Saya suka HipHop dan Dangdut. Maka saat ada musisi yang menggabungkannya, tentu saja saya bahagia bukan main. Sayangnya, sesekali rasa bersalah muncul saat berdendang di atas lirik seksis yang mengobjektifikasi perempuan.
Community Park PIK 2, Jakarta malam itu relatif ramai. Ada panggung besar dan penonton yang menunggu penampil selanjutnya. Suasana lumayan tenang, hanya ada suara obrolan dan tawa. Semua berubah ketika tiga videotron di panggung menunjukkan wajah dan nama penampil selanjutnya, sekaligus memberi tahu konser akan segera dimulai.
“Tenxi! Tenxi! Tenxi!” teriak kerumunan dengan kompak. Disjokey masuk dan berdiri di tengah panggung, memutar ketukan kendang dan hi-hat, mengatur tempo trombone yang dimainkan secara stacato. Tenxi pun masuk, mengenakan kaos polo, dan topi, serta bandana hitam yang menjuntai dari atas kepalanya.
“Jangan telepon baby aku lagi busy / jangan tanya apa aku lagi tinggi,” lantunnya dengan suara autotune khas rapper atau penyanyi RnB zaman sekarang. Tak butuh waktu lama hingga penonton ramai-ramai menyanyikan lirik demi lirik dan bergoyang dibalut instrumen bergenre Hipdut, akronim untuk HipHop Dangdut.
Genre ini pertama kali meledak berkat lagu “Garam & Madu” karya Tenxi, Naykilla, dan Jemsii yang jadi tren di TikTok. Formulanya sama: Kendang, drum, dan synthesizer, membalut vokal dengan autotune yang menyanyikan lirik enteng dengan rima yang catchy.
Bagi orang seperti saya yang sulit tidak goyang ketika mendengar kendang dan beat HipHop, Hipdut jadi inovasi yang saya dengarkan hampir setiap hari. Masalahnya, dalam setiap goyangan, ada rasa bersalah ketika mendengar lirik beberapa lagu Hipdut yang mengobjektifikasi perempuan.
Baca juga: “BIRU” dari Biru Baru: Memotret Rumitnya Emosi dengan Lirik Simpel
Lirik Bias Gender
Tidak dibuat untuk memesona lewat lirik yang indah nan memukau, kebanyakan lagu Hipdut bercerita tentang romansa, patah hati, serta gaya hidup remaja yang isinya pesta dan cinta. Maka, ketika saya mengeklik judul lagu bergenre Hipdut di platform streaming musik, instrumen ramai yang bikin goyang adalah tujuan utama.
Ini juga berlaku ketika Tenxi mengeluarkan album bertajuk ‘Puting Beliung’ yang dirilis pada 29 Agustus. Di dalamnya ada lagu yang familier karena sudah jadi tren TikTok, seperti ‘Kasih Aba-Aba’. Liriknya bercerita tentang pasangan tanpa status yang saling menunggu aba-aba.
“Aku wish you best / kamu yang the best / kata mamaku / ‘masih muda banyak waktu’.” Tipe lirik catchy yang enggak seserius itu untuk direnungkan dan dipikirkan terlalu dalam. Namun, tetap saja kalimat yang kurang bermakna itu saya muntahkan dari mulut setiap mendengarkan Kasih Aba-Aba karena nada vokal yang enak buat sing along.
Semua track digarap dengan formula penulisan yang sama. Namun ada beberapa lagu yang muatannya tidak selugu itu. Lagu Coba Lagi misalnya, sudah bias gender sejak dalam premis. Bercerita tentang lelaki yang mengincar perempuan di klab, banyak penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan dalam lagu ini.
Misalnya, saat Tenxi menyanyikan, “you know I can break your back / no string attached,” “semua cewek cantik bikin nagih”, atau “langsung bungkus / enggak usah basa-basi,” ia menggambarkan perempuan sebagai objek seksual yang hanya perlu dinilai dari fisik.
Kesan ini juga terlihat pada track berjudul Apa Lagi. Liriknya bertanya kepada seseorang yang berpikir ia adalah satu-satunya dalam kehidupan romansa si penyanyi. Sementara, si penyanyi menjawab pertanyaannya sendiri dengan berkata, “bitch, I’ll be fucking for fun.”
Baca juga: Dari ‘Backburner’ sampai ‘The Apartment We Won’t Share’: Kenapa Sosok Ibu dan Ayah Kerap Muncul di Lagu NIKI?
Bukan yang Pertama
Masalahnya, Hipdut bukan satu-satunya genre yang liriknya merendahkan perempuan. Hip-Hop juga punya masalah yang sama. Sejak Gangster Rap subur di era 90-an, liriknya sudah tidak ramah gender. Dipanggil “bitch” dan “hoes”, perempuan selalu diposisikan sebagai objek seksual yang tidak terlalu penting.
Hal ini tercatat dalam jurnal berjudul “Misogyny in Rap Music A Content Analysis of Prevalence and Meanings”. Weitzer dan Kubrin (2009) mengatakan lirik-lirik ini tidak terlahir dari ruang hampa. Ia datang dari tuntutan industri dan pemikiran masyarakat yang masih misoginistik.
Musisi yang hidup dalam sistem patriarki, cenderung menelurkan pandangan personal dengan bahasa yang juga mereka dengar sehari-hari. Cara pandang ini misalnya, ditunjukkan oleh rapper Mase dalam lagu berjudul I Need to Be (1997).
Mase menceritakan pengalaman bertaruh uang dengan teman-teman untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Weitzer dan Kubrin mencatat, di lingkungan kumuh di Amerika Serikat (AS), laki-laki remaja sering kali melakukan hubungan seksual untuk mengeklaim maskulinitas di hadapan teman sebaya.
Penelitian yang sama pun mengungkap, lirik-lirik misoginis diapresiasi oleh industri musik. Fakta ini didapat dari lagu rapper Too $hort berjudul, Thangs Change. Ia bilang awalnya tak mengerti kenapa rapper selalu merendahkan perempuan. Namun akhirnya ia tetap melakukannya karena dibayar sangat tinggi untuk berbicara buruk soal perempuan.
Fenomena ini pun tidak hanya menyasar laki-laki, perempuan rapper di era itu juga punya kebiasaan yang sama. Lil Kim dalam lagunya, Custom Made melanggengkan stigma gold digger yang kental di masyarakat. Dalam Custom Made, Kim berkata hanya berhubungan seksual dengan lelaki kaya, untuk mendapatkan uang setelahnya.
Semua premis dan lirik lagu yang bikin ngilu ini, lahir dari realitas sosial dan apresiasi industri yang tidak ideal. Pertanyaannya: Apakah lagu seperti ini harus dihindari dan tidak didengar lagi untuk selamanya?
Baca juga: ‘High School in Jakarta’: Nostalgia dan Patah Hati NIKI di Masa SMA
Pilihan
Ada dua perspektif bagus yang bisa jadi pilihan dalam menghadapi rasa bersalah saat menikmati lagu misoginis: Berhenti sama sekali atau tetap mendengarkan dengan catatan.
Dalam esai reflektifnya di The Guardian, jurnalis AS, Hasfa Lodi membagikan kisahnya berhenti mendengarkan lagu Eminem. Foto rapper itu tertempel di dinding kamarnya, saat remaja. Namun, seiring berjalannya waktu, ia memiliki anak dan tak bisa membayangkan anaknya mendengarkan materi yang sama.
Maka, setiap lagu HipHop bermuatan misoginis lewat di platform streaming musik, ia langsung mengeklik next. Ia tak nyaman lagi begitu sadar materi itu merendahkan perempuan. Ketidaknyamanan itu akhirnya membuatnya berhenti mendengarkan lagu bermateri misoginis dan seksis sama sekali.
Di sisi lain, penulis, Kristen Solle tetap mendengarkan lagu-lagu bermuatan misoginis, meski menyayangkannya. Kristen memberi garis tegas antara pendengar dan pesan moral yang musik itu promosikan. Menurutnya, setiap pendengar punya agensi sendiri untuk memaknai lagu dan tidak memelihara aspek negatif yang dinyanyikan para musisi.
“Aku beberapa kali menjadi korban pelecehan seksual, tetapi aku tidak akan menyalahkan lagu untuk hal yang menimpaku,” tulisnya di Bustle.com.
Merujuk Thenewfeminist.co.uk, memperbaiki lirik bermuatan misogini dan seksis bukan perkara menghentikan satu-dua musisi. Akan sangat indah rasanya jika semua lagu enak memiliki lirik yang ramah gender. Namun, itu hanya bisa diraih lewat perjalanan panjang mengubah cara pandang masyarakat yang, sayangnya, masih patriarkal.
Mungkin setelah melewati jalan panjang itu, akan ada lagu Hipdut yang mempromosikan kesetaraan gender? Siapa yang tahu.
















