Hari-hari ini, sudah jadi hal lumrah jika perempuan memilih bekerja di luar rumah tangga. Pasalnya, pendidikan tinggi yang mereka jalani selama ini, menempa mereka sebagai perempuan maju, bebas, kritis, dan berani. Bagi beberapa perempuan, mereka memilih bekerja untuk mengembangkan diri, sisanya demi memenuhi tuntutan ekonomi. Tulisan ini tak otomatis menegasikan ibu-ibu yang memilih bekerja di sektor domestik, karena faktanya mengurus rumah pun sama beratnya dilakoni: Durasi kerja 24 jam, tanpa gaji, minim apresiasi. Pendidikan tinggi yang dijalani perempuan pun tak pernah sia-sia, apapun putusan hidup yang mereka pilih: Jadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga.
Buat saya sendiri, sungguh menyenangkan sebagai perempuan, saya bisa tetap produktif, memiliki penghasilan, dan bisa bermanfaat untuk orang lain. Namun pasca-menikah, terlebih memiliki anak, akan muncul kebimbangan untuk memilih mana yang paling tepat dilakukan sebagai ibu. Semua pilihan ada baik buruknya dan tentu saja tak bisa dilepaskan dari stigma dan sinisme tetangga. Jika saya memilih bekerja, saya bisa tetap berdaya secara ekonomi, tapi tentu saja proses tumbuh kembang anak jadi sedikit dikorbankan dalam hal ini. Begitu pula sebaliknya.
Jika akhirnya memilih tetap bekerja, para perempuan yang sudah jadi ibu pun rentan dihantui rasa bersalah karena distigma terus-menerus. Suara sumbang itu datang, entah dari lingkungan maupun dari pemikirannya sendiri.
“Bagaimana caramu mengurus anak jika bekerja di luar?”, “Bagaimana anak dapat tumbuh dengan baik tanpa sosok penuh seorang ibu?”, “Bagaimana kalau tidak ada ikatan batin antara anak dan ibunya karena sang ibu terlalu sibuk?”
Semua kekhawatiran itu valid dan memang wajar dirasakan. Apalagi perempuan di Indonesia telah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang stigma di berbagai lini kehidupan. Jangankan perempuan menikah, perempuan yang memilih lajang, perempuan yang memilih tak punya anak, perempuan yang memilih tinggal bersama tanpa perkawinan pun akan terus-menerus dilekati stigma. Ini termasuk perempuan yang jadi ibu di mana sejak dulu sudah terbiasa dengan konstruksi pemikiran bahwa mereka akan menanggung beban ganda setelah memilih jadi perempuan karier.
Jika sudah begini, selemah-lemahnya iman yang bisa dilakukan bagi seorang ibu pekerja adalah menjalani apapun pilihannya dengan sebaik-baiknya.
Baca juga: Seruan Agar Perempuan Berkarya Jangan Kecilkan Perempuan Tak Berdaya
Jangan Pernah Ragukan Diri Sendiri
Langkah awal menjadi seorang working mom adalah membuang rasa bersalah. Yakinlah pada diri sendiri bahwa seorang perempuan pantas untuk bekerja serta mengejar impian dan kariernya setinggi mungkin. Yakinlah juga pada diri sendiri, anak-anak seorang working mom tumbuh sama baiknya dengan anak-anak yang ibunya berada di rumah. Yakinlah bahwa bekerja tidak akan memengaruhi keintiman antara ibu dan anak.
Seorang working mom dan anaknya justru malah memiliki waktu yang berkualitas dengan waktu mereka yang terbatas. Ibu yang bekerja pun cenderung bakal memberikan perhatian yang lebih kepada anak dan menghargai waktu yang dihabiskan bersama mereka.
Memang betul, ibu yang bekerja bisa mengalami tekanan berlipat ganda, juga rasa lelah. Apalagi ketika mereka dituntut untuk profesional di lingkungan kerja, tapi anak-anak juga membutuhkan perhatian di rumah.
Pengalaman saya, pagi-pagi buta sebelum bekerja, saya tetap harus mengurus segala keperluan suami dan anaknya terlebih dahulu. Menyiapkan teh, memasak nasi dan lauk, memandikan anak, serta memastikan rumah dalam kondisi yang bersih. Bekerja selama lebih kurang 8 jam sehari dengan minimal 5 hari kerja. Belum ditambah kalau ada lembur, sehingga durasi kerja saya ikut bertambah. Pulang sudah dalam keadaan letih dan penat, tetapi masih harus meluangkan waktu untuk mengurus keluarga.
Baca juga: ‘OK Boomers’: Mengenalkan Kesetaraan Gender pada Ayah
Kelola Waktu, Berbagi Peran
Kita harus sadar, perempuan bukan makhluk bertangan delapan yang sempurna. Mereka tak dituntut untuk menyelesaikan semuanya sendirian. Karena itulah salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan berbagai peran domestik bersama pasangan atau anggota keluarga lain. Tugas domestik sah-sah saja dilakukan gotong royong berdua bersama pasangan. Urusan memasak, membersihkan rumah, mengurus rumah adalah kerja tim berdua dalam relasi yang setara.
Selain itu, tips lain yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan manajemen waktu seorang ibu. Seorang working mom mesti pandai-pandai mengatur skala prioritas, mana yang ingin didahulukan, mana urusan yang bisa ditunda sesaat. Di titik inilah, seorang ibu pekerja dituntut untuk luwes, punya keterampilan bernegosiasi dengan atasan atau rekan kerja, pun bisa meyakinkan anak-anak di rumah bahwa cinta ibu tak berkurang kendati waktu bersama harus dibagi.
Baca juga: Sulitnya Gapai Impian Setelah Jadi Ibu
Caranya bagaimana? Ibu pekerja bisa saja memanfaatkan waktu luang untuk menelepon atau say hi di video call dengan anaknya. Di hari libur, mereka bisa meluangkan waktu bersama keluarga. Entah bepergian ke luar atau sekadar bersantai di rumah bersama suami dan anaknya. Sesekali mereka juga bisa menyempatkan sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Dengan mengetahui apa yang menjadi prioritas mereka, semua pekerjaan baik urusan kantor maupun rumah dapat terselesaikan dengan maksimal.
Untuk bisa melakukan itu semua memang tak mudah. Karena itulah buat saya, seorang working mom akan tetap menjadi seorang full-time mom, sama seperti ibu rumah tangga. Jangan dengarkan stigma publik yang menyebut bahwa nilai ke-ibu-anmu otomatis turun ketika memilih menomorduakan keluarga. Semangat untuk ibu-ibu pekerja. Kalian sangat hebat!