Korean Wave

‘Uri Good Boy’ Han Ji Pyeong dan Anak Yatim Piatu di Korea Selatan

Han Ji Pyeong dalam drakor Start-Up memperlihatkan realitas anak yatim piatu di Korea Selatan.

Avatar
  • December 29, 2020
  • 5 min read
  • 1700 Views
‘Uri Good Boy’ Han Ji Pyeong dan Anak Yatim Piatu di Korea Selatan

Ada satu kemiripan antara perusahaan perintis, seperti yang digambarkan drama Korea dalam karakter Han Ji Pyeong Start-Up, dan anak yatim piatu di Korea Selatan. Berdasarkan data, sekitar 90 persen di antaranya GAGAL.

Dalam dunia perusahaan rintisan alias start-up, berlaku rasio keberhasilan yang diyakini secara umum: Hanya 1 start-up yang berhasil dari 10 yang didirikan. Karena itu, dibutuhkan accelerator yang memberikan mentorship dan pendanaan awal untuk meningkatkan peluang keberhasilan.

 

 

Pada drakor Start-Up,accelerator itu bernama Sandbox. Salah satu tokoh drama ialah Han Ji Pyeong, manajer investasi senior SH Ventures Capital, sebuah perusahaan pendanaan pendukung Sandbox. Ia juga mentor start-up.

Han Ji-pyeong (Kim Seon-ho) digambarkan sukses, tampan, cerdas, berhati tulus, namun bermulut tajam. Ia hidup sendirian di apartemen mewah yang menghadap Sungai Han. Teman ngobrol-nya hanya Young Sil, speaker pintar berbasis Artificial Intelligence (AI).

Baca juga: Mengapa Anak dari Keluarga Miskin Cenderung Tetap Miskin Saat Dewasa: Riset

Sebagai manajer investasi yang jeli dan cermat, Han Ji Pyeong tak pernah bertaruh. Rekornya: Semua start-up yang tak lolos penilaiannya untuk mendapatkan investasi tak ada yang berhasil.

Sampai di sini, kita mungkin belum menyadari, kesuksesan Han Ji Pyeong sebetulnya “hasil pertaruhan” haelmoni Choi Won-deok, nenek penjual camilan corndog, lima belas tahun silam.

drakor start up

Drakor Start-Up dan Stigma Anak Yatim Piatu di Korea 


Han Ji pyeong adalah anak yatim piatu yang sudah “kadaluwarsa” sebelum sempat diadopsi. Di Korea Selatan, anak panti asuhan berusia 18 tahun (19 tahun usia Korea), harus keluar dan hidup mandiri untuk memberi tempat bagi anak-anak baru.

Semakin dewasa anak yatim piatu, maka semakin kecil kemungkinannya diadopsi. Hanya bayi “lucu dan sehat” yang berpotensi diadopsi, itu pun terbatas oleh keluarga-keluarga di Amerika Serikat. Sejak berakhirnya Perang Korea (1953), Korea Selatan termasuk salah satu negara yang banyak mengirim anak-anak untuk diadopsi di luar negeri. Minat adopsi di dalam negeri memang sangat rendah.

Kultur masyarakat Korea Selatan sangat mementingkan garis darah leluhur. Ada semacam tabu bagi keluarga yang mengadopsi anak yang tak jelas asal usulnya. Kalaupun mengadopsi, fakta itu harus ditutupi rapat-rapat agar tak mengundang keributan keluarga besar.

Karena kultur itu juga, anak yatim piatu menerima stigma negatif sepanjang hidupnya sebagai anak haram yang tak jelas asal usulnya. Mereka diperlakukan diskriminatif untuk urusan pekerjaan dan pernikahan. Tanpa kartu keluarga, mereka tak akan diterima di perusahaan yang baik. Anak yatim piatu juga jarang diterima sebagai menantu oleh “keluarga baik-baik”.

Setiap tahun, ada sekitar 6.000 anak yatim piatu yang harus keluar dari panti asuhan dengan dibekali uang sekitar 3-5 juta won. Ji Pyeong dikisahkan menerima 2 juta won (2009), yang akan habis jika dipakai untuk deposit kamar kecil. Ia tak akan punya uang untuk ongkos sewa kamar dan biaya makan.

Tanpa kartu keluarga, tanpa pendamping, tak banyak yang bisa dilakukan anak seperti Ji Pyeong, selain bertahan sebisanya di jalanan. Gambaran yang menakutkan ini mendorong angka bunuh diri. Sekitar 10-15 persen anak panti asuhan bunuh diri sebelum berusia 18 tahun.

Baca juga: Kesuksesan Bukan Cuma Soal Ikhtiar, Tapi Juga Latar Kelas Sosial

Rasio keberhasilan anak yatim piatu yang “lulus” dari panti asuhan pun lebih rendah dari rasio keberhasilan startup. Mengutip artikel Korea Times, hanya 7 persen yang mandiri dan bekerja, sebagian besar bekerja informal, atau pekerjaan dengan gaji rendah. Sedangkan 93 persen lainnya terlibat dalam tindak kriminal, masuk ke  industri ilegal, atau menggelandang di jalanan.

Berdasarkan data ini, sosok Han Ji Pyeong mungkin hanya satu dari sejuta kemungkinan. 

Drama Start-Up tidak menceritakan lima belas tahun perjalanan hidup Ji Pyeong sejak ia pindah ke Seoul untuk kuliah. Kesimpulan paling realistis yang tersirat dari sejumlah adegan dan dialog adalah bahwa Ji Pyeong yang cerdas bisa bertahan hidup berkat investasi saham, lalu mendapat beasiswa untuk kuliah di Amerika Serikat dan bekerja di sana, kemudian kembali ke Korea Selatan saat SH Venture Capital dibentuk.  

Dalam dunia nyata, apakah sosok ini ada?

Tak sama persis dengan Ji-pyeong, tapi penyanyi opera Choi Sung-bong mungkin bisa mewakili kelompok 7 persen itu.

penyanyi opera Choi Sung-bong
Sung-bong menjadi juara kedua Korea Got Talent 2011 pada usia 22 tahun. Anak yatim piatu ini kabur dari panti asuhan pada usia 5 tahun karena tak tahan dipukuli, lalu bertahan di jalanan selama 10 tahun. Hidupnya mulai berubah ketika ia menemukan orang baik, Park Jung-soo.

Video audisinya yang mengharukan cukup viral saat itu. Kisah Sung-bong dan Jung-soo bahkan sempat dibuat menjadi drama pendek stasiun tv KBS. 

Han Ji Pyeong Angel Investor Penyelamat dalam Drakor Start-Up

Ada satu kesamaan pada tokoh fiktif Ji Pyeong dan penyanyi Sung-bong. Pada usia remaja yang kritis, keduanya bertemu seseorang berhati malaikat.

Penulis Park Hye-ryun, seperti juga kebanyakan penulis drakor lainnya yang sering memunculkan latar belakang kisah anak yatim piatu, lagi-lagi memperlihatkan minimnya peran negara, yang masih dikalahkan kultur setempat, dalam mengurus anak-anak terlantar.  

Baca juga: Pandangan Negatif terhadap Kelompok Miskin Tak Hanya Salah, Tapi Juga Berbahaya

Untuk Ji Pyeong, “angel investor” itu adalah haelmoni (nenek) penjual corndog, Choi Won-deok. Haelmoni mendekati Ji-pyeong yang kebingungan di tengah hujan deras dan ‘bertaruh’. Ia mempercayakan kunci kedai kepada remaja yang tak dikenalnya, mempersilahkannya untuk menginap. 

Meski sudah berniat baik, bahkan sampai menyiapkan corndog dan yakult untuk Ji Pyeong, haelmoni tetaplah orang Korea yang biasa dengan stigma anak yatim piatu. Hatinya dag dig dug dan sempat berprasangka buruk saat ia ingat telah meninggalkan kaleng uang di kedai. Ketika terbukti keliru, ia mulai memanggil Ji Pyeong dengan sebutan “good boy”. 

Han ji pyeong Start Up

Han Ji Pyeong yang membiasakan diri untuk keras terhadap diri sendiri, mulai tersentuh dengan kebaikan hati haelmoni, meski terbeban dengan sebutan ‘good boy’. Terbiasa tak diinginkan, ia terus terbelenggu rasa insecure yang tak berkesudahan.

Nasib Ji Pyeong yang ngenes ini, seperti makna namanya. Kata “Han” dalam bahasa Korea merupakan sebuah ekspresi perasaan tak berdaya atas rintangan yang ada, namun masih sedikit berharap.

Tapi Ji-pyeong punya kesempatan untuk menjadi “sandbox’”bagi anak-anak yatim piatu. Pada akhir drama, ia dikisahkan “bertaruh” pada sebuah start-up, semata-mata karena sang CEO seorang yatim piatu dan punya suara seperti Yeoung Seil.

Jika ada episode ke-17 Start-Up, maka barangkali kita bisa melihat foto Han Ji Pyeong yang bahagia bersama anak-anak asuhnya. Dengan begitu, kita tahu uri good boy telah membayar utang budinya kepada haelmoni. Lunas. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Sica Harum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *