Kurang Merasa Jantan? Jangan Salahkan Perempuan
Maskulinitas laki-laki bukan tanggung jawab perempuan, karena setiap manusia memiliki otoritas untuk menentukan siapa dirinya sendiri.
Seiring dengan dirilisnya film Crazy Rich Asians pada 2017 lalu, warganet ramai memperbincangkan sebuah kutipan dari sana. Hal itu merujuk pada percakapan antara tokoh Astrid Leong, seorang sosialita yang juga keturunan keluarga kaya raya asal Singapura, dengan Michael Teo, suaminya, yang merupakan pendiri start-up eks tentara yang tidak berasal dari keluarga kaya seperti Astrid.
Teo dikisahkan berselingkuh dan menjadikan“ketimpangan” status sosial mereka sebagai alasan. Kemandirian Leong untuk bisa mendapatkan dan melakukan hal apa pun atas kerja kerasnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain membuat Teo merasa kecil dan tak dibutuhkan sebagai laki-laki.
Semula, Leong berusaha keras untuk membuat suaminya tak lagi merasa minder dengan tidak menerima berbagai tawaran pekerjaan dan undangan acara bergengsi, sampai menyembunyikan aset-aset berharga yang dia miliki. Tapi, begitu menemukan suaminya berselingkuh, Leong pun sadar bahwa bukan tanggung jawabnya untuk membuat Teo atau lelaki mana pun merasa sudah menjadi laki-laki sepenuhnya.
“Bukan hanya salahku hubungan kita tidak berhasil,” kata Teo.
Leong membalas, “Benar. Seharusnya, aku tidak menutup-nutupi apa pun, barang-barang mewahku, aset-asetku, menolak pekerjaan-pekerjaan penting, hanya karena aku khawatir itu bisa membuat kamu merasa minder sebagai laki-laki.”
Baca juga: Magdalene Primer: Perbedaan Misogini dan Seksisme
“Masalah dalam pernikahan kita bukan hartaku dan keluargaku. Tapi kamu adalah pengecut. Kamu menyerah dalam hubungan kita. Bukan tugasku untuk membuatmu merasa bahwa kamu adalah laki-laki seutuhnya. Aku tidak bisa membuat kamu menjadi sesuatu yang bukan kenyataan.”
Perilaku juga cara pikir Teo dan laki-laki sejenis tak ubahnya sebuah cerminan maskulintas toksik nan rapuh. Mereka mengamini norma-norma sosial tradisional, bahwa laki-laki adalah pihak dominan yang harus selalu menjadi superior ketimbang perempuan.
Norma ini hadir sejak ratusan tahun silam tapi tetap tumbuh subur sampai sekarang. Bukan cuma masyarakat, iklan dan representasi lain di berbagai media, juga keluarga kerap mereproduksi ini dengan menekan para anak laki-lakinya untuk menjadi sukses di ranah publik dan lebih berpendidikan ketimbang para anak perempuan. Alhasil, ketika mereka dipertemukan dengan perempuan atau pasangan yang lebih sukses, cerdas, dan mandiri, mereka merasa kecil dan terancam kedudukannya.
Karena maskulinitasnya terancam, hasrat-hasrat untuk menjadi dominan juga tak dipenuhi oleh pasangan yang mandiri dan lebih sukses darinya, mereka berusaha mencari validasi itu dengan mencari pasangan yang submisif dan tidak lebih sukses darinya. Merasa menemukan itu pada diri perempuan lain selain istrinya, hal itu pun dijadikannya alasan laki-laki untuk berselingkuh. Bila dibiarkan berkembang, lama-kelamaan, pola pikir ini akan melahirkan sikap-sikap agresif, juga potensi melecehkan para perempuan.
Memaknai Maskulinitas Secara Fleksibel
Mengapa maskulinitas laki-laki dan perasaan sudah menjadi laki-laki “seutuhnya” itu bukan jadi pekerjaan dan tanggung jawab perempuan? Sebenarnya jawabannya sangat mendasar—karena manusia adalah makhluk berdaya, berdaulat, dan merdeka.
Setiap manusia memiliki kemampuan dan kebebasan untuk menentukan dan mencapai nilai-nilai dalam diri dan hidupnya sendiri tanpa harus bergantung pada penilaian dan kontribusi orang-orang lain selain dirinya sendiri. Sebagaimana laki-laki yang dibesarkan dengan nilai dan tuntutan untuk bisa mandiri secara karier dan finansial, pada dasarnya, perempuan juga memiliki nilai dan tuntutan yang sama untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Baca juga: Laki-laki atau Perempuan yang Membayari Kencan
Hanya saja, masyarakat cenderung memaknai dan mereproduksi nilai-nilai maskulinitas secara kaku dan tidak fleksibel. Masyarakat cenderung menaruh hal dan nilai-nilai seperti mandiri, kuat, tidak emosional, juga stabil secara karier dan finansial sebagai indikator seorang laki-laki yang maskulin. Padahal, banyak ahli sudah bersepakat bahwa maskulinitas merupakan sebuah konstruksi sosial yang fleksibel dan hanya bisa dimaknai berdasarkan konteks-konteks yang berlaku.
Misalnya, Michael S. Kimmel dalam bukunya Men’s Lives (2010) menyampaikan bahwa maskulinitas bisa dimaknai dari beberapa perspektif. Dilihat dari kacamata sejarah, nilai-nilai maskulinitas itu selalu berubah seiring waktu.
Kedua, dilihat dari kacamata antarbudaya, konsep maskulinitas berbeda di setiap kebudayaan masyarakat. Ketika kita membahas maskulinitas, hal itu memiliki arti dan dimaknai secara berbeda oleh laki-laki Eropa, Cina, atau Nigeria. Terlebih lagi ketika kita bicara kelompok yang lebih spesifik seperti orientasi dan ekspresi seksual, usia, tempat tinggal, kelas sosial, dan sebagainya.
Hal tersebut juga menunjukkan fakta bahwa tak semua laki-laki memiliki kemampuan untuk memenuhi standar-standar maskulinitas tersebut. Tapi, karena keluarga dan lingkungan tempat mereka berada terus menuntut mereka untuk menjadi seperti itu, ketika tak bisa memenuhinya, mereka melampiaskan kekecewaan diri pada orang-orang yang dianggap sebagai rivalnya. Dalam konteks tadi, pasangan perempuannya yang lebih mandiri.
Maskulinitas Toksik Bidani Misogini
Maskulinitas toksik diperparah dengan ketidakmauan atau keengganan untuk mengakui otoritas diri perempuan, termasuk melihat manusia pada umumnya sebagai pihak yang setara dengannya. Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk mengenali diri sendiri serta menciptakan standar atau indikator yang lebih manusiawi dan sesuai dengan dirinya juga turut jadi penyebab. Pada akhirnya, maskulinitas toksik dan orang-orang yang tidak mengakui kesetaraan gender ini turut membantu lahir dan besarnya misogini.
Baca juga: 5 Alasan Bapak Rumah Tangga Bukan Sampah Masyarakat
Menurut filsuf feminis Kate Manne dalam bukunya Down Girl: The Logic of Misogyny (2017), misogini merujuk pada sebuah lingkungan atau sistem sosial di mana perempuan menghadapi perlakuan koersif, tak bersahabat, dan yang berbau kebencian, hanya karena mereka adalah perempuan di dunia para laki-laki yang maskulin. Hal yang patut digarisbawahi dari misogini adalah target perlakuan tidak bersahabat itu hanyalah perempuan-perempuan yang dinilai tidak bersikap sesuai “kodrat”–yaitu ada di bawah laki-laki–dan standar dalam budaya patriarki. Karena itu, para perempuan yang dinilai mengancam keberlangsungan maskulinitas laki-laki menjadi korbannya.
Hal ini turut bisa menjelaskan mengapa budaya dan praktik-praktik patriarki itu merugikan laki-laki, bukan hanya perempuan. Laki-laki selalu dituntut untuk menjadi pihak yang lebih daripada perempuan—lebih mapan, lebih sukses, lebih mampu secara finansial, lebih kuat dan tahan banting. Namun pada akhirnya, kita harus menyadari, setiap manusia memiliki karakteristik dan keterbatasan masing-masing yang unik dan tak bisa dipukul rata oleh standar masyarakat.
Para laki-laki yang tak bisa memenuhi standar itu kerap kali dipermalukan dan dianggap sebagai aib masyarakat. Padahal, pembagian peran gender yang lebih fleksibel bisa menjadi solusi yang mencerahkan.
Bila seorang perempuan yang sudah menikah memiliki kesuksesan karier dan finansial yang setara dengan suaminya, ia turut bisa mengambil peran dalam urusan nafkah keluarga. Keduanya juga bisa bekerja sama dalam urusan domestik. Dengan begitu, kehidupan keluarga bisa berjalan optimal dan lebih mapan ketimbang harus memaksakan standar-standar normatif yang membebani laki-laki seorang.
Jadi, bila kamu merasa kamu kurang jantan, maskulin, atau mungkin kurang “laki-laki”, jangan salahkan perempuan ataupun pasanganmu. Perbaikilah dirimu sendiri, tingkatkan kualitas-kualitas diri. Tak perlu muluk-muluk mengikuti standar maskulinitas masyarakat yang dangkal, jadilah versi terbaik dari dirimu sendiri.
Bila maskulin menurut masyarakat itu adalah superior ketimbang perempuan, bukankah lebih baik menjadi laki-laki tidak maskulin, tapi memanusiakan manusia?