Lifestyle

‘Toxic Relationsh*t’: Kenapa si Gadis Baik Bisa Terjebak di Relasi Toksik?

Sebuah buku membahas bagaimana “gadis baik” bisa terjebak dalam relasi toksik dan bagaimana cara keluar dari situ dengan perspektif psikologi.

Avatar
  • March 15, 2021
  • 4 min read
  • 1225 Views
‘Toxic Relationsh*t’: Kenapa si Gadis Baik Bisa Terjebak di Relasi Toksik?

Perbincangan tentang kesehatan mental dan masalah relasi toksik (toxic relationship) mulai berkembang beberapa tahun belakangan ini. Namun dalam kenyataan sehari-hari, masih ada kejadian kekerasan dalam relasi yang belum disadari oleh banyak pasangan. Jikapun mereka menyadari dirinya menjadi korban dalam relasi toksik, tidak semuanya dapat dengan mudah mengambil keputusan untuk keluar dari situ.

Peliknya permasalahan relasi toksik ini dibahas dalam buku Toxic Relationsh*t karya Diana Mayorita yang dirilis akhir Februari. Dalam buku ini Diana mengajak pembaca untuk melihat kekerasan dalam relasi secara lebih holistik, agar dapat melihat akar masalah yang memicu relasi toksik, akibat, serta wujudnya dalam keseharian.

 

 

Dalam tulisannya, Diana menggunakan kacamata psikologi sesuai dengan profesinya sebagai psikolog klinis dewasa. Ia juga menggunakan perspektif perempuan sebagai korban, terutama soal “gadis baik” yang terjebak dalam hubungan tidak baik.

Dalam buku terbitan EA Books ini, dinyatakan bahwa perempuan kerap kali terkungkung dalam aturan-aturan di masyarakat yang mengharapkannya menjadi penurut dan pasrah. Hal itu mendorong perempuan masuk dalam sindrom gadis baik yang akhirnya dapat menjerumuskan mereka dalam relasi toksik.

Dalam Toxic Relationsh*t, Diana membicarakan faktor apa saja yang melahirkan relasi toksik, jenis kekerasan dalam relasi dan polanya, tanda-tanda seseorang menjadi pelaku atau korban dalam relasi toksik, fenomena gaslighting, sampai soal cinta obsesif.

Baca juga: Kenali 8 Perilaku Toksik Berkedok Sikap Romantis

Menariknya, Diana memberikan sejumlah checklist dengan skor di sejumlah bab agar pembaca dapat menilai diri masing-masing dan mengetahui apakah ia berada di relasi toksik atau tidak.

Buku ini juga mencantumkan berbagai ilustrasi kasus yang dekat dengan pembaca. Walaupun menggunakan teori, kutipan dari pakar, atau hasil penelitian, Yori mengemasnya dengan sederhana sehingga membuat pesannya mudah untuk dicerna.

Kenapa Masalah Relasi Toksik Rumit?

Banyak orang dengan mudah mengatakan, “Kalau sudah tahu disakiti, kenapa enggak langsung putus aja?”. Realitas seperti ini ditanggapi Diana dengan penjelasan mengenai siklus kekerasan dalam relasi toksik.

Penjelasan seperti ini membuka mata, tidak hanya mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai korban hubungan toksik, tetapi juga pembaca secara luas bahwa menuntaskan masalah kekerasan itu rumit dan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Diana menjelaskan sejumlah faktor internal dan eksternal yang membuat korban tetap bertahan.

Bicara tentang kompleksitas relasi toksik, Diana juga menyinggung bagaimana pola relasi di masa lalu seperti dengan orang tua berpengaruh terhadap pola relasi yang dijalani seseorang di masa kini.

Hal ini disebut-sebut misalnya dalam bab mengenai attachment style (gaya kelekatan) dan hubungan saling ketergantungan (kodependen). Diana berargumen, hai itu berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan dalam relasi.

Pembahasan ini relevan sekali dengan pengalaman banyak orang, terlihat dari bagaimana istilah “bucin (budak cinta) bisa muncul dan populer di kalangan anak muda. Bucin sendiri bisa dikaitkan dengan hubungan kodependen, di mana seseorang punya ketergantungan akut terhadap pasangannya.

Sudah Telanjur Terjebak Relasi Toksik, Lalu Bagaimana?

Pertanyaan klasik seperti ini dijawab Diana dengan baik dalam bukunya. Ia memaparkan berbagai hal yang dapat dilakukan korban relasi toksik untuk menyelamatkan dirinya.

Contohnya saat membahas tentang hubungan ambivalen, atau yang disebutnya sebagai love-hate relationship, atau dalam bahasan mengenai gaslighting. Sering kali, seseorang mengalami perasaan kontradiktif ini dalam relasi toksik dan susah melepaskan diri sehingga siklus kekerasan kembali berputar.

Satu pesan positif yang tersirat dari Toxic Relationsh*t adalah ajakan kepada pembaca untuk melihat diri sendiri, mengenalinya, dan tidak lagi bersikap keras atau menyalahkan diri saat berada di relasi toksik. Salah satu ajakan untuk mengenali diri dapat terlihat dari sebuah latihan untuk mengidentifikasi hal-hal baik dan buruk apa saja yang ada dalam diri mereka.

Ini menunjukkan bahwa dalam bahasan relasi toksik, isu self-compassion atau upaya menyayangi diri sendiri tidak terpisahkan. Hal tersebut sangat penting dalam membantu seseorang menjadi lebih baik setelah melalui kekerasan dalam relasi.

Baca juga: Sulitnya Mencintai Orang yang ‘Toxic’

Kendati buku ini berangkat dari pengalaman perempuan—sebagai pihak yang lebih  banyak dilaporkan menjadi korban dalam relasi toksik, Toxic Relationsh*t juga layak dibaca gender mana pun. Tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan pun, disadari atau tidak, telah menjadi pelaku kekerasan dalam relasinya dengan pasangan.

Dari berbagai pelajaran dalam buku ini, pembaca bisa merefleksikan sendiri pengalamannya. Harapannya, jika ia telanjur menjadi pelaku atau korban dalam relasi toksik, ia dapat mengambil keputusan yang tepat untuk keluar dari lingkaran setan tersebut.



#waveforequality


Avatar
About Author

Patresia Kirnandita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *