December 6, 2025
Gender & Sexuality Health Issues Lifestyle

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga: Kerentanan Berlapis Transpuan Pekerja Seks dengan HIV

Transpuan pekerja seks dengan HIV alami kerentanan berlapis karena identitas gender dan profesi mereka. Kini nyawa mereka terancam karena kebijakan Trump yang diskriminatif.

  • September 14, 2025
  • 7 min read
  • 4974 Views
Sudah Jatuh Tertimpa Tangga: Kerentanan Berlapis Transpuan Pekerja Seks dengan HIV

Pada 2016 silam hidup “Naya”, transpuan pekerja seks asal Indonesia, berubah drastis hanya dalam hitungan jam. Malam itu, ia ditangkap oleh polisi Singapura saat sedang bekerja. Razia yang dilakukan aparat menjebaknya tanpa ruang melarikan diri. Seluruh barang pribadinya termasuk paspor dan uang disita. Ia ditahan semalaman, lalu diputuskan menjadi tahanan kota selama kurang lebih empat bulan.

Bagi Naya, empat bulan adalah rentetan hari yang melemahkan tubuh sekaligus menggerus harapan. Saat jadi tahanan, ia tidak mendapat pendampingan hukum melalui perwakilan negara Indonesia seperti Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal.

“Kedutaan Indonesia sama sekali enggak bisa bantu apa-apa. Aku hopeless sih ya, karena tiga kali berturut-turut aku datengin mereka untuk minta bantuan hukum kayak enggak ada action sama sekali,” cerita Naya pada Magdalene.

Kekecewaan Naya makin besar. Ketidakhadiran negara bukan sekadar soal birokrasi, tetapi juga tentang hak hidup yang sengaja diabaikan. Naya adalah orang dengan HIV (ODHIV). Obat Antiretroviral (ARV) yang seharusnya diminum tiap hari tersisa dua butir. Tak ada bantuan dari negara dan tidak punya uang untuk membeli ARV seharga 120 dollar Singapura, Naya pun harus putus obat dua minggu.

Takut tubuh resisten obat bahkan ambruk, Naya kemudian mencoba menghubungi salah satu teman di Indonesia, membuka status HIV-nya, demi obat dikirimkan secepat mungkin.

“Beruntung cuma sehari saja obat sampai, tapi karena sudah skip dua minggu, tubuhku rasanya jadi lemah banget. Badan capek terus bawaannya,” tutur Naya.

Baca juga: Kasus HIV Naik dalam Satu Dekade, Bagaimana Mengatasinya?  

Dalam Bayang-bayang Stigma dan Tekanan Ekonomi

Risiko menjadi pekerja seks sangat besar. Namun, Naya tidak punya pilihan lain. Ia adalah tulang punggung keluarga. Sang ibu menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada penghasilannya, sementara ketiga adik menunggu biaya sekolah dari uang yang dikirimkan. Menjadi pekerja seks, meski berisiko, adalah jalan tercepat menghasilkan uang dalam jumlah besar.

“Jadi pekerja seks ya untuk bertahan hidup karena enggak ada pilihan lain selain menjadi pekerja seks, dan aku mulai dari usia 15 tahun,” sebutnya.

Dari jalanan Bandung hingga Singapura dan Malaysia, ia menukar rasa aman dengan pendapatan bisa mencapai puluhan juta rupiah hanya dalam beberapa bulan. Bahkan upah bersih paling kecil yang diterima bisa Rp80 juta, cukup untuk menabung dan membiayai pendidikan adik-adiknya.

Selain Naya, “Ayu”, transpuan ODHIV, juga menggantungkan hidup sebagai pekerja seks. Namun, berbeda dengan Naya, Ayu sudah tidak diterima keluarga sejak dinyatakan positif HIV.

“Keluarga pun enggak ada yang tanggung jawab, enggak ada yang berani, pada ketakutan. Jadi ya sudah, aku sendiri aja,” ucap Ayu.

Saat diusir, seluruh peralatan rumah tangga, baju, dan lemari miliknya dibuang. Ayu harus mengontrak sewa Rp1 juta per bulan, jumlah signifikan untuk profesi dengan penghasilan tidak pasti.

Ia menghadapi tantangan tambahan ketika layanan kesehatan belum sepenuhnya inklusif bagi kelompok rentan. Salah satu pengalaman buruk adalah dipanggil dengan nama lahir saat berobat. Meski begitu, Ayu tetap menerima kondisi tersebut agar pengobatan HIV bisa diakses gratis melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).

Pendamping lapangan ODHIV, “Ina”, menyebut fasilitas kesehatan masih memanggil pasien transpuan sesuai Kartu Tanda Penduduk (KTP).

“Semua orang di fasilitas kesehatan pasti melihat transpuan, ‘oh namanya ini, tampilannya seperti ini’,” jelas Ina.

Kenny, pendamping lain, menegaskan stigma muncul karena masyarakat Indonesia masih hidup di bawah bayang-bayang queerfobia dan minimnya pengetahuan soal HIV.

“Di masyarakat masih banyak anggapan kalau ODHIV itu identik dengan orang yang ‘tidak benar’, LGBT (yang masih dianggap penyimpangan). Padahal yang menyebabkan HIV itu perilaku, bukan seksualitas,” papar Kenny.

Selain stigma, jarak fasilitas kesehatan dan biaya transportasi menjadi hambatan. Banyak transpuan pekerja seks ODHIV memilih rumah sakit di pusat kota ketimbang puskesmas dekat rumah, agar identitas mereka tidak diketahui. Biaya tambahan untuk transportasi dan obat yang harus dibayar sendiri semakin memberatkan.

Kehadiran pendamping lapangan menjadi krusial. Mereka menemani transpuan berobat, bahkan memberi ongkos transportasi. Namun, peran ini terancam akibat kebijakan Presiden AS Donald Trump yang membekukan hibah, pinjaman, dan bantuan luar negeri, termasuk untuk program HIV.

Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV dan AIDS Berjuang dengan Stigma

Efek Kebijakan Trump

Melansir BBC Indonesia, mitra kerja dan penerima hibah USAID di seluruh dunia menerima instruksi menghentikan aktivitas. Trump bahkan memberi sinyal menarik AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyumbang terbesar sekitar seperlima anggaran tahunan WHO.

Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana, menekankan sebagian besar komponen HIV di Indonesia masih bergantung pada donor asing, termasuk AS.

“Program pemerintah AS, bukan hanya kesehatan, penerima manfaatnya ya hanya bisa laki-laki dan perempuan,” sebut Aditya, saat dihubungi Magdalene.

Aditya mengatakan walau untuk periode 2023-2025, AS telah mengumumkan komitmen hingga 6 miliar dolar AS untuk Global Fund, efek kebijakan Trump bakal menciptakan delay effect yang berpengaruh pada lonjakan kasus HIV dan AIDS ke depannya.  

“Walau belum terasa sekarang, perlahan Global Fund akan kekurangan pendanaan yang berakibat langsung ke Indonesia. Program akan stop semua dan HIV dan AIDS akan tidak terkendali lagi. Angka tingkat kematian akibat AIDS akan naik dengan tinggi. Penularan akan terjadi lebih masif,” jelasnya. 

Pernyataan Aditya bukan cuma bualan belaka. The Lancet dalam riset terbaru mereka memperkirakan antara 4,4 juta dan 10,8 juta infeksi baru tambahan akan muncul dalam lima tahun ke depan akibat pemotongan anggaran. Ini berarti peningkatan hingga enam kali lipat dalam jumlah infeksi baru di kalangan kelompok berisiko. 

Kebijakan baru berdampak pada penjangkauan tes HIV bagi transpuan. Banyak program pendampingan dan outreach dibiayai donor, salah satunya AS, sekitar 90 persen dari total biaya. Kenny mengungkapkan, di wilayah dampingannya kini tes HIV untuk transpuan berhenti, hanya untuk LSL (lelaki seks dengan lelaki) saja.

Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2020 memperlihatkan 40,8 persen program HIV di Indonesia berasal dari Global Fund, donor terbesar adalah AS. Dampak nyata dialami Ina, beberapa pendamping terkena PHK akibat pemotongan anggaran.

“Dampaknya banyak teman petugas lapangan yang harus berhenti bekerja, pemutusan kerja,” kisah Ina.

Aditya menekankan peran pendamping sangat krusial untuk pencegahan HIV, terutama bagi transpuan pekerja seks. Tanpa pendamping, kesadaran untuk tes HIV dan rutin minum obat menurun.

“Misalnya pekerja seks freelance atau di wisma, perlu pendekatan, makanya program penjangkauan dan pendampingan inti dari program penanggulangan HIV,” jelas Aditya.

Kenny menambahkan, ia sering memberi ongkos transportasi agar transpuan mau tes. Pendamping mendorong mereka rutin minum obat, menemani berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Ayu sendiri mengaku tetap berobat karena pendamping selalu mendampingi.

“Pas aku ketemu sama pendamping, sama pendamping terus sekarang,” cerita Ayu.

Kerentanan transpuan pekerja seks ODHIV makin nyata karena stigma berlapis dari masyarakat akibat identitas mereka, dari aparat hukum karena pekerjaan mereka, dan dari sistem kesehatan yang belum sepenuhnya inklusif. Tanpa petugas lapangan, akses layanan kesehatan mulai dari tes HIV hingga obat ARV bisa terputus sewaktu-waktu.

Kemandirian Nasional Tak Bisa Ditawar

Sebab itu, Aditya menekankan pentingnya kemandirian pendanaan. Indonesia hanya membutuhkan sekitar Rp4,8 triliun per tahun untuk menjalankan program HIV dan AIDS secara komprehensif. Angka ini relatif kecil dibandingkan anggaran Makan Bergizi Gratis 2026 yang mencapai Rp335 triliun. Meski demikian, political will dari pemangku kebijakan masih kurang.

“Mereka ngakuin ke kita, diajak meeting-meeting tapi yang mereka enggak mau berbagi alokasi anggaran. Hari AIDS sedunia saya bikin seminar di DPR, saya bilang anggaran tidak ada, tapi tidak digubris,” katanya.

Seruan advokasi pun kini mendesak. Media, masyarakat sipil, komunitas pasien, dan pihak lain harus memperkuat narasi bahwa kesehatan adalah hak dasar tiap warga negara. Liputan konsisten tentang kerentanan ODHIV, kisah humanis transpuan pekerja seks, dan dampak kebijakan global dapat menjadi tekanan moral bagi pemerintah untuk bergerak.

Masyarakat sipil juga dapat mendorong transparansi alokasi anggaran kesehatan dan mengawal akuntabilitas penyelenggara negara melalui forum diskusi publik, kampanye digital lintas komunitas, hingga mendorong lembaga legislatif memasukkan program HIV dan AIDS dalam prioritas pembangunan.

Aditya menekankan narasi inklusif: HIV bukan soal moralitas, melainkan isu kesehatan publik yang menyangkut nyawa jutaan orang.

“Kalau kita enggak gerak cepat, HIV dan AIDS ini akan jadi bom waktu. Upaya panjang selama belasan tahun, lebih dari 20 tahun akan hilang kalau kita tidak mengalokasikan pendanaannya,” tutup Aditya.

*Kami sudah menghubungi Kementerian Kesehatan untuk artikel ini, namun hingga artikel ini ditulis belum ada tanggapan.

About Author

Jasmine Floretta V.D and Muhammad Rifaldy Zelan