya Keppres-nya belum keluar pun, saya sudah siap kok kapan pun,” katanya percaya diri saat berkunjung ke Klaten (9/7).

Namun, masalah di Papua, tentu saja, tidak akan selesai dengan kesiapan nge-vlog atau ngantor fleksibel. Karena masalah di Papua tidak semudah mengetik prompt AI dan mengedit reels 30 detik.

Baca juga: Menilik Mimpi Makan Gratis Seperti di Brasil

Masalah yang tak bisa diunggah ke Instagram

Sudah sejak lama Papua menjadi medan tarik-ulur antara kekayaan sumber daya dan pelanggaran hak asasi manusia. Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, menyebut akar konflik yang sebenarnya: kerakusan kapitalisme, eksploitasi tanpa batas, dan kepentingan elite yang melahirkan kekerasan demi kekayaan.

“Ambisi dan ketamakan untuk eksploitasi sumber daya alam di Papua menciptakan konflik bersenjata, konflik sosial, kebencian… konflik di atas konflik,” ujarnya dalam sebuah pernyataan yang diunggah di YouTube.

Riset Oil Palm Plantations, Forest Conservation and Indigenous Peoples in West Papua Province (2021) menunjukkan, masyarakat adat Papua, terutama di wilayah Barat, menjadi korban penggusuran paksa dan degradasi ekologis akibat perluasan sawit. Proyek besar dari pusat dijalankan tanpa peduli dengan realitas budaya dan sosial setempat. Pendek kata, dari Jakarta semua terlihat “pembangunan”, tapi di lapangan, yang terlihat adalah perampasan.

Ketimpangan kesejahteraan antara Papua dan daerah lain? Sudah jadi rahasia umum yang tak pernah benar-benar diakui. Studi Social Policies, Social Exclusion & Social Well-Being in Southeast Asia: A Case Study of Papua, Indonesia (2018) menyoroti betapa kebijakan sosial yang inklusif belum menyentuh Papua. Sementara riset The Impact of Asymmetric Fiscal Decentralization (2019) menyimpulkan bahwa Otsus bukan membawa perbaikan, melainkan memperlebar celah: pendidikan dan kesehatan tetap memprihatinkan, tata kelola buruk, dan korupsi mengakar.

Jadi jika Gibran berpikir bisa menyelesaikan semua itu dengan menyapa anak-anak Papua lalu bertanya soal menu makan siang mereka, sebaiknya ia berhenti menulis caption dan mulai membaca laporan HAM.

Baca juga: Bisakah Kita Memakzulkan Wapres Gibran?

Papua butuh pemimpin, bukan selebgram

Penunjukan Gibran seakan menjadi lanjutan dari pola yang sudah terjadi selama dua periode kepemimpinan ayahandanya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Papua dijadikan panggung politik dan proyek ambisius yang gagal menyentuh akar masalah. Kini giliran sang anak yang harus turun tangan. Apakah ini pelimpahan tanggung jawab atau warisan politik? Silakan tafsirkan sendiri.

Namun satu hal yang pasti, masalah Papua bukan sekadar “koordinasi kebijakan”. Ini persoalan struktural yang sistematis, yang gagal ditangani dari pusat hingga daerah. Ini soal minimnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, lemahnya pemerintahan lokal, hingga kemauan politik yang lebih suka diam.

Pendekatan pembangunan selama ini juga terlalu top-down. Dari atas ke bawah, dari Jakarta ke Jayapura, tanpa ruang bagi masyarakat Papua menentukan jalan hidup mereka sendiri. Perspektif lokal diabaikan, suara masyarakat adat dibungkam dengan jargon “stabilitas nasional”.

Evaluasi dua dekade Otonomi Khusus, seperti yang dibahas dalam riset Special Autonomy Policy Evaluation to Improve Community Welfare in Papua Province Indonesia (2020) memperlihatkan pola berulang: institusi lemah, pengelolaan keuangan buruk, dan koordinasi birokrasi yang carut-marut. Dalam konteks ini, posisi Gibran sebagai koordinator Badan Eksekutif Khusus menjadi sangat strategis dan sangat berisiko jika disalahgunakan sebagai ajang pencitraan.

Baca juga: Gibran dan ‘Jumbo’: Pujian Manis, Arah Kebijakan Pahit

Jika Wapres Gibran benar-benar ingin menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar produk dinasti politik, maka inilah momen pentingnya. Tapi itu artinya ia harus mau meninggalkan gimmick. Tak cukup sekadar “siap kapan pun”, tapi ia perlu menunjukkan kapasitas nyata dalam membongkar akar persoalan, mendorong reformasi kebijakan yang melibatkan masyarakat adat, memperkuat institusi lokal, dan memastikan bahwa uang yang digelontorkan pusat tidak hilang di tengah jalan.

Papua tidak butuh simbolisasi politik. Tidak butuh branding “anak muda melek teknologi”. Papua butuh kehadiran nyata, mendengarkan dengan sungguh-sungguh, dan keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada rakyat Papua, bukan elite Jakarta.

Kalau Gibran memang bisa melakukan itu, mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah politik keluarga ini, Papua akan melihat harapan. Tapi jika tidak, ya… setidaknya TikTok-nya pasti ramai.

About Author

Mickhael Rajagukguk

Mike adalah seorang pembelajar. Pekerjaan awalnya dalam riset-riset sosial jadi bekal penting untuk menavigasi karier di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Babi panggang dan sarsaparilla khas Siantar, jadi favoritnya di kala stress.