Isu Stunting: Ramai Dipakai Saat Pilkada, Solusinya Tak Pernah Jadi Nyata
Riset: isu stunting sering dipakai dalam kampanye pilkada, tapi tata kelola solusinya tak pernah jelas.
Masalah bayi tengkes (stunting) dan jaminan pembiayaan kesehatan adalah dua isu kesehatan yang populer dalam masa kampanye politik, terutama pemilihan kepala daerah (pilkada).
Riset terbaru saya dari studi kasus pemilihan gubernur Jawa Timur 2018 menunjukkan dari sembilan portal media yang dianalisis masing-masing secara kuantitas paling banyak hanya 6% dari keseluruhan artikel berita kampanye yang membahas isu kesehatan.
Riset ini menganalisis 4.023 berita daring secara retrospektif pada masa kampanye Pilkada Jawa Timur, Maret-Juni 2018, yang diterbitkan portal berita nasional dan daerah.
Kala itu, politikus PDI Perjuangan Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno bersaing dengan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak, yang diusung Partai Demokrat dan partai lainnya, masing-masing sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Khofifah-Emil menang.
Representasi jumlah berita kesehatan itu menyiratkan sejauh mana isu kesehatan mewarnai diskusi politik di tingkat daerah walau prosentasinya di bawah 10 persen.
Walaupun riset ini mengambil studi kasus selama kampanye Pilkada Jawa Timur tahun 2018, setidaknya ini dapat menjawab bagaimana isu kesehatan ini diangkat sebagai bahan kampanye para politikus untuk meraup dukungan politik.
Pertanyannya: apakah isu tersebut semata-mata hanya menjadi jualan politik atau benar-benar ditujukan untuk menawarkan solusi bagi kesehatan masyarakat?
Media punya peran penting dalam menentukan agenda politik yang perlu disorot oleh politikus dan sebaliknya.
Baca juga: Angka ‘Stunting’ Naik Tinggi di 6 Provinsi: 3 Strategi Menurunkannya
Kesehatan dalam Sorotan Kampanye Politik
Hasil riset tersebut menunjukkan isu tentang jaminan kesehatan khususnya soal BPJS Kesehatan (16,5%) menjadi pilihan populer bagi politikus dalam kampanye pemilihan umum.
Masalah yang juga tak kalah populis adalah menyangkut stunting atau tengkes (28,5%). Dua isu ini menduduki urutan teratas dalam “jualan isu” kesehatan untuk mendulang suara pemilih.
Isu lainnya adalah masalah kesehatan dengan konteks lokal, mulai dari fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, isu gizi buruk, kusta, rokok dan tembakau, perilaku gaya hidup sehat, kehamilan dan menyusui, hingga disabilitas.
Isu kesehatan dalam kampanye politik dipandang sangat kontekstual, tapi sayangnya, isu kesehatan juga sering kali ditampilkan sebagai isu populis oleh para kandidat.
Janji kampanye yang biasanya diucapkan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan dengan meningkatkan sumber daya manusia tenaga kesehatan dan membangun fasilitas kesehatan. Namun, jarang sekali program kesehatan masyarakat dalam kampanye politik disertai dengan konsep tata kelola yang jelas.
Alih-alih memperkuat penanganan tengkes secara komprehensif yang tidak mungkin diperoleh dengan cara instan seperti penanganan gizi buruk, para kandidat sering terjebak pada perdebatan soal perbedaan data.
Kandidat juga menyederhanakan penanganan tengkes dengan program Pemenuhan Makanan Tambahan (PMT). Padahal intervensi program tengkes sangat berbeda dengan kasus lain, karena masalah kesehatan ini terjadi sejak periode sebelum kehamilan.
Karena penyederhanaan itu seharusnya membuat pemilih lebih kritis untuk memastikan janji kampanye tidak sekadar populis, tapi juga ada solusi yang konkrit dan relevan.
Selain itu, kampanye politik sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang sangat berbahaya, tidak etis, dan brutal. Semakin populis seorang kandidat, semakin besar kemungkinan ia akan mengarang banyak kebohongan selama kampanye.
Di sisi lainnya, masyarakat pemilih yang tidak memiliki sumber daya untuk memproses informasi yang kompleks, terutama masyarakat pemilih yang tidak terlalu tertarik dengan isu-isu politik.
Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan dengan cermat fakta dan bukti di balik setiap klaim.
Baca juga: Angka Stunting Tinggi dan Komitmen ‘Ngaco’ Pemerintah Menangani Susu Formula
Kampanye Pemilu Nasional Juga
Walau kampanye pemilihan umum legislatif dan presiden 2024 baru akan berlangsung pada 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024), isu kesehatan muncul lebih awal seperti di situs Partai Solidaritas Indonesia dalam bahasa “BPJS Gratis”“.
Walaupun ini dinilai mendahului jadwal kampanye resmi partai politik oleh Bawaslu tapi spanduk dan baliho sudah memenuhi beberapa sudut kota.
Persoalan mengenai bagaimana konsep “BPJS Gratis” yang dimaksud dengan relevansi konsep jaminan sosial di Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pun tidak banyak menjadi konsen dalam perdebatan publik di media sosial.
Isu populer seperti BPJS seringkali diterjemahkan oleh politikus dengan bahasa populer “gratis”, “Kartu Sehat”-nya calon presiden Joko Widodo pada kampanye 2014 dan sejenisnya. Hal ini dapat dipahami ada kesenjangan komunikasi politik jika mereka menggunakan istilah yang lebih operasional misalnya mengenai alokasi anggaran dan ketepatan penggunaan anggaran.
Baca juga: Kenapa Stunting Adalah Isu Gender?
Peran Media
Kesehatan, meskipun esensial bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat, terkadang tersingkir oleh isu-isu lain yang dianggap lebih mendesak seperti pembangunan ekonomi dan infrastruktur.
Dalam kaitan dengan kampanye politik, media memiliki peran sentral dalam menentukan agenda publik. Media memainkan peran kritis dalam membentuk opini publik, yang pada gilirannya memengaruhi keputusan politik.
Namun begitu, media bisa memengaruhi hasil pemilu melalui cara mereka meliput berita yang dapat dimanipulasi oleh aktor politik. Politikus menggunakan berbagai taktik, termasuk manipulasi berita dan pemintalan narasi, untuk menciptakan kesan yang menguntungkan bagi mereka.
Di sisi lain, isu kesehatan, meskipun jarang menjadi sorotan utama dalam kampanye, memiliki potensi untuk menjadi agenda politik alternatif.
Penelitian lain menunjukkan bahwa media bertanggung jawab memberikan informasi yang akurat mengenai isu kesehatan kepada publik. Hal ini menegaskan bahwa liputan yang sedikit mengenai isu kesehatan bisa mencerminkan prioritas atau persepsi media terhadap apa yang dianggap penting oleh publik.
Pada era desentralisasi, ruang untuk melakukan eksperimen kebijakan kesehatan hingga tingkat daerah semakin terbuka. Politikus yang ingin mendapatkan suara dalam pemilu sangat penting untuk menyebarluaskan dan mempromosikan model-model kebijakan kesehatan yang berhasil. Model-model ini kemudian dapat direplikasi dan akhirnya diadopsi.
Oleh karena itu, keterlibatan politikus, calon anggota legislatif, calon kepala daerah dan presiden dalam isu kesehatan secara signifikan berdampak pada kesehatan masyarakat.
Meskipun para politikus mungkin hanya memanfaatkan sebagian kecil dari isu kesehatan dalam kampanye mereka, mereka tetap memilih topik kesehatan yang paling dekat dengan pemilih.
Karena kesehatan sebagai kepentingan utama bagi banyak pemilih, penelitian ini mengingatkan bahwa lebih banyak perhatian harus diberikan pada cara isu kesehatan diperkenalkan dan diperdebatkan dalam ranah politik elektoral.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.