Keterbatasan Anggaran, SDM Kendala Kursus Pranikah Ideal
Materi ideal kursus pranikah masih belum merata diterapkan di Indonesia sehingga menimbulkan rasa sangsi akan manfaat yang akan didapat calon-calon pengantin.
Sejak tahun lalu, wacana pelaksanaan kursus pranikah sebagai salah satu syarat yang mesti dipenuhi untuk dapat menikah di Indonesia mengemuka. Sempat ada komentar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy pada 2019 yang menyatakan kursus ini wajib diikuti semua calon pengantin, tetapi kemudian diklarifikasi tidak wajib.
Pada praktiknya, ada Kantor Urusan Agama (KUA) yang tetap mewajibkan calon pengantin untuk mengikuti kursus ini. Salah satunya seperti yang tercantum dalam pemberitaan asumsi.co yang dirilis 22 Februari lalu. Dua pasang calon pengantin, masing-masing di Jakarta dan Pekanbaru, mengaku diharuskan menjalani kursus pranikah. Jika mereka tidak mengikuti kursus pranikah, pihak KUA tidak mau mengeluarkan buku nikah untuk mereka. Di Pekanbaru, Riau, keharusan mengikuti kursus ini juga diiringi biaya Rp150 ribu untuk masing-masing calon pengantin.
Bukan hanya perbedaan implementasi mengenai wajib tidaknya kursus pranikah diikuti calon pengantin, pelaksanaan kursus ini juga problematis dari segi materi yang disampaikan. Masih dari berita yang sama, calon pengantin di Pekanbaru mengatakan bahwa pemateri kursus pranikah mereka melanggengkan pemaksaan sanggama oleh suami kepada istri (kalau tidak dituruti, suami disarankan menceraikan istrinya), memosisikan istri di ranah domestik saja, serta pro-poligami.
Keluhan terkait kursus pranikah ini tidak hanya ditemukan dari pengalaman mereka yang mengikutinya di KUA, tapi juga oleh umat Katolik seperti “Anas”, 30, warga Jakarta Barat yang mengikuti kursus pranikah di salah satu gereja.
Berbeda dengan kursus pranikah yang sebenarnya tidak wajib diikuti oleh calon-calon pengantin muslim, kursus pranikah dalam tradisi Katolik—dulu dikenal sebagai Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) dan kini berganti menjadi Membangun Rumah Tangga (MRT)—adalah syarat untuk melangsungkan pernikahan.
MRT ini dipungut biaya dengan nominal yang disesuaikan di setiap paroki. Anas sendiri membayar Rp400 ribu untuk kursus yang diikuti bersama pasangannya selama dua hari penuh, masing-masing dari pukul 7 pagi hingga 7 malam.
Dalam salah satu materi MRT yang Anas ikuti, disinggung soal larangan menggunakan kontrasepsi (atau program Keluarga Berencana/KB) dalam pernikahan Katolik. Jikapun ingin menghindari kehamilan, pasangan Katolik dianjurkan untuk memakai teknik KB alamiah yaitu dengan menghitung tanggal masa subur.
“Gue bilang ke fasilitator di forum MRT itu, gue sama pasangan belum mau punya anak dalam waktu dekat setelah menikah dan sepertinya akan KB. Reaksinya, ‘Itu melanggar peraturan gereja’,” kata Anas.
“Terus gue bilang lagi, kan nggak semua cewek punya jadwal menstruasi teratur dan bisa dengan gampang tahu masa suburnya kapan. Selain itu, gue nanyain dasar atau rujukannya apa enggak boleh KB dalam agama Katolik?”
Alih-alih dijawab dengan penjelasan komprehensif, si fasilitator membalas pertanyaan Anas dengan, “Ya pokoknya keputusan Gereja Katolik tidak membolehkan.”
Anas menyayangkan minimnya ruang diskusi untuk peraturan-peraturan gereja dalam pernikahan yang dibahas dalam forum MRT. Menurutnya, calon-calon pengantin yang datang ke kursus tersebut adalah orang-orang awam dan wajar bila ia meminta penjelasan lebih lanjut dari orang yang sudah diberi mandat dan pelatihan oleh keuskupan untuk membawakan materi kursus pranikah.
Baca juga: Dicari: Hakim Berperspektif Gender untuk Cegah Perkawinan Anak
Di samping perkara penggunaan KB yang dibahas dalam forum MRT, Anas juga merasa tidak suka ketika fasilitator mengangkat salah satu ayat Alkitab terkait peran gender dalam pernikahan.
“Jadi ada fasilitator yang nyebutin ayat di Efesus, ‘Istri, tunduklah pada suamimu..bla bla bla’. Itu yang dipakai jadi landasan materi tentang peran istri dan suami,” ujar karyawan swasta ini.
Anas juga mengungkapkan ketidaksepakatannya lagi soal keharusan membesarkan anak secara Katolik. Kendati dididik secara Katolik sejak kecil, ia ingin membebaskan anaknya nanti untuk menentukan keyakinannya sendiri.
Yang ideal dari kursus pranikah
Keluhan-keluhan mengenai kursus pranikah yang dilakukan di beberapa KUA mendatangkan rasa sangsi akan manfaat yang akan didapat calon-calon pengantin. Apa benar materi kursus pranikah hanya melanggengkan diskriminasi terhadap istri dan sebatas formalitas belaka yang dirancang pemerintah?
Psikolog keluarga Alissa Wahid, yang juga anggota Tim Pengembangan Program Keluarga Sakinah dari Kementerian Agama, mengatakan di lapangan itu ada dua program untuk calon pengantin, yakni kursus calon pengantin (Suscatin) dan bimbingan perkawinan calon pengantin (Bimwincatin).
“Suscatin itu model lama, sementara yang baru dikembangkan sejak 2016 itu bimwincatin, isinya beda dengan suscatin,” kata Alissa kepada Magdalene.
Suscatin biasanya menceramahi calon pengantin secara searah selama sekitar dua jam, sementara Bimwincatin berbentuk pelatihan (workshop) yang melibatkan interaksi calon pengantin dan berlangsung selama dua hari, dari pagi hingga sore. Salah satu kekurangan suscatin adalah ketiadaan standar materi, berbeda dengan Bimwincatin yang mempunyai standar tersendiri dan termaktub dalam modul. Setiap pemateri dalam Bimwincatin menjalani pelatihan terlebih dahulu dan secara berkala dipantau performanya oleh tim Alissa.
Selain itu, ada perbedaan proses evaluasi dalam Suscatin dan Bimwincatin. Pada setiap akhir workshop, ada rekaman testimoni dari beberapa peserta yang telah mengikutinya, yang memudahkan Alissa dan timnya untuk menemukan fasilitator-fasilitator yang memang unggul dalam memberikan materi.
“Ternyata banyak lho lulusan-lulusan universitas Islam yang performanya bagus-bagus (dalam memfasilitasi peserta). Cuma, selama ini enggak ada ruang buat mereka, jadi enggak begitu kelihatan. Waktu sidak (inspeksi mendadak), saya sering menemukan yang oke banget, terutama yang penyuluh perempuan,” kata Alissa.
Program-program dalam Bimwincatin, menurut Alissa, disusun dengan melibatkan para ahli hukum Islam dengan perspektif keadilan dan kesetaraan yang kuat. Selain itu, Bimwincatin juga melibatkan perempuan sebagai penyuluh, tidak seperti suscatin.
Alissa mengatakan Suscatin masih mengedepankan peran gender tradisional dengan laki-laki sebagai kepala rumah tangga.
“Dalam pelatihan ini, penguatan perspektif keluarga sakinah dimulai begini: Ayat-ayat Al-Quran menyebutkan manusia diukur dari ketakwaannya, bukan dari apakah dia laki-laki atau perempuan. Lalu, semua manusia adalah hamba Allah sehingga tidak ada yang boleh menghamba atau memperhamba makhluk Allah lainnya,” ujar Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.
Baca juga: Tren Menikah Muda, Mencari Jalan Ke Surga
Baik Bimwincatin maupun MRT memiliki tujuan sama: Memberi pembekalan bagi calon pengantin sebelum membangun rumah tangga, termasuk di dalamnya beragam keterampilan hidup seperti pengelolaan keuangan, pengasuhan anak, serta menjalin relasi sehat dengan pasangan sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Dengan mengikuti kursus-kursus pranikah macam ini, pasangan diharapkan dapat terhindar dari bermacam konflik rumah tangga dan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta perceraian.
Kendala penerapan kursus pranikah yang ideal
Berbagai hal ideal yang diungkapkan Alissa tadi rupanya menghadapi ganjalan besar yang menyebabkan penyebaran materi bimwincatin tidak merata di KUA-KUA di Indonesia.
“Karena workshop diadakan dua hari, maka biaya yang harus dikeluarkan cukup besar. Ini semua sebenarnya bergantung pada dana yang dianggarkan pemerintah, calon pengantin tidak perlu membayar apa-apa,” ujarnya.
Ia mengatakan dana yang saat ini disediakan pemerintah untuk menyokong pemerataan pelatihan para fasilitator di KUA hanya cukup untuk 10 persen dari total dua juta pasangan yang menikah setiap tahunnya. Berangkat dari keterbatasan biaya inilah, Bimwincatin bersifat tidak wajib bagi calon-calon pengantin.
“Semampunya kami (tim pelatih fasilitator Bimwincatin) sajalah menjangkau (calon-calon pengantin), enggak bisa woro-woro juga soal Bimwincatin. Tahun 2017, kami sudah menjangkau sekitar 150.000 pasangan. Sisanya, sekitar 1.850.000 pasangan lain ya mau enggak mau masih menggunakan Suscatin yang dibawakan orang-orang belum terlatih. Itu yang terjadi di kasus-kasus pemateri yang misoginis (di Pekanbaru dan Jakarta),” kata Alissa.
Dalam tiga tahun terakhir, Alissa mengungkapkan bahwa timnya telah melatih sekitar 1.900-an fasilitator—yang terdiri dari perwakilan Kementerian Agama tingkat kabupaten, penghulu (KUA), dan penyuluh. Padahal, jumlah penghulu saja ada kira-kira 8.000 orang dan penyuluh sekitar belasan ribu di seluruh Indonesia. Dari jumlah penghulu tersebut, Alissa menaksir baru sekitar 1.000 orang yang menjalani pelatihan menjadi fasilitator bimwincatin.
Di samping masalah anggaran negara, ada masalah lain yang membuat kursus pranikah ideal sulit terwujud. Proses mengedukasi dan internalisasi nilai yang terkandung dalam materi Bimwincantin oleh para fasilitator yang sedang dilatih tentu membutuhkan waktu.
“Kalau kita latih kan juga enggak langsung semuanya jadi sadar gender. Pasti masih ada kebocoran-kebocoran pada praktik membawakan materi,” ujar Alissa.
Masalah yang bersumber dari bagaimana fasilitator membawakan materi kursus pranikah juga diakui oleh Anas. Baginya, materi kursus pranikah sendiri tidak buruk-buruk amat kendati ada beberapa poin yang ia kritisi. Ia lebih menggarisbawahi soal kemampuan si pemateri dalam menyampaikan ajaran agama soal pernikahan.
“Menurut gue, beberapa materi kayak pengelolaan uang dan pengasuhan anak yange nggak kayak model zaman dulu itu masih make sense dan dibutuhin buat perbekalan sebelum berumah tangga. Tapi yang ngeganjel ya pas dapet pemateri yang nggak buka ruang diskusi itu. Gue yakin ada penjelasannya buat hal-hal yang gue tanya, tapi kok enggak dijabarin ya di forum,” kata Anas.