Kenali Hubungan Toksik, Dampaknya Bisa Ciutkan Kepercayaan Diri
Hubungan toksik berdampak buruk bagi kesehatan mental korbannya. Mengenali tanda-tandanya adalah hal yang penting dilakukan.
Komika Sakdiyah Ma’ruf mengenang bagaimana ia sempat berada dalam hubungan yang toksik saat berkuliah dulu, yang membuat kepercayaan dirinya sempat menciut. Hal itu dilakukan oleh pasangan nan toksik itu bahkan saat mereka belum bertatap muka, karena komunikasi dilakukan melalui SMS, email, atau telepon.
“Awalnya mengobrol tentang isu-isu sosial politik dan masyarakat. Khas aktivis banget kan, tumbuh bersama pasangan. Tapi lama-lama dia malah nanya ukuran payudara saya, sampai minta foto saya yang tidak memakai kerudung. Ketika ditolak, dia bilang saya kurang cantik, ini-itu,” ujar Sakdiyah dalam Campus Online Talkshow bertajuk “Relasi Toksik Enggak Asik” yang diselenggarakan oleh Magdalene dan The Body Shop Indonesia (5/2)..
Menurut Sakdiyah, seseorang yang toksik akan membuat pasangannya selalu merasa kurang sehingga muncul rasa ketergantungan untuk membuatnya merasa lengkap.
“Relasi toksik itu bukan hanya yang harus bertemu terus dipukuli, bisa dari hal-hal sederhana lewat kata-kata. Ketika kita direndahkan sedemikian rupa dengan obrolan yang manipulatif, kita merasa sangat kecil, karena kita sudah merasa tidak berdaya dan tidak memiliki diri kita sendiri,” ujarnya.
Ciri-ciri Hubungan Toksik
Psikolog dari Yayasan Pulih, Cantyo Atindriyo Dannisworo mengatakan, hubungan yang toksik memang bisa hadir karena berbagai faktor dan bentuk, dari yang paling sederhana dan tidak terlihat, sampai yang memang menghadirkan bekas fisik. Diawali dari perasaan terjebak di dalam hubungan yang membuat kita merasa tidak nyaman, batasan hubungan toksik kemudian akan semakin terlihat ketika salah satu atau kedua belah pihak selalu merasa tertekan dan tidak bisa menjadi dirinya sendiri, ujarnya.
Baca juga: Pacar Tukang ‘Gaslighting’ Menjebakku dalam Hubungan Toksik
“Pada dasarnya, kita menjalin hubungan itu tujuannya untuk mendapatkan support dan menjadi manusia yang bisa berkembang, dihargai, dan dicintai. Inginnya nyaman dan disayangi, tapi ketemu aja malah merasa tertekan. Itu sudah tanda-tanda,” ujar Cantyo.
Karena perilaku manipulatif ini, pasangan sering kali membuat korban tidak menyadari bahwa dirinya sedang terjebak dalam hubungan yang toksik. Menurut Cantyo, mengidentifikasi dampak konflik dan kondisi hubungan yang sedang dijalani terhadap kondisi psikologis kita adalah hal yang penting. Perubahan-perubahan sikap yang terlihat kecil sebenarnya merupakan pertanda, seperti jadi tidak percaya diri ketika bicara, atau jadi mudah sakit, ujarnya.
Ia juga mengatakan bahwa batasan-batasan sebuah hubungan bisa dikatakan toksik ialah ketika sudah ada indikasi pemaksaan atau kekerasan berbasis gender. Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik, seperti ditampar, didorong, atau dipukul. Bisa pula kekerasan psikologis atau verbal, seperti dicaci-maki atau direndahkan yang berdampak pada kondisi psikologisnya, seperti membuat rasa rendah diri muncul.
Ada pula bentuk kekerasan seksual, yaitu ketika pasangan mengajak kita melakukan aktivitas seksual, tapi ketika kita menolak, pasangan malah memaksa. Dan ada bentuk kekerasan ekonomi, yaitu ketika kita diperas dan diminta untuk membiayai hidup pasangan, jelas Cantyo.
Baca juga: Aku Berhasil Memutus Rantai Kekerasan dalam Pacaran
“Jadi tidak ada yang berhak memaksakan satu hal terus menerus (kepada pasangannya). Hubungan yang sehat itu adalah hubungan yang setara, di mana kita tetap bisa menjadi diri kita sendiri, meski ada sisi diri kita yang menyatu dengan pasangan kita,” ia menambahkan.
Cantyo mengatakan, penting untuk mengenali fase-fase dalam siklus hubungan yang toksik, karena sering kali orang-orang yang terjebak di dalamnya tidak menyadari betapa buruk kondisi hubungannya, karena janji-janji manis bahwa pasangannya akan berubah.
“Fase ini adalah fase bulan madu. Ketika masalah akhirnya selesai, hubungan jadi indah lagi, tapi kemudian konfliknya terjadi lagi secara berulang-ulang. Setiap terjadi, pelaku selalu meminta maaf lagi, sehingga korban merasa bahwa pacarnya memang akan berubah. Pada akhirnya korban terjebak dalam siklus ini,” ujar Dannis.
Banyak Anak Muda Jadi Korban, Pelaku dalam Hubungan Toksik
Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta, baru-baru ini melakukan sebuah riset mengenai kekerasan dalam pacaran (KDP) di dalam lingkungan mahasiswa UNS. Hasilnya, dari 211 responden, 159 di antaranya merupakan korban KDP, baik yang mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi, pembatasan aktivitas, atau gabungannya. Lebih dari 75 persen korbannya juga merupakan perempuan, dan sedikit yang mengaku sudah berhasil menyelesaikan masalahnya.
Baca juga: Kekerasan dalam Pacaran: Bukan Tanggung Jawab Kita untuk Perbaiki Pasangan
“Ada yang dibanting, ditampar, ditonjok, diancam, dicaci-maki, dikekang, dipaksa membiayai hidup, dipaksa melakukan hubungan seksual, dan masih banyak lagi. Ditambah lagi tidak ada regulasi yang melindungi korban,” kata Redaktur Riset LPM Kentingan, Ellen Wijaya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Adhitya Mahendra, Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. Menurut Adhit, kekerasan dalam pacaran memang menjamur di kalangan anak muda, dan laki-laki pun bisa menjadi korban.
“Ada kenalan saya, laki-laki, yang mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan juga sangat banyak terjadi. Ini menunjukkan bahwa instansi pendidikan bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi semua orang,” katanya.
“Perlu ada sinergi antara mahasiswa, pihak kampus, organisasi, media, dan negara untuk membuat payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual, terutama di lingkup setiap kampus,” tambah Adhit.
Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, Ratu Ommaya, menyebutkan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual (RUU PKS) memiliki urgensi yang tinggi, karena bisa menjamin perlindungan dan keselamatan korban kekerasan, terlebih korban kekerasan seksual di dalam pacaran. Untuk menggaungkan isu ini, anak-anak muda harus dilibatkan dalam berbagai aktivitas yang membahasnya, kata Maya.
“Edukasi kepada anak-anak muda mengenai kekerasan berbasis gender, khususnya dalam lingkup pacaran, adalah hal yang penting untuk membangun pemahaman yang menyeluruh. Semua pihak harus berkolaborasi, karena keamanan ini adalah tujuan kita bersama,” tambahnya.
Dukung kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood” untuk mendesak pengesahan RUU PKS, dengan menandatangani petisi di sini.