Isu Ijazah Jokowi: ‘Re-run’ yang Tak Pernah Tamat

Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli menyebut isu ijazah palsu Joko “Jokowi” Widodo sebagai “komoditas musiman”. Kepada ANTARA, ia menjelaskan, isu ini sengaja dimunculkan pada momen tertentu, lalu disimpan kembali ketika sudah tidak dibutuhkan.
Namun, kenyataannya, isu ini tak pernah benar-benar mati. Jika memang hanya komoditas musiman, mengapa narasinya terus bergulir dan bahkan mampu membuat sebagian orang memercayainya? Di sinilah pola penyebaran informasi memainkan peran yang tak bisa diabaikan.
Pembahasan isu ijazah palsu itu sendiri naik-turun sejak periode kedua kepresidenan Jokowi. Dilansir dari Kumparan, data Drone Emprit mencatat, isu ini melonjak sejak Maret hingga April 2025 dan berlanjut hingga sekarang.
Sementara itu, pantauan Magdalene pada (3/6) memperlihatkan, dalam waktu enam jam (pukul 13.30 hingga 19.30), ada 158 cuitan di X terkait isu ijazah Jokowi. Ini memperkuat fakta kalau isu ijazah Jokowi masih hidup dan terus diperbincangkan di media sosial.
Baca Juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional
Mengapa Isu ini Selalu Kembali ke Permukaan?
Isu ijazah palsu Jokowi bak drama sinetron yang sengaja tak diakhiri karena digemari para penonton. Narasinya sama, pun tokohnya tidak berubah. Meski begitu, ending-nya belum juga tampak.
Magdalene mewawancarai Lead Analyst Drone Emprit Rizal Nova Mujahid untuk menjawab persoalan ini. Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat isu tersebut masih hangat diperbincangkan publik.
Pertama, lanskap politik masyarakat yang sangat terpolarisasi. Buat sebagian kelompok, khususnya pengkritik Jokowi, isu ini bukan hanya menyoal keabsahan dokumen, melainkan alat untuk mempertanyakan kredibilitas seorang mantan presiden.
Dalam situasi seperti ini, lanjutnya, media sosial jadi ruang yang subur untuk menyebarkan keraguan. “Dalam sejarah media sosial Indonesia, narasi yang menyerang tokoh publik, terutama yang kontroversial, cenderung mendapatkan banyak perhatian karena sifatnya yang provokatif,” tulisnya kepada Magdalene (4/6).
Rizal juga menyoroti klarifikasi tidak cukup meredakan tanda tanya publik. Sebab, banyak yang skeptis terhadap institusi pemerintah atau akademik. Skeptisisme muncul lantaran investigasi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun Badan Reserse Kriminal Polri tidak transparan atau independen.
Menurutnya, situasi menjadi kian keruh ketika tokoh-tokoh publik ikut bicara. Saat figur penting terang-terangan mempertanyakan kredibilitas Kepolisian RI (Polri), hal ini menambah bahan bakar bagi diskusi di media sosial.
Situasi ini menunjukkan, isu ijazah Jokowi tidak hanya dimunculkan karena momen politik tertentu. Lebih dari itu, ada penyebaran informasi yang membentuk persepsi publik secara konsisten dalam sinetron ini.
Baca Juga: Proyek Revisi Sejarah Indonesia: Percuma Jika Masih Ditulis Penguasa
Bagaimana Persepsi Publik Terbentuk?
Di titik ini, Teori Kultivasi jadi sangat relevan untuk melihat pembentukan persepsi publik. Teori yang dikembangkan oleh George Gerbner ini bilang, persepsi seseorang terhadap sebuah realitas akan terbentuk jika terus-menerus terpapar pesan dari media.
L.J. Shrum dari Hautes Etudes Commerciales, Paris dalam “Cultivation Theory: Effects and Underlying Processes” (2017) menyatakan, apa yang dikatakan media belum tentu fakta. Terkadang, informasi yang belum terverifikasi pun bisa disajikan berulang-ulang sampai dipercaya khalayak sebagai kebenaran.
Hari ini, kultivasi enggak hanya terjadi lewat TV dan surat kabar, tapi juga media sosial yang bekerja menurut aturan main algoritme. Dalam konteks ini, wajar jika sebagian orang meyakini ijazah tersebut palsu karena seringnya narasi tersebut muncul di banyak platform media sosial.
Jika demikian situasinya, opini publik terbentuk bukan karena mereka malas mencari kebenaran, tapi karena ekosistem media sosial membuat satu jenis narasi lebih dominan, sehingga lebih mudah dipercaya.
Data dari Drone Emprit yang dikutip dari Kumparan menunjukkan, 78 persen sentimen terkait isu ijazah Jokowi di X bersifat negatif. Artinya, mayoritas warganet di X cenderung percaya kalau ijazah tersebut palsu.
Tapi bukannya sudah ada klarifikasi, ya?
Yap! Klarifikasi memang sudah dilakukan, baik oleh UGM maupun Bareskrim Polri. Namun, menurut James Shanahan (peneliti dari Indiana University) dan Michael Morgan (peneliti dari University of Massachusetts Amherst) dalam Television and Its Viewers: Cultivation Theory and Research (2009), persepsi publik enggak hanya dibentuk oleh fakta, tapi juga simbol dan cara komunikasi. Jadi, publik enggak hanya melihat pada apa yang disampaikan, tapi juga bagaimana dan oleh siapa pesan itu disampaikan.
Kondisi ini terlihat dalam penjelasan Rizal. Menurutnya, bagi sebagian masyarakat, klarifikasi tersebut belum cukup karena minimnya transparansi dalam investigasi, kredibilitas dokumen yang masih dipertanyakan, hingga lemahnya penanganan hoaks oleh instansi. Oleh karena itu, muncul desakan agar Jokowi mengambil langkah terbuka.
Baca Juga: 27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri
Apakah Menunjukkan Ijazah Bisa Mengakhiri Polemik ini?
Menurut Rizal, transparansi ijazah ke publik tidak akan langsung menutup isu—karena skeptisisme yang sudah mengakar. Namun, ia menilai langkah itu tetap penting untuk mengurangi spekulasi dan memberi bukti langsung kepada mereka yang masih ragu.
Pandangan ini sejalan dengan yang disampaikan Lely Arrianie, Guru Besar Komunikasi Politik LSPR. Menurutnya, transparansi ijazah bukan sekadar klarifikasi, tapi bentuk tanggung jawab etis seorang mantan Presiden RI. Maka, ia menilai, segala sesuatu tentang Jokowi harus terbuka.
“Supaya tidak menempel (isu ijazah palsu), ya selesaikan. Pak Jokowi yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan itu,” tambahnya.
Pada akhirnya, polemik ini bukan hanya tentang selembar ijazah, tapi juga kredibilitas kepemimpinan dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Dalam era di mana persepsi dapat mengalahkan fakta, langkah kecil dalam transparansi bisa berarti besar dalam menjaga warisan seorang pemimpin.
Bukan Kali ini Saja Negara Abai
Ketika mengikuti isu ini, sebagian orang bertanya-tanya “kenapa negara begitu sulit untuk jujur?” Bagi kelompok minoritas, situasi ini bukan hal baru.
Mereka sudah lama hidup di tengah sistem yang enggak pernah benar-benar mau mendengar suara mereka, apalagi kasih penjelasan yang pasti.
Kalau sekarang sebagian orang merasa digantung tanpa ada kejelasan, teman-teman kita, kelompok minoritas, sudah lebih lama merasakannya. Bagi mereka, diabaikan dan dilupakan itu bukan kejadian musiman. Itu kenyataan yang terus berulang.
Jadi, kalau hari ini masyarakat marah karena klarifikasi ijazah enggak pernah totalitas, bayangkan bagaimana rasanya jadi mereka yang sejak awal minim dikasih ruang untuk bersuara?
Ini bukan cuma soal secarik dokumen, tapi kepercayaan yang pelan-pelan terkikis. Kelompok minoritas tahu persis rasanya karena mereka sudah lama hidup di negara yang kerap menutup telinga.
