Kerap Dinomorduakan, Karier Perempuan Minim Harapan
Sejumlah perusahaan masih enggan merekrut pekerja perempuan. Alasannya beragam, dari faktor keamanan, kurang potensial, hingga menghambat kemajuan.
Terpilih sebagai satu dari dua pekerja perempuan di kalangan teman seangkatan program management trainee, “Agni” merasa janggal dengan lingkungan pekerjaannya. Setiap menyapu pandangan, ruangan kerjanya didominasi laki-laki. Hal inilah yang meninggalkan segudang pertanyaan di kepala.
Ingatannya kembali pada proses rekrutmen yang ia lalui di perusahaan jasa keuangan tersebut, ketika calon atasan mengajukan pertanyaan. “Kira-kira kamu akan menikah di usia berapa?” tanyanya, dengan alasan memerlukan gambaran bagaimana calon pekerja menyusun rencana hidupnya.
“Pernikahan bukan sesuatu yang harus cepat, Bu. Namun, menyesuaikan seiring berjalannya waktu,” jawab Agni. “Bukan prioritas saya untuk saat ini,” sambungnya.
Merasa belum puas dengan jawaban Agni, si calon atasan meminta ia menyebutkan angka secara spesifik. Perempuan berdomisili di Jakarta itu terpaksa menjawab, “28 tahun”, dengan pertimbangan kariernya sudah stabil pada usia tersebut.
Setelah bertemu rekan kerja perempuan lainnya, ia merasa ingin tahu, apakah koleganya menerima pertanyaan serupa. Dugaannya benar, bahkan koleganya memberi jawaban lebih ekstrem dalam wawancaranya: Ia belum akan menikah dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan.
“Kayaknya kami lolos di antara laki-laki karena enggak memprioritaskan pernikahan,” jelas Agni pada Magdalene, (15/2).
Baca Juga: Hapus Bias Gender di Perusahaan dengan Kebijakan Inklusif
Lama-kelamaan, perempuan 25 tahun itu memperhatikan, hanya ada dua pekerja perempuan di setiap angkatan. Ia lantas bertanya kepada Human Resources Development (HRD) soal temuannya. Berdasarkan data dan tingkat pergantian pekerja perusahaan, katanya, perempuan memang lebih rentan untuk mengundurkan diri.
“Mereka ingin win-win solution, cari pekerja yang awet di perusahaan,” terang dia.
Saat mengikuti on the job training, atasannya pun mengatakan hal serupa. Bahkan tidak menyarankan Agni mengejar karier di bidang pemasaran, karena perkembangannya sulit untuk perempuan.
“Perempuan, tuh rentan dan manja. Kalau diberikan jabatan bakal cepat resign karena enggak betah atau menikah,” ceritanya mengutip ucapan bos. Terlebih menurut HRD, tidak ada kesempatan bagi pekerja perempuan mengikuti asesmen untuk menjabat petinggi pemasaran.
Alhasil ia merasa terjebak dalam posisi saat ini—sebagai junior supervisor, karena tak ada harapan bagi perjalanan kariernya. Bahkan sebagai pekerja di divisi pemasaran, Agni tidak diberikan kesempatan untuk terjun ke lapangan bertemu klien.
Di balik alasan keamanan—tak jarang klien meminta bertemu di malam hari, sedangkan perusahaan ingin pekerja perempuan lebih banyak bekerja di kantor. Maka dari itu, ia lebih berperan sebagai data dan analis.
“Katanya laki-laki lebih fleksibel dan pembicaraannya lebih luas, sebaliknya, perempuan main perasaan,” tuturnya.
Sebelumnya, Agni pernah meminta kepada bos untuk mengizinkannya bertemu klien, guna melihat kompetensinya. Namun akibat pandemi, perusahaan membutuhkan sumber daya manusia yang potensial.
Keresahan akan situasi di perusahaan yang “dikontrol” satu gender, tidak hanya dialami Agni. “Irwan” pernah bekerja sebagai staf senior di perusahaan retail. Meskipun telah mengajukan kenaikan jabatan ke level manajerial, jajaran pejabat perusahaan yang didominasi perempuan itu membuatnya terperangkap dalam jabatan tersebut.
“Enggak usahlah naik level. Kemampuan visual merchandising kalian belum bagus,” ucapnya, meniru perkataan atasannya. Karena itu, laki-laki dipekerjakan di gudang untuk mengangkat dan mengatur barang. Jabatan paling tinggi juga sebatas yang diduduki Irwan selama setahun belakangan.
“Perempuan, tuh rentan dan manja. Kalau diberikan jabatan bakal cepat resign karena enggak betah atau menikah,” ceritanya mengutip ucapan bos.
Menurut laki-laki yang saat ini bekerja sebagai market research, pola pikir direktur hingga manajernya masih tradisional, sehingga mereka beranggapan yang memahami estetis hanya perempuan. Sayangnya, perusahaan enggan memberikan pelatihan bagi pekerja.
“Awalnya pelatihan itu a big no no di perusahaan ini. Setelah banyak turnover baru ada kegelisahan, dan HRD mengadakan training,” paparnya.
Lantas, apa yang menyebabkan laki-laki dan perempuan di perusahaan hanya “menguntungkan” pekerja berjenis kelamin sama?
Mengapa Bias Gender Terjadi di Perusahaan?
Perusahaan tempat Agni bekerja hanya satu dari sekian yang masih membatasi peran perempuan. Karena berkaca pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 tentang Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), pekerja laki-laki lebih tinggi sebesar 82,41 persen. Sementara, pekerja perempuan berjumlah 53,13 persen. Artinya, perempuan belum mendapatkan kesempatan kerja secara menyeluruh.
Salah satu faktor yang mendorong adalah bias gender, yang terjadi tanpa intensi tertentu dan tidak begitu disadari oleh laki-laki maupun perempuan. Ada beberapa penyebab yang mendorong, seperti tuntutan mengurus keluarga, ekspektasi masyarakat untuk tidak terlibat dalam dunia kerja, stigma perempuan kurang produktif, dan eksklusivitas di bidang kerja tertentu.
Eksklusivitas itu terjadi di sebuah perusahaan air swasta di Jakarta, dengan persentase pekerja perempuan berjumlah 20-30 persen, khususnya pada divisi operasional. Dalam proses rekrutmen, secara spesifik mereka hanya merekrut pekerja laki-laki, dengan alasan beban kerja yang terlalu berisiko bagi perempuan.
Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya
“Kalau divisi operator, kan jelas kerjanya 24 jam, sangat riskan untuk perempuan pulang malam dan pagi,” terang “Ahmad”, recruitment manager perusahaan tersebut. Ketika ditanya mengapa perusahaan tidak menyediakan transportasi ketika mereka pulang malam, ia menyebutkan akan memakan biaya tidak sedikit dan tidak efisien.
Kerapkali perlindungan perempuan digunakan sebagai alasan untuk tidak mempekerjakan mereka atau tidak meletakkan pekerja perempuan di posisi tertentu. Meskipun intensinya terlihat baik, tindakan ini justru membatasi perempuan dalam mengeksplorasi potensinya dengan maksimal.
Ada beberapa penyebab yang mendorong, seperti tuntutan mengurus keluarga, ekspektasi masyarakat untuk tidak terlibat dalam dunia kerja, stigma perempuan kurang produktif, dan eksklusivitas di bidang kerja tertentu.
Pertimbangan lainnya dalam merekrut perempuan adalah pemberian hak cuti hamil dan melahirkan, serta kewajiban mengurus anak, meskipun undang-undang sudah menjamin hak tersebut untuk perempuan. Karena itu, proses rekrutmen menjadi langkah “antisipasi” untuk menghindari permasalahan, termasuk kekosongan pekerja perempuan yang sedang cuti hamil dan melahirkan.
“Cuti tiga bulan lumayan panjang ya, either kita nambah orang atau kasih beban itu ke partner kerjanya. Kan kasihan” ujar Ahmad.
“Orang profesional pun nggak mau di-hire untuk kerja di hitungan bulan, pasti susah,” lanjutnya.
Selain eksklusivitas, perempuan juga memiliki beban kerja lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Acap kali mereka diminta melakukan pekerjaan yang tidak tertera dalam uraian tugasnya.
Akademisi asal Romania, Mihaela Chraif, dkk. dalam Gender Differences in Workload and Self-perceived Burnout in a Multinational Company from Bucharest (2015) menjelaskan, energi yang diberikan perempuan pada akhirnya selalu didedikasikan untuk orang lain. Ini menyebabkan ketidakseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional.
Kondisi ini dialami “Citra”, 24, admin media sosial dan penulis konten di perusahaan percetakan di Jakarta. Terlepas dari tugas-tugasnya, ia sering diminta membersihkan ruangan kerja. Padahal, ada 12 pekerja di kantornya, 10 di antaranya laki-laki. Alasannya, perempuan biasanya lebih rapi.
“Sebelum aku kerja di sini, seminggu sekali mereka pake layanan jasa kebersihan. Tapi sejak aku datang, jadi aku yang ngerjain,” paparnya.
Mengutip HuffPost, situasi itu bernama weaponized incompetence, atau tindakan berpura-pura tidak kompeten pada satu tugas, untuk menghindari melakukannya. Meskipun laki-laki juga dapat mengalaminya, perempuan diharapkan melakukan tugas perawatan.
Menurut Kurt Smith, terapis asal Roseville, AS, seseorang yang mengalaminya perlu menyampaikan secara langsung ke kolega atau atasan, bukan sekadar menerima untuk menghindari konflik.
Kepada atasannya, Citra pernah meminta penghasilan tambahan karena kegiatan itu di luar tanggung jawabnya. Namun, bosnya justru mengatakan, “Itu, kan inisiatif, jadi cukup diapresiasi.”
Akhirnya, sampai saat ini ia masih melakukannya, hanya karena tidak betah berada di ruangan kotor.
Upaya Hapus Bias Gender
Meskipun bias gender masih kentara di sebagian perusahaan, bukan berarti tidak ada perusahaan yang telah menerapkan inklusivitas di kalangan pekerjanya. GoTo, sebuah perusahaan induk gabungan Gojek dan Tokopedia, memiliki kesadaran untuk menciptakan inklusivitas sejak pertama kali kedua perusahaan itu didirikan.
“Kuncinya itu komitmen dari leaders, diturunkan ke key performance indicator, lalu action items strateginya,” ujar Senior Manager Public Affairs GoTo, Josefhine Chitra.
Selain eksklusivitas, perempuan juga memiliki beban kerja lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Acap kali mereka diminta melakukan pekerjaan yang tidak tertera dalam uraian tugasnya.
Ketiga langkah tersebut perlu diintegrasikan dengan target perusahaan agar eksekusinya dilakukan, bukan sekadar lip service. Salah satu program kebijakan yang digerakkan di GoTo ialah Diversity, Equity, and Inclusion (DEI), untuk menciptakan lebih banyak inklusi dan keragaman.
Melalui DEI, mereka menyusun Women At Gojek, sebuah employee resource group yang memastikan terdapat kesetaraan dan keragaman gender di perusahaan. Pun dari situ terdapat beberapa kegiatan, seperti mentorship dan forum diskusi. Salah satunya terkait bagaimana perempuan yang pertama kali menjadi ibu, dapat mengimbangi kehidupan profesionalnya.
“Kami ingin sharing tantangannya, tuh apa aja sebagai first time mothers. Karena pekerja di Gojek usianya relatif mid-career, atau baru menikah dan punya anak,” jelas Josefhine.
Lebih dari itu, dalam proses rekrutmen mereka memanfaatkan software untuk mendeteksi uraian tugas dalam lowongan pekerjaan tidak menonjol ke sifat perempuan atau laki-laki. Sehingga tidak ada diskriminasi terhadap siapa pun.
Baca Juga: Bias Gender dalam Buku Pelajaran Negara-negara Muslim
Selain itu, untuk mendukung keseimbangan hidup pekerjanya sekaligus menekan produktivitas, GoTo menetapkan jam kerja fleksibel dan tidak harus berlangsung selama delapan jam. Juga menyediakan ruang laktasi, serta tempat penitipan anak.
Namun, bukan berarti tidak ada hambatan dalam pelaksanaannya. Sampai saat ini, GoTo masih sulit menambah pekerja perempuan di departemen teknik, ataupun dengan latar belakang science, technology, engineering, and mathematics (STEM).
“Karena di masyarakat masih ada stigma perempuan enggak usah masuk teknik atau computer science,” terang Josefhine. Padahal, ini merupakan salah satu cikal bakal menciptakan algoritme yang inklusif dan beragam ke semua orang.
Pasalnya, bisnis yang menggeluti industri teknologi dan melayani masyarakat, harus beragam dan memiliki inklusivitas, tidak hanya dalam hal gender, namun juga latar belakang budaya, kelompok minoritas, dan karakter setiap orang.
Karenanya, inklusivitas juga diterapkan di kalangan mitra, merchant, hingga konsumen. Dengan demikian, seluruh bagian perusahaan akan terangkul dan terbentuk lingkungan yang aman.
“Kalau kami enggak beragam dan inklusif, bagaimana bisa memastikan produknya udah meng-capture perspektif dan kebutuhan berbagai macam orang?” tutup Josefhine.
Proyek jurnalistik ini didukung oleh Meedan, organisasi non-profit di bidang teknologi yang punya visi memperkuat literasi digital dan jurnalisme global.