Kerentanan Santri Queer: Sisi Gelap yang Terang Benderang
Seksualitas yang direpresi bikin eksistensi santri queer rentan dan sering kali dianggap ‘tidak nyata’.
Kesal sekali rasanya mendengar stigma terhadap komunitas queer apalagi jika stigma disangkut-pautkan ke pesantren. Sudah banyak yang membahas bahwa lahir sebagai LGBT bukan berarti kita tidak boleh beragama. Tanpa menginvalidasi trauma dan pengalaman ketertindasan banyak orang queer yang disebabkan agama dan penganutnya, saya mau bilang, santri-santri queer itu ada, dan kami beragama.
Di pesantren sendiri, ada istilah kakak-adik. Konsep yang umum dikenal banyak santri sebagai interaksi antara senior-junior. Dalam salah satu studi Antropologi, relasi kakak-adik ini ditulis sebagai relasi struktural yang memengaruhi cara bertindak dan bentuk pertemanan para santri di pondok pesantren.
Para santri queer, yang seksualitasnya dikekang secara struktural biasanya mengeksplorasi hubungan kakak-adik ini. Saking terkekangnya, sulit sekali memisahkan hubungan-hubungan yang rentan eksploitasi ini dari pemakluman.
Jika seorang santri kedapatan berelasi ‘enggak wajar’ atau tidak sesuai heteronormatif, dengan teman sejenisnya, hal itu dimaklumi sebagai fase penjajakan seksual atau bagian dari kenakalan remaja yang lagi penasaran doang. Dimaklumi tapi disertai berbagai penolakan, kekerasaan, hingga pemaksaan berbagai bentuk terapi konversi. Di saat bersamaan, saya hanya ingin mengatakan pandangan semacam ini bentuk homofobia yang jahat, jahat sekali.
Saya melihat banyak homoseksualitas dan lesbianisme di pesantren dinarasikan seperti film-film dokumenter criminal undercover. Begitu juga penelitian-penelitian (kebanyakan skripsi), si peneliti seolah sudah mengantongi perspektif yang akan dia tulis, lalu menemui santri pelajar yang tengah bergumul dengan internalisasi homofobia untuk memvalidasi perspektif homofobiknya.
Baca juga: Jejak ‘Queer’ dalam Al-Qur’an dan Hadis
Membongkar Stigma Homoromantis di Pesantren
Saya seorang queer Muslim yang menghabiskan masa SMP dan SMA di suatu pondok pesantren pada era 2010-an. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, saya akan mencoba menjelaskan bagaimana sistem masyarakat yang terbentuk dari budaya pesantren justru memperparah kerentanan diskriminasi dan persekusi pada individu queer youth (coming-of-age atau pelajar usia 11-18 tahun).
Sebenarnya, kehidupan pesantren saya sebagai queer youth termasuk menyenangkan. Lebih seperti genre romcom. Penuh canda-tawa, kekikukan, kepolosan, kenaifan, cinta, dan persahabatan laiknya film-film coming-of-age pada umumnya. Serial Netflix Heartstopper (2022-2023) cukup merepresentasikan realitas masa remaja saya pada saat mengalami naksir-naksiran.
Kebingungan, kemarahan, rasa frustrasi dalam himpitan heteronormativitas lingkungan sekitar juga ditampilkan cukup representatif dalam film Your Name Engraved Herein (2020). Homofobia lah yang mengubah dunia saya menjadi genre psychological thrillers.
Pesantren dan homoseksualitas dianggap sebagai sisi gelap, kendati realitas keragaman gender dan seksualitas adalah suatu fakta sosial yang terang-benderang di sana (dan di manapun, sebenarnya). Saya enggak begitu tahu bagaimana kehidupan domestik santri putra karena tinggal di asrama putri. Tapi, di asrama putri zaman saya mondok, compassionate words and gestures lazim terjadi di tengah-tengah kami dalam dinamika kohesi sosial warga asrama.
Dari perspektif saya sebagai queer sendiri, pembatas yang membedakan aksi cinta homoromantis dan aksi cinta persahabatan platonik sesama santri perempuan hanya setipis tisu.
Di samping mejeng dan membincangkan santri laki-laki, memuji-muji kakak atau adik kelas yang baik dan cantik adalah obrolan sehari-hari di tongkrongan sebaya. Kami bisa leluasa bercerita tentang gebetan cowok atau adik-kakak adik-kakak-an cewek yang menggemaskan. Biasanya kami membicarakan presenting ekspresi gendernya yang sangat feminin, androgini, maskulin, atau ekspresi lain yang terlalu sempit untuk dikategorikan sebagai cewek feminin atau cewek tomboy saja.
Namun, nampaknya kami diharuskan berhati-hati dengan penggunaan kata dalam menunjukkan ketertarikan. Aturan sosial enggak tertulis memperbolehkan kami mengklaim diri sebagai seorang kakak/adik atau sebagai seorang fans. Kami bisa menyebut cowok yang kami sukai sebagai gebetan atau pacar, tapi enggak jika orang yang disukai sama-sama cewek.
Pacar, gebetan, sahabat dekat, sisters, bagi saya hanya persoalan semantik. Ketertarikan dan naksir yang saya rasakan sama. Hal-hal lain cenderung dianggap biasa saja dan enggak banyak mengundang picingan mata sebaya. Misalnya menitip salam, menulis nama perempuan di buku orat-oret, saling berkunjung (apel), saling berkirim surat, atau memberi dan memakai matching gift.
Realitas female homoromantic di pesantren saya pada era awal mondok bernuansa penerimaan dengan syarat dan ketentuan berlaku, yakni, tetap berada di dalam kerangka sisters atau idols.
Baca juga: Saya Takkan Pernah Dianggap Manusia: Trauma LGBT di Lingkungan Agama
Perubahan Aturan Dewan Pengurus Merepresinya
Penerimaan maupun represi keberagaman sangat dipengaruhi kebijakan yang diambil oleh dewan ustaz/ustazah serta santri badan pengurus yang tengah mengemban mandat.
Tahun 2016 atau masa-masa akhir aku di pesantren, segala aktivitas mengarah homoromantis termasuk adik-kakakan sama sekali dilarang dengan hukuman yang mempermalukan. Acara drama atau panggung gembira eksklusif bagi santri putri yang diadakan di dalam lobi asrama putri juga ditiadakan.
Padahal, acara tersebut adalah eskapisme dan hiburan sebagian kami dari kesuntukan mengaji dan seabrek religiusitas perfomatif. Di samping santri, kami juga remaja biasa. Di atas panggung tertutup kami unjuk kebolehan seperti menari, menyanyi, menabuh musik perkusi, menampilkan hal-hal lucu, konyol, nyeleneh, dan bermain drama tanpa mengenakan jilbab karena hanya dilihat oleh sesama santri perempuan.
Pasalnya, dalam acara selentingan tersebut santri perempuan maskulin atau androgini bisa mengekspresikan dirinya lebih bold and loud. Intinya segala hal yang dianggap maskulin atau kelaki-lakian dilarang eksis di dunia santri putri. Belakangan aku menengarai bahwa pengetatan larangan di pesantrenku itu enggak terlepas dari pengaruh media dan panik moral LGBT yang terjadi di dalam negeri.
Enggak Dikenalnya Konsep Privasi dan Pelanggaran Privasi
Kaburnya batasan ranah publik dan ranah privat dapat dilihat mulai dari struktur fisik kamar asrama hingga kamar mandi yang tumplek-tumplek menumpuk belasan hingga puluhan orang dalam satu ruangan tanpa sekat.
Dalam kondisi seperti itu, sosialisasi konsep bounderies dan menghormati privasi dikesampingkan. Rasanya di pesantren, tembok pun seolah punya mata, kebanyakan santri di sekitarku punya banyak waktu untuk bergosip dan mengurusi hidup orang lain.
Pelanggaran privasi juga terjadi secara sistematis. Badan pengurus berhak melakukan razia saat asrama sepi. Lemari dan buku harian pribadi sebagai satu-satunya space dan properti personal bisa digeledah sewaktu-waktu.
Razia dilakukan dalam rangka penegakkan norma dan aturan yang ada antara lain guna memastikan santri enggak menyelundupkan HP atau larangan lainnya. Santri jasussah (spy) ditugasi untuk memata-matai (tajassus) guna mengumpulkan bukti atau indikasi pelanggaran termasuk menyelidik sepasang santri yang kedapatan terlalu sering berduaan.
Baca juga: Al-Qur’an Tak Ajarkan Membenci Kelompok LGBT: Akademisi Muslim
Rentan Outing
Enggak adanya privasi antar santri akibat kohesi sosial yang terlalu kuat membuat individu queer rentan mengalami outing. Outing bisa berdampak fatal bagi keamanan individu queer youth di lingkungan yang sama sekali enggak memiliki perspektif ramah queer. Ia sendiri bahkan belum sempat memproses dan memahami pengalaman queerness-nya. Dalam kondisi kebingungan seperti ini, queer youth sangat rentan menginternalisasi homofobia dan stigma-stigma yang disematkan kepada tubuhnya.
Di lingkungan luar, queer youth masih memungkinkan untuk memperoleh informasi guna mencari dukungan seperti akses bantuan LBH, NGO, komunitas/support group, atau layanan kesehatan mental ramah queer. Kondisi lingkungan pesantren yang tertutup, terlebih jika santri dilarang membawa gawai komunikasi, membuat santri queer youth terjebak dalam kesendirian dan kondisi yang lebih kompleks.
Pesantren mungkin merupakan oase yang suportif untuk mempraktikan ritus ibadah dan spiritualitas. Pesantren juga tempat segudang memori tentang arti persahabatan dan ketulusan terpatri. Namun bagi individu yang terlahir queer atau identitas lain yang belum diterima sebagai hal normatif, dalam kompleksitasnya pesantren bisa juga menjelma tempat di mana represi dan rentetan pengalaman traumatis mendera mental habis-habisan terjadi.
Laiknya persoalan gender dan seksualitas yang kita semua hadapi: misogini, queerfobia, dan turunannya juga menjadi persoalan krisis di institusi pesantren. Absennya edukasi seksualitas komprehensif, lambannya reproduksi pemikiran pembaharu-progresif membuat sivitas pesantren gagap dan kebingungan dalam menyikapi ragam gender dan seksualitas atau wacana-wacana kontemporer lain walaupun sudah dihadapkan fakta seterang itu di lingkungannya.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.