Lifestyle

Dari Bucin Jadi Hubungan Toksik: Kenali Tanda-tandanya

Istilah bucin sekarang ini diromantisasi sebagai relationship goals di media sosial, padahal bisa jadi tanda hubungan toksik.

Avatar
  • February 11, 2021
  • 5 min read
  • 1326 Views

Istilah bucin atau budak cinta semakin populer untuk menyebut orang yang sering mengekspresikan rasa sayangnya terhadap pasangan secara berlebihan. Meski awalnya berkonotasi negatif untuk mencemooh orang-orang yang terlalu “mendewakan” pasangan atau hubungannya, istilah bucin sekarang ini banyak diromantisasi sebagai #relationshipgoals.

Media sosial seperti Instagram dan Facebook sudah dari dulu dijadikan tempat untuk membagikan momen dengan pasangan. Namun, seiring dengan naiknya popularitas Tiktok, konten-konten bertemakan bucin berseliweran, dan isinya mengindikasikan hubungan yang toksik.

 

 

Dalam tantangan how my boyfriend and I text, misalnya, banyak orang dengan bangga memperlihatkan isi percakapan mereka dengan pasangan yang posesif dan suka mengatur. Sayangnya, hal itu malah dianggap sebagai bukti cinta, alih-alih tanda bahaya.

Psikolog Diana Mayorita dari Maragama Consulting di Semarang, mengatakan, dari segi bahasa, kata budak sendiri sebetulnya sudah peyoratif dan berhubungan dengan ketimpangan kuasa. Apalagi jika sudah sampai tahap meromantisasi perilaku toksik pasangan, ujarnya. Di level yang lebih ekstrem, ia menambahkan, istilah bucin yang dinormalisasi bisa berimplikasi pada codependent relationship atau hubungan yang mengakibatkan ketergantungan.

“Ketergantungan itu bisa diekspresikan dalam banyak hal. Bisa jadi dia dijadikan seakan-akan superhero di hubungan tersebut dengan segala perhatian yang diberikan. Tapi di sisi lain, kita merugikan diri sendiri dengan melakukan segala cara agar hubungan ini berjalan seperti yang diinginkan,” ujar penulis buku Toxic Relationshit itu kepada Magdalene.

Hubungan dengan ketergantungan ini biasanya memiliki dua ciri, menurut Diana. Pertama, kita secara tidak sadar sepenuhnya diatur oleh pasangan. Kedua, ada juga yang berada dalam posisi merasa butuh untuk diatur oleh pasangan dalam memutuskan segala sesuatu. Hal tersebut yang bisa membuat orang yang terjebak dalam hubungan ketergantungan sulit untuk keluar, apalagi memulai hubungan yang baru, ujarnya.

Baca juga: Jangan Mau Dicetak Sesuai Keinginan Pacar

Menurut Diana, karena banyak orang menggeneralisasi berbagai bentuk perhatian yang diekspresikan pasangan sebagai bucin, tanda-tanda hubungan yang tidak sehat sering kali sulit diidentifikasi, atau malah tidak dianggap serius. Padahal, tanda-tanda itu penting untuk disadari agar kita tahu kapan harus keluar dari hubungan yang merugikan, ujarnya.

Apa saja tanda-tanda atau red flags yang patut kita waspadai agar tidak terjebak dalam hubungan toksik? Berikut kami rangkum beberapa tandanya.

  1. Tanda-tanda Bucin yang Toksik: Kamu Merasa Dirugikan Secara Fisik dan Mental

Dalam jajak pendapat mengenai bucin di akun Instagram Magdalene beberapa waktu lalu, banyak responden yang menceritakan pengalaman sebagai bucin sampai melupakan dirinya sendiri. Ada yang berpendapat bahwa bucin ini adalah fase di mana orang akan menutup kuping, dan memasang kacamata kuda, sehingga menganggap apa yang dilakukan pasangan adalah yang terbaik.

Hal itu, menurut Diana, masih berhubungan dengan dampak dari ketergantungan tadi, yang menyebabkan adanya penolakan dalam diri ketika kita mulai sadar bahwa pasangan kita itu toksik.

“Banyak di antaranya yang jadi submisif. Mau dipukulin atau diapain pokoknya tetap bertahan. Kita akan berada di fase berusaha merasionalkan kesalahan yang pasangan lakukan, dengan berasumsi bahwa itu adalah bentuk rasa sayangnya kepada kita. Padahal itu jelas red flags. Saat kita sudah mulai merasa, kok kita enggak bisa ya tanpa dia. Kok kita enggak bisa kalau enggak dihubungin dia, baru sadar kalau sudah sulit lepas,” ujar Diana.

Baca juga: Aku Berhasil Memutus Rantai Kekerasan dalam Pacaran

  1. Pasangan Mengatur Hal-hal yang Berhubungan dengan Privasimu

Sekarang ini banyak pasangan yang sering kali menerobos batas privasi individu dengan dalih pembuktian rasa sayang dan kepercayaan. Salah satu yang jamak ditemukan adalah permintaan akses ke akun-akun media sosial kita serta memeriksa isi chat kita secara berkala. Sayangnya, masih banyak orang yang belum paham bahwa tindakan semacam itu termasuk pelanggaran privasi dan kita selalu punya hak untuk menolak hal itu.

Diana mengatakan, selain minta akses di sosial media, tidak sedikit pasangan yang melarang berkomunikasi dengan orang tertentu karena alasan ketidaksukaan. Padahal, itu sudah masuk dalam perilaku posesif yang tidak sehat, ujarnya.

“Enggak sedikit yang terkecoh dengan bentuk perhatian semacam ini. Ada yang beranggapan bahwa ini itu bentuk kasih sayang, padahal jelas-jelas melanggar privasi,” tambah Diana.

  1. Memaafkan Pasangan yang Selingkuh dengan Harapan Ada Perubahan

Banyak orang yang mengabaikan tanda-tanda hubungan toksik karena berharap pasangan akan berubah menjadi lebih baik di masa depan. Padahal, perubahan itu sulit terwujud kalau pasangan belum sadar dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. Apalagi, jika kasusnya adalah perselingkuhan dan perilaku ringan tangan.

“Memaafkan perselingkuhan itu kan efek dari ketergantungan tadi ya. Ada rasa insecure kalau berpisah itu dirasa enggak akan sanggup. Sebetulnya mindset bucin itu banyaknya bersumber dari dalam diri kita sendiri. Jadi kalau kita enggak percaya kalau kita mampu buat keluar. Maka pola-pola hubungan toksik ini akan terus kita denial,” ujar Diana.

Baca juga: Kenali Hubungan Toksik, Dampaknya Bisa Ciutkan Kepercayaan Diri

  1. Pasangan Mengatur Cara Berpakaian

Saran mengenai pilihan busana atau tampilan fisik sebetulnya wajar-wajar saja. Tapi, lain halnya jika standar tertentu pasangan terhadap pakaian atau fashion menjadikan dia seolah punya hak untuk mengatur cara kita berpakaian. Apalagi jika hal itu membuat kita merasa tidak nyaman serta tidak menjadi diri sendiri.

“Pakaian itu sudah masuk wilayah privasi kita. Jangan sampai kita rela melakukan apa saja untuk pasangan. Padahal, kita merasa jadi orang lain dan pura-pura nyaman,” ujar Diana.

  1. Bertahan dalam Hubungan yang Transaksional

Sejumlah orang berpendapat bahwa menjadi bucin itu sah-sah saja asalkan berlaku timbal balik, sehingga tidak ada ketimpangan dalam mengekspresikan rasa cinta antar pasangan.

Namun, menurut Diana, pemahaman semacam itu justru cenderung menjadikan hubungan bersifat transaksional atau harus ada timbal baliknya, alih-alih berdasarkan pada ketulusan. Padahal menurutnya, dalam membangun relasi yang sehat kita tidak boleh terlalu menuntut pasangan dengan hal-hal yang tidak dia kehendaki. Karena hal itu bisa jadi awal dari terbentuknya hubungan yang tidak sehat, ujarnya.

“Misalnya ada orang yang bucin dan sering mengekspresikan rasa sayangnya di media sosial, tapi pasangannya enggak bgitu. Karena takut diomongin orang, terus kita jadi berharap pasangan kita juga sama kayak kita ekspresif gitu. Nah itu hubungan yang menuntut dan transaksional. Sudah jelas enggak sehat,” kata Diana.



#waveforequality


Avatar
About Author

Siti Parhani

Hani adalah seorang storyteller dan digital marketer. Terlepas dari pekerjaannya, Hani sebetulnya punya love-hate relationship dengan media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *