‘Women in Refrigerator’: Saat Perempuan Jadi Tumbal untuk Karakter Lelaki
Hingga kini perempuan masih kerap digambarkan sebagai karakter pendukung dan mengalami kekerasan. Tujuannya semata-mata hanya untuk keberlangsungan jalan cerita.
Tokyo Revengers adalah anime yang diadaptasi dari manga yang sedang naik daun di Indonesia. Melalui kanal resmi Muse Indonesia, anime bikinan Ken Wakui ini ditonton 10-15 juta orang tiap episodenya. Percakapan soal Tokyo Revengers juga terus diamplifikasi di Twitter hingga TikTok. Sebagai pecinta anime dan manga, saya juga mengikuti Tokyo Revengers. Sayangnya, setelah menonton anime ini, saya harus kecewa berat. Pasalnya, ada satu hal fatal yang dilakukan Wakui dengan “menumbalkan” salah satu karakter perempuan demi mengembangkan alur cerita.
Hinata, mantan kekasih dari Takemachi saat SMP tewas dibunuh oleh geng Tokyo Manji. Kematian Hinata jadi titik balik bagi Takemichi yang hidup sebagai pengangguran untuk mengubah masa lalu. Selain mencegah kematian kekasihnya, ia bertekad menjadi pemimpin geng sekolah yang ditakuti. Jika Takemichi merasa dirinya sudah mau menyerah dengan keadaan, bayangan masa lalu indahnya bersama Hinata justru menyemangatinya untuk bangkit kembali.
Penumbalan karakter perempuan tidak hanya terjadi di Tokyo Revengers, tapi juga di Deadpool 2. Dalam film ini, tunangan Wade Wilson, Vanessa, juga tewas terbunuh oleh komplotan penjahat. Layaknya Takemichi, kematian Vanessa memaksa Wade untuk berubah. Wade menciptakan dan mengembangkan hubungan baru dengan karakter lain saat Vanessa tidak ada. Vanessa muncul sesekali dalam mimpi Wade untuk membimbing dan membantunya tumbuh sebagai pribadi yang lebih baik.
Baca Juga: Mango Meter Bantu Penonton Kritik Film dengan Perspektif Feminis
Women in Refrigerator: Sejarah dan Kenapa Problematik
Kesamaan alur cerita yang menumbalkan tokoh perempuan di Tokyo Revengers dan Deadpool 2 ini sebenarnya bagian dari kiasan women in refrigerator. Women in refrigerator adalah sebuah istilah yang dicetuskan pada 1999 oleh Gall Simone, perempuan penulis komik yang terkenal dengan karyanya seperti Bird of Prey dan Wonder Woman. Istilah ini ia buat berdasarkan cerita dalam komik Green Lantern #54 yang menampilkan adegan mengerikan dan penuh amarah Kyle Rayner yang menemukan kekasihnya Alexandra DiWitt tewas terbunuh dan dimasukkan di dalam kulkas.
Melihat adegan tersebut dengan mata kepalanya sendiri, Simone pun terkejut dan marah. Ia muak melihat bagaimana Alexandra DiWitt dan karakter perempuan lain kerap dibunuh atau mengalami kekerasan lainnya yang begitu kejam dan diperlakukan hanya seperti komoditas tidak berarti bagi para penulis. Dikutip dari The Newdaily, Simone berkata, “Karakter laki-laki pada umumnya mati dengan mulia, sebagai pahlawan. Di lain pihak, karakter perempuan kerap digambarkan ditemukan karakter laki-laki dalam keadaan tewas terbunuh.”
Rasa muaknya ini kemudian mendorong Simone untuk menciptakan website women in refrigerator atau WiR. Dalam website tersebut Simone membuat daftar komik yang merepresentasikan karakter perempuan yang tidak sehat. Simone mengatakan, mereka telah dicabut kuasanya, dibunuh, mengalami kekerasan emosional, seksual, hingga psikis atau dihilangkan kekuatannya. Hal ini dilakukan oleh penulis semata-mata untuk merangsang sifat “pelindung” sang protagonis laki-laki dan sering sering kali menjadi perangkat plot untuk mengembangkan alur protagonis laki-laki.
Baca Juga: Kata Siapa Perempuan Selalu Benar: Kacamata ‘Male Gaze’ dalam Film ‘Selesai’
Dilansir dari CBR.com, walau pada awalnya istilah ini digunakan untuk karya-karya komik superhero, dalam perkembangannya istilah ini digunakan secara luas untuk apapun yang bersangkutan dengan budaya populer mulai dari film hingga gim. Women in refrigerator pun menjadi alat evaluasi bagi penikmat film dan pelaku industri untuk mengidentifikasi masalah mendasar mengenai misogini yang masih mengakar kuat di dalam masyarakat.
Women in refrigerator sangat problematik karena jelas menekankan pada pencabutan agensi perempuan dalam sebuah karya dan mengobjektifikasi mereka. Mereka tidak dianggap sepenting karakter laki-laki. Mereka tidak diberikan nyawa dalam cerita yang ada, sehingga eksistensinya ada hanya untuk ditumbalkan demi keberlangsungan cerita dan perkembangan protagonis laki-lakinya. The Artifice Women bahkan mengungkapan, women in refrigerator sebenarnya secara gamblang melambangkan bagaimana dalam kehidupan sehari-hari perempuan menjadi korban kekerasan di masyarakat patriarkal.
Dengan menggambarkan mereka mengalami berbagai bentuk kekerasan dan sering kali tewas mengenaskan, women in refrigerator juga jelas memperlihatkan pada kita bagaimana perempuan di dunia nyata sampai saat ini masih terjebak dalam suatu sistem yang menghalangi untuk mendapatkan keadilan yang setimpal dari kekerasan yang mereka alami.
Baca Juga: Dengan Kompromi, Kita Melestarikan Budaya Pemerkosaan
Apakah Karakter Laki-Laki Mengalami Hal Serupa?
Melihat bagaimana hingga saat ini tokoh perempuan masih saja dijadikan tumbal untuk keberlangsungan, pertanyaan pun kemudian muncul. Kenapa sih masih banyak penulis laki-laki yang memilih memakai kiasan problematik ini? Dalam website WiR, Simone mencantumkan berbagai respons dari pelaku industri yang kerap menggunakan kiasan ini dan menanyakan mengapa mereka memutuskan untuk menumbalkan karakter perempuan mereka. Salah satu respons yang menarik perhatian saya adalah dari Marv Wolfman. Sebagai penulis komik yang terkenal melalui karyanya seperti komik DC The Teen Titans dan komik Marvel The Tomb of Dracula, Wolfman pun mengungkapkan pendapatnya.
“Saya pikir umumnya membunuh karakter perempuan seharusnya akan menimbulkan lebih banyak dampak emosi dari pembaca daripada membunuh karakter laki-laki. Banyak penulis berpikir semua motivasi protagonis utama dibuat dengan membunuh karakter perempuan yang memang secara esensial lebih mudah dibunuh daripada karakter laki-laki. Ya hal ini karena hanya sedikit dari mereka (karakter perempuan) yang menjadi pahlawan utama dalam cerita.”
“Memang benar bahwa meskipun beberapa karakter terbaik adalah karakter perempuan, namun hampir tidak ada karya yang dibintangi wanita yang pernah bertahan kecuali Wonder Woman, dan itu bertahan hanya karena potensi lisensi, penjualannya tidak pernah baik. Saya khawatir alasannya adalah karena kebanyakan laki-laki ingin membaca cerita tentang pahlawan laki-laki daripada pahlawan perempuan. Mereka hanya menginginkan perempuan di latar belakang saja.”
Respons dari Wolfman kemudian juga disusul dengan berbagai tanggapan penggemar laki-laki dalam komunitas komik yang protes dengan istilah yang dicetuskan oleh Simone ini. Mereka berargumen bahwa banyak karakter laki-laki yang juga mengalami kekerasan, tewas dibunuh, dan dihilangkan kekuatannya sama seperti karakter perempuan yang dibuatkan daftar oleh Simone. Menurut mereka jika memang laki-laki mendapatkan perlakukan yang sama, kenapa harus memusingkan masalah seperti ini?
Untuk menjawab respons dari para penggemar laki-laki yang tidak setuju dengan istilah women in refrigerator, editor konten John Bartol menulis “Dead Men Defrosting“. Sebuah artikel yang menyatakan, ketika karakter laki-laki dibunuh atau diubah, mereka biasanya dikembalikan ke status quo mereka. Mereka bahkan sering kembali lebih baik dari sebelumnya, baik dari segi kekuatan atau dalam hal pengembangan karakter/relevansi kepada pembaca. Menurut klaim Bartol, sebagian besar karakter perempuan mereka tidak pernah diberikan kesempatan yang sama, seperti pahlawan laki-laki pada umumnya. Kesempatan untuk kembali ke keadaan heroik aslinya.
Membahas lebih lanjut artikel Dead Men Defrosting yang ditulis Bartol, Jeffrey A, profesor Bowling Green State University melalui bukunya Dangerous Curves: Action Heroes, Gender, Fetishism and Popular Culture (2011) mencatat bahwa sementara karakter laki-laki cenderung mati secara heroik dan secara ajaib dibawa kembali dari kematiannya. Sedangkan menurutnya karakter perempuan lebih mungkin untuk dilukai atau dibunuh, seringkali dengan cara seksual sehingga mereka tidak bisa kembali ke kondisi awal mereka. Untuk mendukung klaimnya, ia pun mengutip cerita Joker yang menghancurkan tulang belakang Batgirl hanya untuk bersenang-senang. Konsekuensinya Batgirl pun digambarkan sebagai perempuan difabel yang menggunakan kursi roda selama lebih dari satu dekade.
Pada akhirnya, objektifikasi dan pengambilan agensi paksa perempuan melalui women in refrigerator adalah masalah yang serius dan butuh mendapatkan atensi yang lebih besar bagi penikmat sekaligus pelaku industri budaya populer. Seorang perempuan bukan hanya komoditas yang dapat dengan mudah dibunuh atau disiksa. Memberi karakter perempuan jiwa dan suara dalam cerita serta tidak menguranginya sebatas sebagai perangkat plot saja tidak hanya membuat karya menjadi lebih menarik, tetapi juga menciptakan keseluruhan plot dan alur cerita yang lebih baik, koheren, dan utuh.