Hal-hal yang Tak Pernah Dikampanyekan Gerakan Menikah Muda
Gerakan menikah muda mengabaikan pentingnya kesiapan mental dan finansial, serta isu kesehatan reproduksi.
Gerakan menikah muda semakin masif bermain di media sosial, dengan kutipan-kutipan romantis ditambah dalil-dalil agar semakin meyakinkan generasi muda untuk segera menikah. Alasan utamanya: Menghindari zina. Dari sini saja gerakan ini sudah tidak bisa diterima akal sehat, setidaknya untuk saya. Lawan dari zina adalah tidak zina. Alih-alih mengedukasi soal risiko hubungan seks di usia dini, gerakan ini malah mengampanyekan bahwa hubungan seks yang “halal” adalah ibadah. Hal ini juga mereduksi makna pernikahan dari sebuah institusi suci menjadi “legalisasi” seks belaka.
Selain itu, saya juga heran, menurut mereka pacaran akan selalu berujung pada maksiat. Saya punya banyak teman yang melakukan kegiatan positif dengan pasangannya dan menurut saya sangat menginspirasi.
Tulisan Elma Adisya di Magdalene soal gerakan menikah muda semakin meyakinkan saya kalau hal ini bukan kekhawatiran saya pribadi. Gerakan ini menyasar generasi muda yang kebanyakan masih labil secara mental dan meyakinkan mereka bahwa menikah adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Jika dilihat di kolom komentar maka akan banyak anak muda yang ingin segera melangsungkan pernikahan seakan dirinya adalah manusia paling menyedihkan karena belum menemukan jodoh. Dan rata-rata mereka masih dalam usia sekolah, usia produktif. Bukannya sibuk merencanakan studi atau mempersiapkan ujian masuk universitas, anak-anak muda yang jumlahnya banyak ini ternyata malah kebelet kawin.
Gerakan ini menyederhanakan pernikahan yang katanya hanya butuh wali, penghulu bahkan sampai mencantumkan nominal rupiah agar sebuah hubungan “sah” secara agama dan negara. Teman saya berseloroh, “Iya nikah, besoknya minta makan di rumah Emak”.
Ada beberapa hal yang dilupakan propaganda gerakan tanpa pacaran atau menikah muda, entah karena lupa atau karena unsur kesengajaan. Pertama, kesiapan mental. Masih ingat kasus selebgram bernama Salmafina yang menikah di usia 18 tahun dengan seorang hafiz Alquran bernama Taqy yang berusia 22 tahun? Pernikahan dilangsungkan agar si perempuan hidupnya makin baik setelah menikah karena sang suami adalah sosok yang taat beragama.
Di luar urusan rumah tangga yang pastinya jadi urusan pribadi mereka, pernikahan tersebut hanya berusia tiga bulan. Apa yang diharapkan ketika orang tua mengizinkan anaknya menikah di usia semuda itu di tahun 2017 (tahun pernikahan mereka). Perceraian adalah hal sulit bagi setiap pasangan dan bayangkan anak berusia 18 tahun harus berurusan dengan Pengadilan Agama, menunggu putusan cerai dari majelis hakim. Saya yakin bukan hal itu yang Salmafina pikirkan ketika dia menerima pinangan mantan suaminya.
Kita memang tidak bisa menggeneralisasi satu kasus. Tapi berapa banyak remaja di bawah 20 tahun yang sudah bisa berpikir logis dengan segala konsekuensi tindakannya? Usia remaja adalah masa mencari jati diri dengan emosi dan ego yang meledak-ledak. Logika menjadi nomor ke sekian pada usia belasan. Singkatnya, usia belasan adalah usia untuk mengeksplorasi diri dengan segala trial and error kehidupan.
Keputusan untuk menikah seharusnya diambil di saat kita sudah bisa berpikir matang tentang baik buruknya sesuatu, bukan cuma soal resepsi dan unggahan romantis di media sosial. Setidaknya mental kita sudah dewasa untuk menyikapi perbedaan kita dan pasangan, masalah yang akan terjadi setelah pernikahan, mertua yang rese, keuangan yang naik turun atau hal lainnya yang tak terduga dalam sebuah pernikahan. Apa jadinya sebuah pernikahan tanpa kesiapan mental?
Kedua, kesiapan finansial. Gerakan menikah muda cenderung mereduksi hal ini dengan mengatakan kalau menikah bukan soal siap atau tidak (salah satunya adalah kesiapan finansial). Padahal, tidak usah munafik. Buang air kecil di toilet umum saja perlu uang. Saya tidak mengatakan bahwa pernikahan itu hanya soal uang. Tapi gerakan nikah muda menurut saya terlalu hipokrit dengan kampanyenya yang mengatakan kalau cinta maka tidak butuh kesiapan, yang penting niat.
Gerakan ini mencontohkan pernikahan anak ustaz ternama yang juga menikah di usia muda dan sampai saat ini baik-baik saja. Ya, dia beruntung karena ayahnya ustaz ternama dan pengusaha sukses. Bagaimana dengan pasangan lainnya? Yang belum stabil secara finansial namun menjadikan mereka sebagai #relationshipgoals?
Saya juga tidak mengatakan bahwa untuk menikah seseorang harus punya penghasilan minimal. Tapi setidaknya kesiapan menikah juga termasuk kesiapan pasangan baru untuk menghidupi diri tanpa campur tangan orang tua dan mertua dan hidup dengan layak. Pernikahan tidak seharusnya malah menambah beban keluarga besar, bukan? Apalagi ditambah dengan kehadiran anak. Hal ini harus menjadi pertimbangan penuh sebelum menikah. Semua sepakat anak adalah titipan Tuhan yang harus dirawat dengan gizi yang baik, pendidikan serta lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhannya. Jangan gara-gara menikah hidup malah makin ribet dan ujung ujungnya anak yang jadi korban.
Ketiga, kesehatan reproduksi. Gerakan menikah muda mengabaikan hal yang satu ini. Perempuan yang melakukan hubungan seks dalam usia dini lebih berisiko untuk terkena kanker serviks. Kanker serviks adalah pembunuh nomor dua bagi perempuan Indonesia . Mengutip dari situs hellosehat.com, penelitian British Journal for Cancer menunjukkan bahwa perempuan muda dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah lebih berisiko terjangkit infeksi HPV karena melakukan hubungan seks empat tahun lebih cepat dari perempuan muda dengan kondisi ekonomi yang lebih baik. Belum lagi organ reproduksi perempuan di bawah usia 20 tahun yang belum siap mengandung dan melahirkan. Ujung-ujungnya, kesehatan reproduksi yang terabaikan akan meningkatkan risiko kematian ibu dan anak, tingginya anak lahir cacat, dan stunting. Bukankah agama manapun sangat memuliakan perempuan? Berarti sepakat, dong, bahwa kesejahteraan dan kesehatan perempuan adalah prioritas utama?
Keempat, komitmen. Hal terakhir yang menurut saya penting namun diabaikan dalam kampanye menikah muda adalah soal komitmen. Hal yang satu ini abstrak tapi merupakan fondasi langgengnya sebuah pernikahan. Saya terdengar sok tahu karena saya sendiri belum menikah, namun apa iya kamu akan memutuskan untuk hidup bersama dengan seseorang seumur hidupmu tanpa komitmen?
Saya rasa komitmen dibutuhkan dalam semua hal, dalam mengejar cita-cita, dalam pekerjaan dan tentu saja dalam sebuah hubungan apalagi pernikahan. Komitmen menjaga sebuah pernikahan tetap terjaga di saat susah dan tetap setia kepada pasangan di saat mungkin ada yang lebih baik dari dia. Karena tentu saja menurut saya pernikahan bersifat final dan komitmen untuk tetap bersama yang menjaga kita dan pasangan dari godaan dan hal-hal buruk tersebut. Saya bukan ahli pernikahan tapi saya percaya pernikahan tanpa komitmen tidak akan bertahan lama.
Daripada mengampanyekan “keutamaan” menikah muda kepada generasi muda yang masa depannya masih panjang, bukankah lebih baik kalau kita saling menginspirasi untuk mengejar mimpi, melanjutkan pendidikan, menekuni hobi, atau apa pun itu yang bersifat positif? Dengan mengembangkan potensi diri, kita juga akan mengembangkan relasi yang tentu saja meningkatkan kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang keren di luar sana. Karena pernikahan tidak sesederhana posting foto di Instagram, yang kadang juga membuat rumit memikirkan caption.
Shanaz Makrufa adalah seorang introvert, mantan mahasiswa ilmu politik yang sekarang lebih disibukkan dengan isu tambang dan energi. Suka main di pantai tapi tidak suka dihakimi saat sedang pakai bikini.