December 6, 2025
Issues Politics & Society Safe Space

Yang Tak Terlihat dari Kematian Terapis Anak di Panti Pijat Laki-Laki Dewasa 

Kematian terapis anak di salah satu panti pijat laki-laki dewasa di Jakarta Selatan masih menyisakan tanda tanya. Dugaan perdagangan dan eksploitasi anak menguat, sementara keadilan belum juga tampak.

  • October 31, 2025
  • 5 min read
  • 2380 Views
Yang Tak Terlihat dari Kematian Terapis Anak di Panti Pijat Laki-Laki Dewasa 

*Peringatan pemicu: Kekerasan perempuan dan dugaan femisida. 

Sebulan setelah jenazahnya ditemukan, keadilan belum juga muncul untuk RTA, 14, terapis panti pijat khusus laki-laki dewasa. Melansir laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jasad RTA ditemukan di sekitar Gedung Delta Spa, Jakarta Selatan pada (2/10) lalu. 

Selama berminggu-minggu mengawal kasusnya, Ai Maryati, Komisioner KPAI kecewa lantaran belum ada satu pun penetapan tersangka. Padahal, kematian RTA jelas memuat berbagai situasi yang tak wajar, ungkap Ai.  

“Berbagai kejanggalan bisa ditemukan pada kasus ini. Secara manusiawi, situasi ini sangat tidak wajar,” katanya, (30/10) via telepon.  

Terlebih, keluarga RTA ditemukan mencabut laporan permohonannya yang dikirim ke Polres Jakarta Selatan pada (13/10) lalu. Dari penuturan Ai, pencabutan ini semakin memperjelas ketidakwajaran seputar kasus kematian RTA.  

“Pencabutan laporan ini kan ada embel-embel damai ya dengan perusahaan. Situasi ini semakin memperkokoh bagaimana kondisi keluarga korban secara struktural jelas dirugikan,” terang Ai. 

Baca juga: Di Balik Fenomena Kopi Pangku: Jeratan Ekonomi Sulit dan Mata Keranjang Patriarki 

Dugaan Perdagangan Orang sampai Eksploitasi Anak 

Melanjutkan penjelasannya, Ai bilang bahwa kasus kematian RTA tidak bisa dilihat sebagai kasus kematian biasa, seperti kasus lainnya. Mengingat usia RTA yang baru 14 tahun, terdapat dugaan perdagangan orang yang terjadi di ruang-ruang yang seharusnya diawasi negara.  

Lebih-lebih, polisi baru saja menemukan kartu tanda penduduk (KTP) yang digunakan RTA untuk mendaftar kerja adalah KTP milik orang lain. Menurut Ai terdapat dugaan pemalsuan identitas untuk meloloskan perekrutan anak di bawah umur, supaya legal secara administratif. 

“Pertanyaan besarnya kan apakah itu dipalsukan oleh korban atau justru dipesan oleh perusahaan supaya terkesan tidak ada hukum yang dilanggar? Marilah kita juga harus melihat ini secara terbuka, ada anak di bawah umur bekerja di panti pijat laki-laki dewasa,” ungkap Ai. 

Kondisi ini pun diperkuat dengan pernyataan F, kakak RTA. Ia menyebut adiknya harus membayar denda Rp 50 juta apabila ingin mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut. Melansir CNN, informasi ini F sampaikan ketika melaporkan kematian adiknya pada Polres Jakarta Selatan. 

Selain dugaan perdagangan orang, Ai juga menyebut bahwa kematian RTA jadi bukti nyata bagaimana kemiskinan struktural bisa berujung pada eksploitasi anak. RTA sendiri bekerja dalam kategori pekerjaan anak yang paling buruk, berdasarkan kategorisasi KPAI.  

Dalam situasi seperti itu, Ai bilang bahwa terdapat permasalahan yang kompleks dalam konteks keluarga korban. Dan malangnya, selalu ada pihak yang tidak bertanggung jawab yang kemudian memanfaatkan situasi ini dalam bentuk eksploitasi anak

“Basis kemiskinan struktural korban dan keluarga kerap menjadi pembenaran ada misalnya identitas palsu, kemudian keluarga korban menerima uang damai dan lain sebagainya. Padahal ini memperkuat sedemikian banyak kejanggalan dan akibat-akibat kemiskinan struktural yang dirasakan oleh korban dan keluarga, kemudian hal itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” jelas Ai. 

Senada dengan Ai, Siti Aminah Tardi (Amik), Aktivis Perempuan dan Direktur Indonesian Legal Resource Center (ILRC), juga menyebut bahwa terdapat indikasi eksploitasi anak pada kasus RTA. Mengaitkan dengan kejanggalan sistem perekrutan, Amik bilang bahwa anak yang terjerat dalam perdagangan orang tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial dan ekonomi masyarakat, termasuk lapangan pekerjaan yang tersedia. 

“Anak yang jatuh ke dalam TPPO (tindak pidana perdagangan orang) tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Seperti kemiskinan, subordinasi, dan objektifikasi anak perempuan. Dalam konteks ini terdapat juga keterbatasan informasi terkait jenis pekerjaan yang ditawarkan,” jelas Amik (31/10).

Baca juga: Ada Predator di Gim ‘Online’, Indonesia Darurat Eksploitasi Seksual Anak 

Gagapnya Negara dalam Menjamin Hak Anak, Khususnya Anak Perempuan 

Selain jadi korban kejahatan tersistematis, RTA juga disebut sebagai korban kegagalan negara dalam menjamin hak anak, khususnya hak anak perempuan. Hal ini disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penghapusan Eksploitasi Anak (KOMPAK), lewat siaran persnya yang dikirimkan pada Magdalene pada (29/10) lalu. 

Dalam rilisnya, koalisi ini menyebut bahwa kematian RTA adalah hasil dari kejahatan berlapis. Hal ini dapat terjadi akibat sistem eksploitasi terorganisir yang melibatkan badan usaha dan juga negara. RTA adalah anak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Padahal, sudah semestinya negara menjamin keselamatan anak perempuan dari sistem eksploitasi. 

Lebih rinci, gagalnya pengawasan negara yang mengakibatkan kematian RTA juga melanggar komitmen internasional Indonesia terhadap Konvensi Hak Anak (CRC), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), serta Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182. Dari berbagai konvensi tersebut, negara wajib melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan seksual. Dan pada kasus RTA, negara telah gagal menjalankan tugas tersebut. 

Selain itu, gagapnya negara dalam menjamin hak anak, khususnya anak perempuan, juga tercermin dari lolosnya RTA menjadi pekerja anak di tempat hiburan dan kebugaran laki-laki secara administratif. Padahal, apabila pengawasan diperketat, industri besar seperti Delta Spa tidak mungkin kecolongan merekrut anak di bawah umur sebagai terapis, menurut Ai.  

Baca juga: Anak-anak itu Dijual dan Dipaksa Jadi Pekerja Seks 

“Ini ada sebuah dunia usaha, perusahaan yang tercatat ya, terdaftar secara formal mempekerjakan seorang anak di bawah umur. Ini jelas pelanggaran tersistematis,” terangnya. 

Untuk itu, baik Ai maupun KOMPAK, sepakat untuk terus mengawal dan mendesak kepolisian agar mempercepat proses pengusutan kasus kematian RTA. Penyidikan yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada korban harus dilakukan. Petimbangan terhadap kerentanan korban sebagai anak dan kondisi keluarga yang miskin secara struktural juga harus jadi fokus utama pihak kepolisian.  

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).