Issues Politics & Society

Bias Tak Terlihat dalam Istilah “Resesi Seks”

Resesi seks yang biasa digunakan media ternyata mengandung bias. Cara negara memandang seks dan reproduksi perlu diubah.

Avatar
  • April 28, 2023
  • 7 min read
  • 1437 Views
Bias Tak Terlihat dalam Istilah “Resesi Seks”

Belakangan, istilah resesi seks sedang gencar dipakai berbagai media di Indonesia. Ia sering muncul untuk menggambarkan fenomena penurunan angka kelahiran di negara-negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, Cina, dan Amerika Serikat.

CNBC Indonesia misalnya, Lewat narasi tentang maraknya penutupan ribuan sekolah di Jepang, melaporkan resesi seks mengancam stabilitas sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Narasi seperti ini direproduksi berulang kali oleh media online Indonesia lain.

 

 

Presiden Jokowi juga menggunakan istilah ini di pidato Rakernas Program Bangga Kencana dan Penurunan Stunting di Kantor BKKBN, Jakarta, Rabu (25/1) lalu.

“Pertumbuhan kita di angka 2.1 dan yang nikah 2 juta, yang hamil 4,8 juta, artinya di Indonesia tidak ada resesi seks,” kata Jokowi, dikutip dari CNN Indonesia.

Di platform digital sendiri seperti Twitter atau Instagram, resesi seks juga jadi isu panas. Menariknya, seperti disinggung dalam artikel Magdalene sebelumnya, warganet Indonesia banyak yang menyalahkan perempuan karena enggan memiliki anak alias childfree.

Padahal jika berbicara mengenai resesi seks, apalagi kaitannya dengan Jepang dan Korea Selatan, akar permasalahannya tidak sesimpel itu. Bahkan istilah resesi seks sendiri dinilai beberapa orang termasuk jurnalis dan seksologis, kurang tepat digunakan bahkan mengandung banyak bias.

Baca Juga: Restitusi Korban Kekerasan Seksual dan ‘Victim Trust Fund’ Masih Perlu Dipantau

Bias Heteronormatif

Mengutip The Atlantic, istilah ‘resesi seks’ secara khusus merujuk penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual suatu negara, yang memengaruhi rendahnya angka kelahiran.

Di Amerika Serikat contohnya, resesi selalu dicatat oleh lembaga negara Centers for Disease Control (CDC). Data mereka dari 1991 hingga 2017 misalnya dipakai untuk menggambarkan menurunnya kuantitas seks dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut data itu, persentase siswa sekolah menengah yang pernah melakukan hubungan seksual turun dari 54 jadi 40 persen.

Meskipun data CDC ini jadi salah satu sumber informasi terbesar yang tersedia mengenai kebiasaan seksual remaja dan mengindikasikan munculnya resesi seks di masyarakat Amerika Serikat, keakuratan data ini justru dipertanyakan menurut Lauren Vinopal, penulis dan jurnalis dalam opininya “The Sex Recession Is Bullshit”.

Data CDC ini dianggap mengandung bias karena secara khusus tidak memasukkan pengalaman kelompok LGBTQIA.

Bias ini oleh Adrienne Rich, feminis Amerika Serikat dalam esainya “Compulsory Heterosexuality and Lesbian Existence” pada 1980 disebut sebagai compulsory heterosexuality: Sebuah gagasan yang menekankan heteroseksualitas sebagai satu-satunya seksualitas yang benar dan “normal” di masyarakat, sehingga perlu dipaksakan ke setiap individu.  

Compulsory heterosexuality begitu mengakar di dalam masyarakat. Tercermin dalam banyak penelitian dan survei terkait seksualitas yang mengedepankan pengalaman individu-individu heteroseksual. Sebuah studi tahun 2015 dari Journal of marriage and the family misalnya, pernah membahas kurangnya data tentang hubungan sesama jenis.

Data yang ada tentang pasangan sesama jenis, dalam studi tersebut, diperoleh melalui metode yang sudah ketinggalan zaman dan “tidak sebanding dengan data yang diperoleh melalui penelitian tentang pasangan heteroseksual 30 tahun yang lalu”.

Bias dalam penelitian terkait seksualitas inilah yang sebenarnya menurut Kate Julian, editor senior di The Atlantic, menyulitkan kita untuk melihat populasi mana yang sebenarnya terkena dampak resesi seks. 

Padahal jika mengacu pada penelitian Michael Rosenfeld dari Universitas Stanford, kelompok minoritas seksual (ia mengambil sampel kelompok gay dan lesbian) cenderung menggunakan aplikasi online dating dengan tingkat yang jauh lebih tinggi daripada orang heteroseksual. Ini jadi medium bagi mereka untuk mencari partner seksual atau romantis.

“Perbedaan ini menimbulkan kemungkinan bahwa resesi seks merupakan fenomena yang sebagian besar terjadi pada kaum heteroseksual,” tulis Julian.

Baca Juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu

Pengerdilan Agensi Perempuan dan Alienasi terhadap Individu Aseksual

Selain kental dengan compulsory heterosexuality, istilah resesi seks juga dianggap tidak pas karena tidak mempertimbangkan agensi perempuan. Jessica Valenti, penulis feminis dan mantan kolumnis The Guardian dalam wawancara Insider mengatakan, ada perubahan yang cukup signifikan terhadap kesadaran tentang kualitas dan seks yang aman di antara para perempuan-perempuan muda.

Mereka kini lebih memahami hak-hak otonomi tubuhnya. Misalnya, sudah lebih berani mengatakan “tidak” pada sebuah hubungan atau tindakan seksual yang merugikan atau bikin tidak nyaman. Mereka lebih memahami konsen dan batasan untuk diri sendiri dan orang lain.

Hal ini tercermin dari pengalaman Julian yang mewawancarai beberapa perempuan muda yang baru menyadari mereka terlibat dalam hubungan seksual yang buruk (bad sex).

Dalam kasus Julian, saat ia mewawancarai beberapa perempuan muda terkait hubungan seksual mereka, ia banyak mendengar bagaimana hubungan seksual yang mereka lakukan dengan pasangan mereka sering kali didasarkan lewat konsen semu. Artinya, perempuan sebenarnya tidak memberikan konsen mereka kepada pasangan tetapi laki-laki tetap memaksakan kehendak mereka (seperti mencekik atau mengeluarkan sperma ke wajah perempuan) yang berujung pada ketidaknyaman perempuan melakukan hubungan seksual.

“Saya mendengar terlalu banyak cerita ‘Dia melakukan sesuatu yang tidak saya sukai seperti yang kemudian saya pelajari adalah hal yang umumnya dilakukan dalam film porno’” tulis Julian.

Ciara, guru berusia 25 tahun yang diwawancara British Vogue mengatakan, resesi seks nampaknya bukan istilah yang tepat digunakan mengingat sejalan dengan maraknya gerakan #MeToo. Banyak perempuan termasuk dirinya merasa lebih berani dan siap untuk meminta pasangannya melakukan sesuatu dalam hubungan seksual. Termasuk di dalamnya, lebih berani meminta pasangan laki-laki untuk memakai kondom. Hal yang tentunya berdampak pada penurunan kehamilan pada perempuan.

“Laki-laki yang tidur dengan saya seringnya tidak bertanya apakah saya pakai kontrasepsi di besok paginya,” kata Ciara yang biasanya berada dalam situasi begitu ketika mabuk dan lupa bertanya tentang kondom saat masih sadar. “Yang sebetulnya mengejutkan juga. Tapi, sekarang saya selalu menanyakannya di pagi hari, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan.”

Angle Chen, editor senior di WIRED dalam bukunya Ace: What Asexuality Reveals About Desire, Society, and the Meaning of Sex (2020) juga mengatakan istilah resesi seks sebenarnya problematik. Istilah ini mengalienasi pengalaman individu aseksual.

Chen menjelaskannya sebagai asumsi dan perilaku yang mendukung gagasan bahwa setiap orang normal memiliki hasrat seksual, bahwa tidak menginginkan seks (yang disetujui secara sosial) adalah tidak wajar dan salah, dan bahwa orang yang tidak peduli dengan seksualitas akan kehilangan pengalaman yang sangat penting dalam hidupnya.

Lewat compulsory sexuality, seks dianggap sebagai sesuatu yang spesial, signifikan, dan sumber dari kebahagiaan serta kepuasan hidup seseorang dibandingkan dengan aktivitas lain manusia. Ini membangun banyak asumsi tentang bagaimana kehidupan seks pasangan misalnya jadi barometer sehat atau tidaknya relasi suatu pasangan.

Compulsory sexuality juga menekankan amatonormativitas atau sebuah asumsi bahwa semua manusia mengejar cinta atau romantisme, terutama melalui hubungan jangka panjang yang monogami. Penekanan terhadap amatonormativitas dalam compulsory sexuality menghapus pilihan atau agensi seseorang dalam menjalani hidupnya sendiri. Hal yang kemudian menimbulkan bentuk ketidakadilan atau diskriminasi lain.

Baca juga: Kepanikan Moral, Dalih Basi Persekusi Dua Perempuan di Sumbar

“Jika seseorang tidak berada dalam hubungan romantis, mereka akan dikasihani atau diejek. Jika seseorang tidak menginginkan hubungan romantis sama sekali, mereka tidak berperasaan seperti pembunuh berantai. Janda pun menjadi makhluk yang menyedihkan, perempuan yang aneh dan tidak diinginkan,” tulis Chen.

Tak kalah pentingnya, menurut Chen penekanan compulsory sexuality dan amatonormativitas ini juga berdampak langsung pada ketakutan masyarakat kita terhadap sexless population atau populasi yang tidak punya hasrat seksual. Populasi ini adalah penyumbang masalah sosial dan ekonomi baru. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki pasangan hidup yang berarti mereka tidak dapat merawat diri mereka sendiri di masa tua dan jadi beban negara.

Ketakutan semacam inilah justru menurut Chen berbahaya karena mengaburkan permasalahan struktural yang sebenarnya. Chen menjelaskan perbincangan soal keharusan seseorang untuk berhubungan seksual atau menjalin hubungan romantis mengalihkan kita pada topik penting tentang tanggung jawab pemerintah dalam menjamin kesejahteraan jangka panjang penduduknya.

Ini termasuk mengubah undang-undang kesejahteraan dan ketenagakerjaan untuk membuat perawatan lansia lebih mudah diakses secara finansial. Serta juga memberikan kompensasi yang lebih adil kepada para pengasuh (caretaker).

Selain itu, juga punya tanggung jawab besar dalam memberikan akses fertilitas dan pengasuhan yang setara dan adil.

Misalnya, mengakomodir secara penuh hak reproduksi perempuan dengan memberikan layanan inseminasi buatan kepada perempuan yang ingin menjadi ibu tunggal tetapi tidak menginginkan pasangan. Atau memberikan perlindungan hukum dan jaminan sosial bagi individu-individu aseksual yang tetap ingin memiliki anak dan melakukan co-parenting, terlepas orientasi seksualnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *