Belajar tentang Feminisme dari Kakak Laki-laki Saya
Kakak laki-laki saya bukan aktivis feminisme, tapi dalam kesederhanaannya, ia memberikan pelajaran hidup tentang berbagi peran tanpa memandang gender.

Mayoritas orang mungkin akan meremehkan sosok laki-laki yang menjadi guru pertama saya tentang kesetaraan gender. Kakak laki-laki saya tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Kemampuan menulisnya sebatas mencatat daftar belanja atau bumbu dapur. Membaca pun hanya bisa memahami pesan-pesan singkat di layar ponsel usang yang sering dibiarkan tergeletak di meja. Kata-kata seperti feminisme, globalisasi, atau literasi mungkin terdengar asing baginya. Bahkan, istilah seperti internet dan email pun membuatnya mengerutkan dahi, bingung dan tidak tertarik untuk tahu lebih jauh.
Namun, dalam kehidupan sehari-harinya, kakak saya telah mempraktikkan prinsip-prinsip kesetaraan gender jauh sebelum istilah itu menjadi populer. Selama bertahun-tahun, ia tidak pernah mempermasalahkan peran yang ia ambil dalam rumah tangga. Memasak bubur, memarut kelapa, menggoreng tempe, mencuci piring — semua itu dianggapnya sebagai tugas yang perlu dilakukan, tanpa perlu membedakan siapa yang seharusnya melakukannya. Dia juga tidak pernah ragu mencuci dan menjemur pakaian, termasuk pakaian dalam istrinya. Bagi kakak saya, pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama, bukan masalah peran gender.
Baca juga: Ayah Saya Ternyata Feminis
Tak jarang, ia menerima ejekan dari tetangga yang mempertanyakan kejantanan dan otoritasnya sebagai kepala rumah tangga. “Halah, bukan mereka yang kasih aku makan, jadi kenapa harus pusing?” katanya santai saat saya bertanya bagaimana perasaannya menghadapi komentar-komentar seperti itu.
Sosok yang saya ceritakan ini adalah kakak nomor dua dari enam bersaudara, Mas Heru Sutopo. Dibandingkan dengan saudara kami yang lain, kakak saya memang terbilang lugu dan sederhana. Ia tidak pandai merangkai kata-kata atau tampil meyakinkan di depan orang lain. Prinsip hidupnya sederhana: menjalankan amanah yang diberikan oleh kakek kami untuk bisa mengayomi keempat adik-adiknya. Namun, dalam kesederhanaannya, ia memahami konsep kesetaraan gender secara praktis dan nyata. Ketika banyak orang berpikir bahwa laki-laki harus menjadi pemimpin dan pengambil keputusan dalam rumah tangga, kakak saya justru percaya bahwa menjalani kehidupan bersama berarti berbagi peran dan tanggung jawab.
Saya tidak tahu dari mana munculnya pemikiran semaju itu dalam benaknya. Kami dibesarkan dalam lingkungan yang cukup tradisional, di mana laki-laki diharapkan menjadi tulang punggung keluarga dan perempuan bertugas mengurus rumah tangga. Namun, kakak saya tampaknya memiliki pemahaman yang berbeda. Ia tidak pernah merasa perlu menepuk dada dan menunjukkan dominasinya sebagai laki-laki. Baginya, menjadi seorang suami dan ayah bukan berarti memegang kendali, tetapi menjalani peran sebagai mitra yang setara.
Baca juga: Bagaimana Orang Tua Menjadikan Saya Feminis
Kesetaraan gender yang datang dari pengalaman hidup
Ketika generasi muda saat ini memiliki akses ke berbagai informasi tentang feminisme dan kesetaraan gender, kakak saya belajar tentang hal itu melalui pengalaman hidup. Di desa kecil tempat kami dibesarkan, konsep kesetaraan tidak diajarkan lewat buku atau seminar, melainkan melalui kebiasaan dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ketika para aktivis feminisme berjuang menyuarakan isu-isu ketidakadilan dan peran gender, kakak saya sudah menjalani nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari tanpa teori atau kampanye. Perjuangannya tidak terlihat mencolok atau diakui secara publik, tapi dampaknya nyata dalam lingkup keluarga.
Dalam konteks ini, isu kesetaraan gender memang perlu dilihat dari akar budaya kita sendiri. Perubahan sosial yang kita alami seharusnya tidak hanya berakar pada pengaruh dari luar, tetapi juga berasal dari nilai-nilai yang telah lama tertanam dalam masyarakat kita. Kesetaraan tidak harus menjadi konsep yang dipaksakan dari luar, tetapi bisa lahir dari praktik-praktik hidup yang telah berlangsung turun-temurun.
Banyak kebijakan dan inisiatif tentang kesetaraan gender yang diambil pemerintah dalam beberapa tahun terakhir tampaknya muncul sebagai respons cepat terhadap perkembangan global. Gerakan ini sering kali berbasis pada tuntutan eksternal, mengikuti tren internasional dan standar global. Hasilnya, banyak kebijakan yang terasa kaku dan kurang relevan dengan konteks lokal.
Namun, perubahan yang berakar dari nilai-nilai lokal cenderung lebih tahan lama dan efektif. Kakak saya adalah contoh nyata bagaimana kesetaraan gender bisa tumbuh dari pemahaman sederhana tentang berbagi peran dan tanggung jawab dalam keluarga. Ia tidak pernah merasa perlu memproklamasikan dirinya sebagai pejuang kesetaraan, tapi perilakunya mencerminkan prinsip-prinsip feminisme yang sesungguhnya.
Generasi kakak saya mungkin tidak memiliki akses ke pendidikan tinggi atau informasi yang luas, tapi mereka memiliki nilai-nilai hidup yang kuat. Ketika perubahan sosial dan nilai-nilai baru terus berkembang, generasi seperti kakak saya tidak boleh ditinggalkan. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang telah menjalankan prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan sehari-hari, meski tanpa menyadarinya.
Baca juga: Meneladani Feminisme dari Ibu yang Tak Lulus SMA
Saya khawatir bahwa generasi muda saat ini terlalu mudah terhanyut oleh arus nilai-nilai dari luar tanpa menyadari kekuatan yang ada di dalam diri mereka sendiri. Mengadopsi nilai baru itu penting, tetapi jangan sampai kita melupakan nilai-nilai lokal yang telah terbukti mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Itulah sebabnya saya merasa penting untuk membagikan cerita ini. Perubahan yang berkelanjutan tidak hanya berasal dari gerakan besar atau kebijakan formal, tetapi juga dari perilaku sehari-hari yang mencerminkan prinsip-prinsip kesetaraan gender.
Cerita ini adalah persembahan saya untuk Mas Heru Sutopo, kakak laki-laki yang telah memberikan pelajaran berharga tentang makna kesetaraan gender. Dalam kesederhanaannya, kakak saya telah menunjukkan bahwa kesetaraan bukan sekadar teori atau konsep besar, tetapi sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Terima kasih, Mas Heru, karena telah menjadi contoh nyata bagaimana seorang laki-laki bisa memahami dan mempraktikkan kesetaraan dengan cara yang tulus dan tanpa pamrih.
Riyani Indriyati adalah seorang penulis, termasuk buku The Colour of Mothers yang mencatat nilai-nilai hidup dari almarhum ibunya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
